Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
"Heysel: that word will drive me mad." - Bruno Guarini (Via: The Guardian)
ADVERTISEMENT
Di hari nahas itu, 29 Mei 1985, Bruno Guarini harus kehilangan putranya, Alberto, dalam salah satu tragedi paling memilukan dalam sejarah sepak bola. Di Stadion Heysel, Brussels, Belgia, Alberto Guarini menjadi satu dari 39 orang yang meregang nyawa.
Persis tiga dasawarsa setelah peristiwa tersebut, Juventus, sebagai klub yang kehilangan paling banyak suporter dalam tragedi itu baru benar-benar mau mengakui keberadaan Tragedi Heysel. Banyak yang menyayangkan, memang, tetapi apa mau dikata? Semua orang, semua entitas, berkabung dengan cara mereka masing-masing.
Tidak ada air mata untuk para suporter yang tewas hari itu. Setelah wasit Andre Daina dari Swiss meniup peluit panjang, ribuan suporter Juventus langsung menyerbu lapangan. Hari itu adalah hari di mana Juventus, "Nyonya Tua" sepak bola Italia, untuk pertama kalinya menahbiskan diri sebagai yang terbaik di Eropa.
ADVERTISEMENT
Adalah gol tunggal Michel Platini yang menyegel kemenangan itu. Setelah Zibi Boniek dilanggar di kotak terlarang, fantasista asal Prancis itu menceploskan bola ke gawang Liverpool yang dikawal Bruce Grobbelaar. Musim sebelumnya, Liverpool menang atas wakil Italia, Roma, dalam laga di Olimpico lewat adu tendangan penalti.
Tanpa terkendali, euforia para suporter dan pemain Juventus mengubur duka yang seharusnya mereka tangisi hari itu. Itulah mengapa, meski memilukan, orang menyebut Tragedi Heysel sebagai tragedi sepak bola yang terlupakan.
34 orang sebenarnya sudah ditahan pada hari itu dengan 26 di antaranya ditetapkan sebagai terdakwa dengan tuduhan perbuatan yang menghilangkan nyawa orang lain (manslaughter). Tak berhenti di situ, Perdana Menteri Inggris kala itu, Margaret Thatcher, juga meminta Football Association (FA) untuk menarik keikutsertaan tim-tim Inggris dari kejuaraan antarklub Eropa.
ADVERTISEMENT
UEFA, sebagai persatuan asosiasi sepak bola Eropa, pun akhirnya menjatuhi hukuman larangan bertanding lima tahun bagi tim-tim Inggris. Khusus Liverpool, enam tahun.
Apa yang terjadi di Heysel adalah hasil dari dua masalah krusial yang ada di sepak bola, mulai dari hooliganisme sampai ketidakbecusan penyelenggara pertandingan. Pada masa itu, sebelum ada Premier League, suporter sepak bola Inggris memang biangnya rusuh. Akar permasalahannya, tentu saja, adalah keresahan yang ada di lingkup nasional.
Kesulitan hidup yang melanda kelas pekerja Inggris ini mereka lampiaskan dalam bentuk aktivitas kekerasan. Sepak bola, sebagai karnaval mingguan yang senantiasa mereka datangi, pun menjadi arena untuk saling hajar. Sekali lagi, ini terjadi pada era di mana pengawasan belum seperti sekarang ini. Dalam kolom Oliver Brown di Telegraph tahun 2015 lalu, misalnya, diceritakan bahwa ada banyak suporter yang sebenarnya hanya punya tiket bus ke Brighton bisa dengan seenaknya mencoret nama "Brighton" dan menggantinya dengan "Brussels".
ADVERTISEMENT
Rekam jejak buruk suporter Inggris ini sebenarnya sudah diketahui banyak pihak, termasuk UEFA serta para petinggi Liverpool dan Juventus. Itulah mengapa, para petinggi kedua klub sebenarnya keberatan jika laga final Liga Champions dihelat di Heysel. Pasalnya, meminjam istilah para suporter Arsenal yang bertandang ke Heysel tahun 1983, Stadion Heysel benar-benar kumuh.
Tembok stadion itu sudah benar-benar rapuh. Saat laga final 1985 itu saja, ada banyak lubang yang digunakan para suporter gelap untuk menyelundup. Situasi itu diperparah dengan pembagian tempat duduk yang sangat, sangat ceroboh.
Ketika itu, situasinya adalah Juventus dan Liverpool sama-sama tim terkuat di Eropa. Secara otomatis, jumlah penggemar mereka pun begitu banyak. Tak terkecuali mereka yang ingin turut serta dalam laga final Liga Champions.
ADVERTISEMENT
Di Stadion Heysel, ada enam sektor belakang gawang yang memang diperuntukkan bagi para suporter. Celakanya, pembagian yang dilakukan UEFA tidak adil. Juventus mendapat tiga sektor di tribun selatan, sementara Liverpool hanya kebagian dua sektor di tribun utara. Sedangkan, satu sektor lagi diperuntukkan bagi penonton netral dari Belgia sana.
Permasalahannya, tiket di sektor netral (sektor Z) ini kemudian diborong oleh agen-agen perjalanan di Brussels. Mengingat banyaknya orang Italia yang tinggal di Belgia, mereka yang mendukung Juventus pun memilih untuk membeli tiket ini. Alhasil, tribun yang seharusnya netral pun jadi banyak diisi oleh suporter Juventus.
Adapun, batas antara dua sektor di tribun utara ini hanyalah pagar kawat tipis dan pagar betis polisi yang jumlahnya tidak seberapa. Di sektor X yang berbatasan langsung dengan sektor Z, para suporter Liverpool mengamuk. Mereka merasa bahwa tempat untuk mereka terlalu sedikit. Satu jam sebelum sepak mula, para suporter Liverpool mulai merusuh. Batu yang berasal dari reruntuhan tembok mereka gunakan sebagai misil untuk menyerang polisi dan kerumunan suporter di sektor sebelah. Keberadaan warna Juventus di sana membuat para suporter Liverpool makin gelap mata.
ADVERTISEMENT
Perlu diketahui bahwa suporter Juventus yang berada di sektor Z bukanlah suporter garis keras yang menghuni tribun seberang. Itulah mengapa, ketika para suporter Liverpool mulai menyerbu, mereka tidak melawan, melainkan kabur ke tembok pembatas. Di situlah bencana baru kemudian benar-benar terjadi.
Tembok yang sudah rapuh itu tak kuasa menahan beban sedemikian berat. Tembok pun runtuh dan para suporter itu kemudian berjatuhan. 39 orang, sebagian besar orang Italia, meninggal dunia akibat terinjak-injak. 600 orang lainnya luka-luka. Sepak bola Inggris pun seketika menjadi paria.
Bek Liverpool, Mark Lawrenson, ketika itu sebenarnya enggan melakoni pertandingan.
"Semua pemain percaya bahwa pertandingan itu tidak seharusnya dilangsungkan," tutur Lawrenson seperti dikutip dari Telegraph. "Ada orang meninggal? Ada anak-anak muda yang meninggal? Kami semua ketika itu berpikir, 'Aku tidak akan main sepak bola setelah ada kejadian itu.' Sampai sekarang, tak pernah sekali pun saya melihat rekaman pertandingan itu. Saya tidak sudi."
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, Lawrenson bukan sosok yang punya kuasa di sana. Para pejabat UEFA, Perdana Menteri Belgia Wilfried Martens, Wali Kota Brussels Herve Brouhon, dan pihak kepolisian setempat akhirnya memutuskan agar pertandingan tetap diselenggarakan. Alasannya, kalau tidak ada pertandingan, para suporter bakal semakin brutal.
Jadilah kemudian dua kapten, Gaetano Scirea dan Phil Neal, diutus untuk menenangkan para suporter sebelum pertandingan dimulai. Tugas Scirea tentu saja lebih berat karena saat itu para ultras Juventus sudah berniat untuk menyerbu kedudukan para suporter Liverpool. Meski begitu, Scirea dan Neal berhasil menenangkan massa dan pertandingan pun dimulai.
Konteks Masa Kini
32 tahun setelah peristiwa tersebut, tidak ada lagi permusuhan yang terjadi antara Juventus dan Liverpool. Setiap tahunnya, kedua klub selalu memperingati peristiwa tersebut dengan kepiluan yang tak dibikin-bikin. Namun, itu di level klub. Di level suporter, ceritanya sempat lain.
ADVERTISEMENT
Pada musim 2004/05, Juventus dan Liverpool akhirnya kembali bertemu dalam ajang Liga Champions. Di Anfield, suporter Juventus disambut oleh koreo bertuliskan "Amicizia" yang dalam Bahasa Indonesia berarti "Persahabatan". Sebagian besar suporter Juventus menyambut baik gestur tersebut. Namun, ada sebagian kecil yang memilih untuk membalikkan badan.
Ketika bersua di Turin, mereka yang masih enggan menanggalkan kebencian itu pun melakukan penyerangan terhadap suporter Liverpool. Mereka juga kemudian membentangkan spanduk yang mengungkit Tragedi Hillsborough seraya berkata "Tuhan itu ada". Walau begitu, secara umum tidak ada lagi permusuhan yang terjadi di antara kedua klub ini.
32 tahun sejak Tragedi Heysel dan sepak bola sudah benar-benar berubah. Premier League, misalnya, merupakan salah satu produk dari introspeksi yang dilakukan oleh otoritas persepakbolaan Inggris dari tragedi ini. Segala pembenahan, mulai dari sistem penerbitan tiket sampai pengamanan stadion, semuanya sudah dibenahi. Bahkan, sampai sekarang pun tidak ada stadion besar Inggris yang memiliki tribun berdiri. Semua harus duduk tertib agar mudah dipantau.
ADVERTISEMENT
Pembenahan itu, tentu saja, merupakan sesuatu yang amat diperlukan terutama untuk mencegah hal-hal macam Tragedi Heysel terulang kembali. Akan tetapi, bagi 39 orang itu, yang terpenting adalah bahwa mereka selalu diingat. Bukan sebagai korban, tetapi sebagai martir. Sebagai pahlawan sepak bola.