Pemain di Pengaturan Skor: Terpaksa atau Sukarela?

27 Desember 2018 17:38 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Stadion sepak bola. (Foto: Robert Bye on Unsplash)
zoom-in-whitePerbesar
Stadion sepak bola. (Foto: Robert Bye on Unsplash)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ini adalah bagian ketiga dari laporan hasil wawancara kumparanBOLA dengan Declan Hill menyoal pengaturan skor. Anda bisa membaca bagian sebelumnya di:
ADVERTISEMENT
====
“Were they pushed or did they jump? (Apakah mereka didorong atau mereka melompat sendiri?)” Bahasa sederhananya, pemain dan wasit yang terlibat pengaturan skor itu sebenarnya dipaksa atau melakukannya dengan sukarela, sih?
Sebelum menjawab pertanyaan ini, ada fenomena menarik menyoal pengaturan skor. Logikanya, untuk menentukan liga mana yang paling korup, kita dapat melihat dari catatan Corruption Perception Index (CPI). Sederhananya, indeks ini digunakan untuk melihat negara mana yang paling jujur--minim korupsi--secara keseluruhan.
Yang unik, CPI ternyata tidak berpengaruh pada aktivitas pengaturan skor di suatu negara. Ambil contoh Singapura. Aktivitas pengaturan skor marak menjadi perbincangan di Singapura sejak 1994 hingga 2007.
ADVERTISEMENT
Salah satu yang paling menggegerkan tentu tentang penangkapan fixer bernama Wilson Raj Perumal.
Sejak indeks dirilis pada 1995, Singapura tak sekalipun keluar dari 10 besar. Namun, sepak bola Singapura pernah dinyatakan kolaps karena skandal pengaturan skor.
“Tadinya saya juga berpikir seperti itu: Semakin jujur suatu negara, tentu dinilai dari CPI tadi, maka sepak bolanya juga bakal semakin bersih. Kita semua tahu Singapura adalah negara yang efektif, efisien, dan tegas.”
“Tapi sepak bolanya juga pernah buruk dan korup. Sepak bola di Singapura adalah lelucon. Atau Indonesia. Di negara kalian ini, sepak bola adalah mimpi buruk,” kata Declan Hill, kepada kumparanBOLA. Pada 2011, Hill menggagas kursus daring menyoal pengaturan skor Sport Accord (Global Association of International Sports Federations) yang pada akhirnya juga digunakan oleh Interpol untuk mempelajari dan mengusut kasus-kasus pengaturan skor.
ADVERTISEMENT
“Di Kanada, negara saya, pun demikian. CPI kami bagus, apalagi Kanada adalah negara kaya. Namun, sepak bola kami lebih buruk daripada lelucon. Sepak bola kami seperti farce (komedi gelap -red). Pengaturan skor dapat terjadi di mana saja, tak peduli sebagus apa pun CPI-nya,” tegas Hill.
Sepak Bola (Ilustrasi) (Foto: AFP/Armend Nimani)
zoom-in-whitePerbesar
Sepak Bola (Ilustrasi) (Foto: AFP/Armend Nimani)
Keberadaan fenomena pengaturan skor tidak dipengaruhi kultur sosial di suatu negara. Pernyataan Hill dapat disimpulkan demikian. Lantas, kalau bukan dipengaruhi kultur sosial, dipengaruhi apa dong?
Jawabannya sederhana: Self-interest, kepentingan pribadi. Alasan finansial menjadi dorongan utama mengapa praktik pengaturan skor muncul. Makanya, sebagian besar kasus pengaturan skor menimpa tim-tim lemah.
Logikanya, gaji yang diterima oleh pemain tim-tim lemah tidak sebesar yang diterima pemain di tim kuat. Apalagi menurut Hill, uang yang didapat dari pengaturan skor lebih besar ketimbang gaji itu sendiri.
ADVERTISEMENT
“Apakah uang yang didapat para pemain lewat pengaturan skor setara dengan gaji mereka? Wah, kasusnya bisa lebih buruk. Artinya, uang yang mereka dapatkan bisa jauh lebih banyak ketimbang gaji mereka sendiri,” jelas Hill.
Sebagian besar kasus pengaturan skor memang dipicu oleh ‘ketamakan’ para pelakunya, termasuk pemain. Semakin mereka tergiur dengan uang yang bisa didapat dari skandal pengaturan skor, semakin besar pula kemungkinan mereka terlibat. Kalau sudah seperti ini, tentu tidak ada unsur paksaan di dalamnya.
Bola Sepak (Ilustrasi) (Foto: pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Bola Sepak (Ilustrasi) (Foto: pixabay)
Laurent Wuilliot, gelandang Brussels FC yang pernah diajak untuk ikut terlibat dalam pengaturan skor di kompetisi domestik Belgia pada 2005, bercerita kepada Hill tentang treatment yang diterimanya dari para fixer. Menurutnya, alih-alih paksaan dan ancaman, segala sesuatunya lebih menyerupai transaksi bisnis. Jika kau tertarik kau bisa ambil bagian, jika tidak, ya silakan pergi.
ADVERTISEMENT
“Dua hari sebelum pertandingan, saya menerima panggilan telepon dari kenalan lama saya. Ia menanyakan kepada saya apakah saya mau untuk menjual pertandingan untuk menambah pundi-pundi uang saya. Saat itu juga saya menolak tawaran tadi karena saya tidak ingin terseret jauh.”
“Namun, semuanya jelas. Orang itu menghormati keputusan saya untuk tidak terlibat. Saya mengenal mereka secara pribadi dalam waktu yang lama dan tidak sekalipun mereka mengancam saya,” jelas Wuilliot kepada Hill.
Walau ada dalam kompetisi liga yang berbeda, polisi senior Singapura yang ikut ambil bagian dalam investigasi kasus pengaturan skor di Singapura juga menjelaskan bahwa pada dasarnya, kasus yang terjadi di negaranya itu tidak mengandung unsur paksaan jika sejak awal para pemain, pelatih, atau wasit yang diajak langsung menolak.
ADVERTISEMENT