'Monday Night Football' yang Diprotes Habis Suporter di Jerman

28 Februari 2018 20:18 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:11 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Bendera Borussia Dortmund. (Foto: Reuters/Michael Dalder)
zoom-in-whitePerbesar
Bendera Borussia Dortmund. (Foto: Reuters/Michael Dalder)
ADVERTISEMENT
Sepak bola Jerman adalah sepak bola yang agresif. Bukan hanya agresif di atas lapangan--dengan pressing tinggi yang kerap diperagakan oleh para pemainnya di atas lapangan--saja, melainkan juga agresif dalam menolak kapitalisme yang berusaha merongrong perlahan. Inilah yang terjadi saat wacana Monday Night Football digelorakan.
ADVERTISEMENT
Monday Night Football sebenarnya bukanlah sesautu yang baru di dunia sepak bola. Sejak hak siar kompetisi di Inggris diambil oleh Sky pada musim 1992/93 silam, Monday Night Football sudah mengemuka. Singkatnya, Monday Night Football ini berarti pertandingan yang disiarkan pada Senin malam. Selain di Inggris, negara-negara lain semisal Italia ataupun Spanyol sudah tidak asing dengan hal ini.
Melihat dari asal muasal kemunculan istilah Monday Night Football, pada dasarnya, siaran sepak bola pada Senin malam merupakan ceruk uang yang menjanjikan. Orang-orang yang lelah pulang bekerja, bisa bersantai di rumah sembari menonton pertandingan sepak bola di TV bersama keluarga. Hiburan sepak bola bagi suporter pun jadi lebih panjang, karena tidak terbatas di akhir pekan saja.
ADVERTISEMENT
Namun, hiburan berbau kapitalisme ini (karena upaya Monday Night Football untuk mengeruk keuntungan) menjadi sesuatu yang tentunya sedikit ditolak oleh sepak bola Jerman. Usulan Monday Night Football, yang digelorakan di sepak bola, dengan serta merta langsung menuai penolakan di sana-sini.
Bentuk Protes Terhadap Monday Night Football
Lemparan bola tenis dan tisu toilet tak henti menghujani Commerzbank-Arena, markas dari Eintracht Frankfurt, Senin (19/2/2018) malam waktu setempat. Lemparan yang terjadi ketika Frankfurt menjamu RB Leipzig dalam laga lanjutan Bundesliga musim 2017/18 itu merupakan bentuk protes suporter Frankfurt terhadap usulan Monday Night Football yang mulai mengemuka di Jerman.
"Selama mereka bisa menambah euro demi euro di dompet mereka, mereka tidak akan peduli. Mereka juga tidak akan memikirkan bagaimana caranya suporter menjalani laga tandang saat tidak libur bekerja. Pemasaran merupakan prioritas utama," ujar salah seorang suporter Frankfurt, dilansir The Guardian.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya suporter Frankfurt saja yang melakukan protes. Beberapa kilometer dari Frankfurt, tepatnya di Signal Iduna Park, para suporter Borussia Dortmund juga melakukan protes. Namun, alih-alih melakukan protes yang sifatnya kasar, mereka melakukan protes yang lebih elegan. Mereka melakukan boikot dengan tidak menghadiri pertandingan kandang melawan Augsburg, Senin (19/2) malam waktu setempat.
"Kami tidak akan berhenti. Kami tidak akan berhenti bersuara sampai tidak ada lagi pertandingan sepak bola di hari Senin," ujar Jan-Henrik Gruszecki, suporter Dortmund yang menjadi pemrakarsa aksi boikot ini, seperti dilansir ESPNFC.
"Boikot ini berjalan sukses. Stadion kosong dan ini adalah sebuah simbol yang kuat (tentang perlawanan kami). Tidak ada yang menyesali boikot ini, dan bahkan boikot yang lebih besar akan kami lakukan jika kebijakan yang sama (sepak bola di hari Senin) masih berlaku," tambahnya.
ADVERTISEMENT
Pihak Bundesliga, dilansir The Guardian, mengutarakan bahwa sepak bola di hari Senin ini sebagai pemberian waktu pemulihan lebih banyak kepada tim-tim Bundesliga yang bermain di ajang Liga Europa. Namun, bumbu-bumbu kapitalisme yang kadung tercium oleh para suporter di balik Monday Night Football ini membuat nalar kritis suporter Jerman muncul.
Saat kapitalisme berusaha melabrak sepak bola Jerman, di situlah para suporter mulai berbicara.
Catatan Suporter Jerman Menolak Kapitalisme
Aksi para suporter Jerman menolak Monday Night Football, sesuatu yang mereka nilai memiliki bau kapitalisme ini, bukanlah aksi pertama yang pernah dilakukan. Dalam rangka menolak kapitalisme, mereka bahkan pernah melakukan aksi ketika RasenBallsport Leipzig, atau yang lebih dikenal dengan sebutan RB Leipzig, mulai masuk kompetisi Bundesliga.
ADVERTISEMENT
Sekira beberapa tahun silam, klub yang merupakan hasil dari akusisi SSV Markranstaedt oleh perusahaan Red Bull ini masih berkutat di kompetisi level bawah sepak bola Jerman. Pada 2009, RB Leipzig memulai rencana besar mereka: membangun fasilitas-fasilitas latihan yang memadai serta membangun akademi sepak bola. Semua itu demi tujuan berupa menguasai Jerman dan mewakili Jerman di kancah Eropa.
Namun dalam perjalanannya, RB Leipzig dinilai merusak tradisi dan fondasi dari sepak bola Jerman itu sendiri. Aturan "50+1", yang menjadi dasar agar sepak bola Jerman tidak jatuh ke tangan korporat, dilanggar oleh RB Leipzig (meski ada yang bilang juga aturan itu dimainkan). Melihat hal ini, suporter Jerman tidak tinggal diam.
Mereka langsung bergerak melakukan protes. Suporter Dortmund, seperti halnya ketika mereka menolak Monday Night Football, melakukan boikot. Suporter Union Berlin dan Dynamo Dresden juga melakukan hal serupa. Bahkan suporter Dynamo Dresden sampai melempar kepala banteng ke atas lapangan sebagai bentuk protes (belakangan mereka akhirnya kena denda).
ADVERTISEMENT
Meski terbilang keras, hal ini menunjukkan bahwa suporter Jerman memang suporter yang tidak akan kuat jika melihat kapitalisme mulai merongrong klub mereka dan sepak bola Jerman. Maka, jangan heran ketika Monday Night Football digelorakan, perbuatan berbau kapitalis ini langsung diprotes oleh suporter.
***
Mungkin pada dasarnya Monday Night Football memiliki tujuan yang baik. Dia bertujuan agar para pesepak bola yang tampil di Kamis malam dapat memiliki waktu istirahat yang lebih lama. Namun, saat kedok kapitalisme itu terkuak, berupa harga hak siar yang lebih banyak, tak butuh waktu lama bagi suporter untuk berontak.
Karena, pada dasarnya, suporter di Jerman akan selalu melawan dan memberontak kala kebijakan klub dan federasi tidak menguntungkan klub dan juga suporter. Apalagi jika sudah menyangkut masalah uang berlebih, yang notabene sama sekali bukan tujuan dari Bundesliga sebagai wadah pembinaan para pemain-pemain muda Jerman.
ADVERTISEMENT