Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
Melihat sosok Paulinho sekarang, muskil rasanya membayangkan bahwa pada suatu titik dalam kariernya yang aneh itu, dia pernah hampir berhenti bermain sepak bola. Kala itu, dia masih belia dan ketika dia baru akan mulai bermimpi, kenyataan memaksanya untuk menjejak bumi.
ADVERTISEMENT
Paulinho tersentak. Dia tidak siap untuk itu. Biar bagaimana juga, sepak bola adalah bagian dari hidup yang tak bisa dipisahkan darinya. Namun, di saat itu dia harus berhadapan dengan fakta bahwa ada banyak hal yang tidak bisa dikontrolnya dalam hidup. Di titik itulah dia hampir saja menyerah.
Paulinho masih remaja ketika itu; masih 18 tahun. Dia baru saja mentas dari akademi sebuah klub dari kota kelahirannya, Sao Paulo. Klub tersebut--ketika itu--bernama Pao de Acucar.
Di usia itu, Paulinho dihadapkan pada dua pilihan. Dia bisa saja bersabar, menanti kesempatan untuk berlaga secara penuh di bawah panji klub yang kini bernama Gremmio Osasco Audax Esporte Clube itu. Pilihan lainnya, mencari kesempatan di tempat lain, dan pilihan kedua inilah yang kemudian diambil olehnya.
ADVERTISEMENT
Namun, kesempatan itu ternyata datang di tempat yang sangat, sangat jauh dari kampung halaman. Pada 2003, di ibu kota Lithuania, Vilnius, dibentuklah sebuah klub sepak bola bernama FC Vilnius. Ketika itu, mereka memang memiliki sebuah proyek ambisius dan ambisi itu diwujudkan dengan mendatangkan banyak sekali pemain Amerika Selatan, terutama Brasil.
Ketukan pintu dari FC Vilnius itu akhirnya datang. Selain karena keberadaan para kompatriotnya, Paulinho pun akhirnya bersedia karena bagi dirinya, lebih baik bisa mendapat kesempatan berlaga di divisi utama liga antah berantah daripada harus jadi penghangat bangku cadangan di divisi empat Liga Brasil.
Paulinho akhirnya bertolak ke Vilnius dengan membawa serta sang istri. Di sana, mimpi itu dirajutnya pelan-pelan dan apabila ditilik dari catatan statistik, rajutan itu sudah mulai terlihat wujudnya. Dirinya langsung dipercaya menjadi pemain tim utama di mana pada musim 2006/07, dia bermain sebanyak 35 kali dengan mencetak 8 gol.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, itu cuma catatan di atas kertas. Yang tidak bisa dikisahkan dari deretan angka itu adalah bagaimana dia harus menerima perlakuan tak menyenangkan dari para suporter. Rasialisme jadi musuh utama Paulinho di sana. Setiap kali dirinya turun berlaga, yang mengiringi langkahnya bukanlah puja-puji tetapi teriakan bernada rasial yang sesekali diiringi lemparan koin.
Paulinho masih muda, tetapi dia tidak mau begitu saja diperlakukan semena-mena dan hasilnya, setelah satu musim bermain di Lithuania, dia memutuskan untuk angkat kaki ke Polandia. Di sana, dia bergabung dengan LKS Lodz.
Sayangnya, kepindahan ini pun tidak berbuah manis. Hinaan rasial itu memang sudah tidak separah di Vilnius, akan tetapi ada dua hal yang membuat masa-masanya di Lodz menjadi sulit. Pertama, Liga Polandia memang lebih keras dibandingkan Liga Lithuania dan itulah mengapa, dirinya tidak mendapat kesempatan sebanyak di Lithuania.
ADVERTISEMENT
Kemudian, sebuah masalah klasik juga datang menghampiri. Kerinduannya dengan kampung halaman sudah tak mampu lagi dia tahan. Ditambah dengan kehamilan sang istri, makin meranalah Paulinho. Biar bagaimana pun, usianya masih begitu muda untuk menghadapi cobaan bertubi-tubi seperti itu. Di Lodz, akhirnya dia hanya bertahan semusim juga sebelum akhirnya mudik ke Brasil.
Momen ini adalah momen tersulit dalam karier Paulinho. Dia sempat berpikir untuk berhenti saja dari sepak bola. Depresi dan hilangnya percaya diri membuat pria kelahiran 1988 ini jatuh dalam kesulitan yang kala itu tidak bisa dia temukan sendiri jalan keluarnya.
Akan tetapi, hidup Paulinho, pada saat itu, sudah bukan jadi miliknya seorang. Sang istri sedang benar-benar membutuhkannya. Pun demikian dengan ayah-ibu yang mengharapkan kesuksesan dari dirinya. Selain itu, Paulinho pun sadar bahwa tanpa sepak bola, dirinya takkan jadi apa-apa.
ADVERTISEMENT
Di saat itulah kemudian teleponnya berdering. Klub lamanya, Pao de Acucar, memintanya untuk bergabung kembali.
"Setelah itu, kami bicara panjang lebar dan mereka memberikanku bantuan psikologis. Saat itulah aku kembali bermain sepak bola," tutur Paulinho kepada These Football Times.
Pao de Acucar, pada saat itu, belum juga beranjak dari divisi empat. Akan tetapi, talenta sebesar Paulinho mustahil untuk tidak tercium begitu saja. Pada musim 2009/10, atau semusim setelah kembali bermain untuk Pao de Acucar, sebuah klub divisi dua, Bergantino, datang menghampiri. Tawaran itu diterima Paulinho dan setelah semusim bersama Bergantino, seragam putih milik Corinthians melekat di tubuhnya.
***
Itu semua sama sekali tidak tampak masuk akal. Akhir Juli 2017, sebuah lentingan kabar muncul bahwa Paulinho akan segera bergabung dengan Barcelona. Kabar itu, tentu saja, tidak masuk akal karena bagaimana bisa? Bagaimana bisa seorang Paulinho yang sudah terasing di Timur Jauh selama dua tahun bisa memikat klub seperti Barcelona?
ADVERTISEMENT
Corinthians terbukti merupakan tempat yang nyaman bagi seorang Paulinho. Klub itu berbasis di Sao Paulo yang artinya, untuk bermain di sana, Paulinho tidak perlu berada jauh-jauh dari keluarganya. Selain itu, di bawah asuhan Tite, dirinya juga bisa bermain bersama pemain-pemain berbakat lain seperti Ralf, Emerson, serta Paolo Guerrero.
Itu semua terbukti dari prestasi menterang yang dicatatkan Paulinho selama berkostum Corinthians. Liga Brasil dikuasainya, Copa Libertadores direngkuhnya, dan Piala Dunia Antarklub pun sukses digamitnya. Sayangnya, itu semua kemudian justru mengantarkannya kepada sebuah masa sulit kedua.
Sebagai seorang pemain, Paulinho adalah sosok energik yang bisa melakukan segalanya di lini tengah. Well, mungkin tidak segalanya, karena dia bukan Andres Iniesta yang mampu membuat pemain lawan teperdaya dengan trik-triknya. Dalam konteks Paulinho, melakukan segalanya berarti mampu menyerang dan bertahan dengan sama baiknya.
ADVERTISEMENT
Paulinho adalah pemain yang sebenarnya sangat khas Brasil. Dia adalah satu dari dua poros yang selalu ada di tiap formasi 4-4-2 khas Brasil. Jika salah satu poros selalu berjaga di depan garis pertahanan, maka Paulinho ini adalah sosok yang bertugas mencegat serangan lawan sedini mungkin. Di saat yang bersamaan, dia pun memiliki kemampuan mencetak gol yang tidak bisa dibilang buruk.
Sosok pemain seperti ini seharusnya bisa dengan mudah berjaya di kompetisi seperti Premier League dan itulah yang dipikirkan Tottenham Hotspur, atau lebih tepatnya, Andre Villas-Boas, ketika meminang Paulinho pada 2013 silam. Di benak AVB, Paulinho bisa menjadi seperti Frank Lampard yang punya kemampuan komplet.
Awalnya memang seperti itu. Di delapan laga pertama berkostum The Lilywhites, dia mencetak tiga gol, termasuk sebuah gol dengan tumit yang dia lesakkan ke gawang Cardiff City. Namun, semua berhenti di situ. Sejak itu, sampai akhirnya angkat kaki dari White Hart Lane pada 2015, Paulinho tak lagi mampu menunjukkan segala potensi dan kemampuannya. Bahkan, para suporter Spurs memvonis dirinya sebagai pemain terburuk klub sepanjang masa.
ADVERTISEMENT
Tak ada yang tahu pasti apa penyebab di balik anjloknya penampilan Paulinho. Hugo Lloris, misalnya, mengatakan bahwa itu semua terjadi karena Spurs sebelum Mauricio Pochettino memang tidak punya struktur yang bagus. Lalu, ada pula yang menyebut bahwa kepergian Sandro ke Queen's Park Rangers jadi musabab. Kemudian, ada pula yang mengatakan bahwa kegagalan Paulinho itu disebabkan karena memang dirinya tidak cukup bagus.
Pada 2015 itu, Paulinho akhirnya hengkang ke China untuk bergabung dengan Guangzhou Evergrande besutan Luiz Felipe Scolari. Bagi para suporter Tottenham, kepindahan itu adalah sebuah konfirmasi bahwa memang Paulinho tidak layak untuk mengenakan kostum kebanggaan mereka. Akan tetapi, bagi si pemain sendiri, kepindahan itu sebenarnya hanyalah sebuah ancang-ancang mundur.
ADVERTISEMENT
Bermain di Liga China rupanya tidak semudah yang dibayangkan orang. Carlos Tevez dan Jackson Martinez bisa jadi saksi. Mereka datang dengan harga mahal dan dibayar selangit, tetapi mereka tidak pernah mampu memberikan prestasi seperti yang semestinya. Paulinho, sementara itu, adalah kebalikan dari Tevez dan Jackson.
Di Guangzhou, Paulinho menundukkan kepalanya dan bekerja keras. Hasilnya, dia pun berhasil membawa klub itu jadi kampiun Liga Champions Asia. Capaian itu adalah bukti sahih yang sudah lebih dari cukup seandainya keberhasilan Paulinho menjuarai kompetisi domestik di China tak layak dimasukkan hitungan.
Bersama Guangzhou itulah dia kemudian mendapat kembali kepercayaan dari Tim Nasional Brasil. Setelah pertama kali membela Selecao pada 2011, performa buruknya di Tottenham sempat membuatnya turut terkucil dari seleksi timnas. Namun, setelah Brasil diambil alih Tite, Paulinho pun kembali menunjukkan pemain seperti apa dia sebenarnya. Dia bahkan menjadi salah satu komponen terpenting dari kedigdayaan Brasil di Kualifikasi Piala Dunia 2018 di mana dia sempat membukukan hat-trick saat Brasil menumbangkan Uruguay, Maret 2017 lalu.
ADVERTISEMENT
Paulinho yang inilah yang akhirnya membuat Barcelona kepincut. Paulinho yang punya kecerdasan taktikal, kekuatan fisik, kesungguhan dalam bekerja, dan kemauan untuk menerima peran sebagai pelayan pemain-pemain bintang. Paulinho yang, rupanya, sebelumnya sudah mampu membuat Lionel Messi jatuh hati.
Relasinya dengan Messi itulah yang benar-benar memuluskan langkah Paulinho ke Barcelona dan semua itu berawal dari pertandingan Kualifikasi Piala Dunia antara Brasil dan Argentina, November 2016 lalu. Brasil menang 3-0 pada laga itu dan Paulinho mencetak satu gol. Dalam sebuah situasi bola mati, Messi berbisik singkat kepadanya, "Datanglah ke Barcelona."
Mendengar ajakan itu, Paulinho pun menjawab singkat, "Kalau kau mau, aku mau saja."
***
Musim 2017/18 sudah hampir mencapai separuhnya dan segala kesulitan itu rasanya seperti sudah terjadi di satu masa kehidupan yang lampau bagi Paulinho. 21 kali sudah dia tampil sebagai penggawa Blaugrana, baik itu di La Liga maupun Liga Champions, dan dari sana, enam gol plus dua assist sudah berhasil dia kemas.
ADVERTISEMENT
Paulinho yang selalu tampil mengesankan bersama Timnas Brasil itu kini sudah menjadi bagian penting Barcelona. Meski awalnya dia adalah sosok yang tak diinginkan, Paulinho berhasil membungkam semua kritik yang mengarah kepadanya. Namun, pertanyaan apakah Paulinho memang sosok yang pas untuk Barcelona itu baru akan benar-benar terjawab pada El Clasico, Sabtu (23/12/2017) malam WIB mendatang. Jika mampu melewati tes itu, maka status Paulinho sebagai pemain Barcelona baru akan benar-benar sah.