Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
Persija Barat tak sebesar Persija. Namun, bukan berarti Persija Barat tak melanjutkan hidup. Bukan berarti Persija Barat melempar handuk dan undur diri dari ranah sepak bola.
ADVERTISEMENT
Setiap klub punya caranya sendiri untuk bertahan hidup. Pun demikian dengan Persija Barat. Ranah sepak bola Indonesia bukan tempat yang aman. Berdiri sejak 1979, prestasi terbaik Persija Barat adalah bermain di Divisi I Perserikatan. Tak pernah ada gelar juara yang didulang. Namun, gelar juara bukan syarat utama untuk mempertahankan kehidupan.
Taufik Jursal Effendi yang kini menjabat sebagai CEO Persija Barat bertemu dengan sepak bolanya yang paling ideal. Bukan sepak bola yang cuma memperebutkan trofi dan gelar juara. Bukan sepak bola mewah yang identik dengan kucuran dana, yang berubah rupa menjadi galeri serba wah tempat para pesohor lapangan hijau mempertontonkan kelasnya.
Sepak bola paling ideal bagi Taufik adalah sepak bola yang memberi tempat luas bagi pembinaan usia muda. Kabar baiknya, Taufik tak sendirian. Ia tak luntang-lantung hidup bagai manusia nomad tanpa tempat bernaung.
ADVERTISEMENT
Persija Barat membuka pintunya lebar-lebar. Yang dipersilakan masuk bukan hanya Taufik, tapi juga visinya untuk menjadikan Persija Barat sebagai kawah candradimuka pesepak bola muda Jakarta, bahkan Indonesia.
“Renjana (passion) saya memang di pembinaan. Mengerjakan ini tidak ada beban, tidak menambah-nambah pikiran yang tidak perlu,” seperti itu Taufik bercerita kepada kumparanBOLA soal apa yang menjadi visinya di Persija Barat.
Pembinaan memang bukan hal asing bagi Taufik. Baginya, pembinaan bukan upaya banting setir karena klub yang dipimpinnya masih berkutat di Liga 3. Pembinaan bukan keputusan yang muncul akibat rasa frustrasi, tapi keputusan yang lahir dengan kesadaran dan pemahaman penuh.
Berhitung mundur, Persija Barat menjadi salah satu klub di Jakarta yang berbadan hukum pada 2016. Di tahun tersebut, dibentuklah PT Jakarta Bola Prima yang menaungi Persija Barat. Keberadaan klub dinilai Taufik sebagai faktor penting untuk mewujudkan visinya tersebut.
ADVERTISEMENT
Karena itulah, mantan pengurus PSSI era Djohar Arifin itu memutuskan untuk menerima pinangan Persija Barat. Menyoal pembinaan usia muda, Persija Barat tak menjadi tempat pertama Taufik. Asosiasi Sekolah Sepak Bola Indonesia (ASSBI) merupakan bukti komitmennya dalam pembinaan.
“Keputusan ke Persija Barat lebih menyoal kesadaran bahwa saya membutuhkan rumah. Minat saya memang pembinaan. Tapi, di ranah sepak bola, kita ini butuh rumah untuk mewujudkan visi dan misi. Dan rumah itu, ya, klub.”
Klub-klub yang tak berlaga di kompetisi teratas memang punya permasalahan mirip. Mulai dari stadion dan fasilitas yang semenjana, kekuatan finansial yang lemah, hingga manajemen yang acak-adut. Beruntung, Taufik tak mengeluhkan persoalan terakhir. Namun bukan berarti Persija Barat tak punya tantangannya sendiri.
ADVERTISEMENT
Stadion Cendrawasih hingga sekarang memang masih menjadi markas Persija Barat. Latihan rutin diadakan tiap minggunya, terutama jelang kompetisi Liga 3. Jangan bayangkan stadion yang terletak di area Cengkareng ini mewah dan berlimpah fasilitas. Tak ada pemandangan yang membuat orang-orang mengantre untuk berfoto di spot terbaik. Di sini tak ada tribune keliling. Tempat para penonton hanya disediakan di salah satu sisi stadion dengan kapasitas yang tak besar.
Saat kumparanBOLA menyambangi latihan pada Kamis (15/4/2019), stadion juga digunakan oleh klub atletik setempat. Tentu, latihan atletik itu hanya digelar di trek lari yang ada tepat di sisi lapangan.
Menariknya, anggota klub atletik itu anak-anak usia SD hingga SMP. Pemandangan di sana mengisyaratkan bahwa Stadion Cendrawasih membuka pintunya lebar-lebar bagi banyak atlet usia muda.
ADVERTISEMENT
Di sana tak ada fasilitas berlebih: Hanya lapangan ala kadarnya, empat lampu stadion yang masing-masing terdiri dari 18 lampu, dua gawang yang syukurlah tetap berdiri sesuai standar, serta toilet yang bisa menjadi ruang ganti para pemain.
Menyoal rumputnya, ya, tak istimewa. Taufik bahkan sempat berkomentar bahwa rumput lapangan Stadion Cendrawasih membuat pemain kesulitan untuk melepaskan passing.
Namun, di bawah naungan stadion seperti itulah Persija Barat menempa anak-anak didiknya. Menariknya, stadion macam ini sudah menjadi prestise tersendiri bagi mereka yang berlaga bersama Persija Barat.
“Beberapa teman saya yang berasal dari luar (Jakarta Barat), tertarik bergabung di Persija Barat karena fasilitasnya. Persija Barat punya lapangan, Stadion Cendrawasih. Itu sudah merupakan satu poin bagi kami. Pemain bisa menikmati latihan kalau dibandingkan dengan tim-tim lain yang belum punya lapangan tetap,” jelas Kapten Persija Barat, Anugrah Rifki Irfansyah, kepada kumparanBOLA.
ADVERTISEMENT
Persoalan stadion dan fasilitas adalah satu hal, masalah finansial menjadi hal lain. Kesulitan klub-klub Liga 3 soal finansial pada umumnya berhulu pada ketiadaan sponsor. Berangkat dari sini, pengurus-pengurus klub biasanya berswadaya menopang keuangan klub.
Ketidakstabilan keuangan jelas berpengaruh pada pembayaran uang saku para pemain. Akibatnya, tak jarang pemain jadi ogah-ogahan membela klub atau mengikuti latihan.
Situasi demikian pun diamini oleh Rifki--sapaan akrab Anugrah Rifki Irfansyah. Beberapa tahun membela Persija Barat, Rifki menyaksikan sendiri sejumlah pemain membela klub dengan komitmen yang naik-turun.
“Ya, ada juga beberapa pemain yang menginginkan main di persija barat karena ada uang sakunya. Ketika Persija Barat sempat ada masalah keuangan, dia latihannya sudah malas. Ketika ada pengumuman dari manajemen soal uang saku, dia muncul lagi,” ucap Rifki.
ADVERTISEMENT
“Sebenarnya, itu yang menjadi masalah Persija Barat. Jadi, Persija Barat tidak pernah stabil. Yang awalnya tampil bagus, bisa turun drastis prestasinya. Makanya, (kondisi tim) masih agak sulit,” jelas Rifki.
Situasi tak mengenakkan seperti ini sebenarnya tidak terjadi tanpa penyebab. Menurut Taufik, kemunduran klub-klub lokal terjadi jauh sebelum dualisme yang membuat sepak bola Indonesia dibekukan FIFA. Masalah itu sudah muncul saat Galatama dan Perserikatan dilebur pada 1994.
Awalnya, kompetisi sepak bola di Indonesia memiliki dua kutub berbeda: Galatama dan Perserikatan. Alasan peleburan ini cukup masuk akal, yaitu demi menggabungkan sepak bola yang ditopang dengan fanatisme dan profesionalisme. Fanatisme dimiliki oleh klub-klub Perserikatan, sementara profesionalisme merupakan kekuatan klub-klub Galatama.
Rumor yang beredar, pertandingan Galatama selalu sepi penonton sehingga tentu berimbas pada pemasukan klub. Sementara, laga Perserikatan selalu ramai karena mengusung budaya kultur yang tinggi. Kebanggaan besar bagi suporter jika klub yang mewakili daerah mereka menang bahkan jadi juara. Istilahnya, kampiun akan menjadi tolok ukur bahwa suatu wilayah merupakan rajanya sepak bola Indonesia.
ADVERTISEMENT
Walaupun bersifat tradisional, bukan berarti klub-klub perserikatan dibangun tanpa fondasi. Tim-tim ini merupakan produk dari kompetisi internal yang digelar di wilayah masing-masing. Jadi, muncullah pemain-pemain terbaik dari Liga Persija, Liga Persib, Liga Persebaya, Liga Persipura, dan liga lainnya. Sederhananya, klub yang bertanding di Perserikatan adalah timnas-nya wilayah yang diwakili.
Sementara, Galatama juga bukannya tak punya kelebihan. Taufik bahkan menjelaskan bahwa Galatama adalah patokan bagi kompetisi profesional sepak bola Jepang.
“Jadi, federasi Jepang itu menjadikan Galatama sebagai tolok ukur. Gini, lho, liga profesional itu. Waktu itu kan Jepang belum punya liga profesional,” jelas Taufik.
Tak cuma itu. Klub-klub Galatama juga sukses melambungkan sepak bola Indonesia. Di Liga Champions Asia, Krama Yudha Tiga Berlian meraih tempat ketiga pada 1985/86. Atau, lihat pula perjalanan Pelita Jaya di kompetisi ini.
ADVERTISEMENT
Perserikatan pada awalnya dianggap sebagai ibu kandung dari pembinaan sepak bola Indonesia karena juga menjangkau daerah-daerah alias non-kota besar. Sayangnya, penggabungan itu membuat mereka dipaksa untuk lepas dari pendanaan APBD.
Akibatnya fatal, pembinaan berjenjang tak sampai ke wilayah. Di sisi lain, regulasi PSSI yang abu-abu dalam penerapannya juga menggerus profesionalisme sepak bola Indonesia yang diusung oleh klub-klub Galatama.
Pada akhirnya, kompetisi usia muda yang bertujuan untuk menggairahkan sepak bola di daerah-daerah mati suri. Kalaupun ada kompetisi kelompok umur, klub cenderung mencomot pemain dari sana-sini, bukannya disaring lewat pembinaan jangka panjang. Kondisi jadi semakin parah karena profesionalisme yang setengah-setengah juga membuat klub tak sehat. Sialnya, efek itu berlanjut hingga sekarang.
ADVERTISEMENT
Kabar baiknya, Persija Barat menolak tunduk di hadapan kondisi muram. Komitmen Taufik pada pembinaan usia muda membawanya pada solusi. Per November 2018, Persija Barat mengikat kerja sama dengan EDF (Estrellas Del Futbol) La Liga Academy.
EDF merupakan akademi La Liga pertama di Asia Tenggara. Pada dasarnya, akademi ini bertujuan untuk membentuk anak-anak muda untuk menjadi pesepak bola profesional lewat pembinaan grassroot secara intensif. Akademi ini dibagi menjadi dua kategori: Regular Class dan Elite Team Class.
Regular Class terbuka bagi umum, sementara Elite Team Class hanya untuk pemain hasil seleksi. Regular Class dibagi menjadi beberapa kelompok umur: U-8, U-12, U-14, U-16, dan U-18.
Sementara, yang berkolaborasi dengan Persija Barat adalah Elite Team Class. Untuk tahap awal, kategori ini merupakan kelompok umur U-15 untuk pemain kelahiran 2004 dan 2005.
ADVERTISEMENT
Untuk sementara, program Elite Team Class berlangsung selama setahun di bawah pantauan langsung pelatih La Liga Academy, Javier Munoz. Latihan digelar setiap Selasa dan Kamis di Lapangan Rugby Stadion Utama Gelora Bung Karno. Sementara, game berlangsung setiap Minggu.
“Yang diperhatikan di sini bukan cuma sepak bolanya. Kami ingin akademi ini benar-benar seperti di Eropa. Jadi, pendidikan si anak (sekolah) dipentingkan. Yang pertama itu bukan sepak bolanya, tapi sekolahnya. Malah kalau ada yang sekolahnya jeblok seharusnya diistirahatkan dulu. Bereskan dulu akademi, baru sepak bola. Pemain sepak bola itu harus cerdas,” tegas Taufik.
Komitmen jangka panjang merupakan syarat utama pembinaan usia muda. Bagaimanapun, hasilnya tidak akan didapat secara instan. Taufik mencontohkan apa yang terjadi pada sepak bola Spanyol. Pada 1990-an, Spanyol dipenuhi oleh pemai-pemain hebat, tapi tak lantas menjadi juara dunia.
ADVERTISEMENT
“Tahun 1990-an di Spanyol banyak pemain hebat, kan? Ada Raul (Gonzalez), (Andoni) Zubizarreta--masih ingat betul saya. Tapi, memangnya mereka juara dunia? Spanyol baru juara dunia pada 2010. Di Piala Eropa juga begitu. Tapi, pembinaannya ‘kan sudah lama. Jadi, tidak serta-merta langsung juara,” ucap Taufik.
Prinsip pembinaan seperti itu pulalah yang menurut Taufik mesti diterapkan di Indonesia. Kompetisi usia muda, termasuk Timnas, memang penting. Tapi, fungsi kompetisi untuk mematangkan pemain, bukannya mendulang gelar juara.
“Coba lihat Timnas-nya Indra Sjafri dan Fakhri Husaini. Mereka juara ‘kan? Dihitung tidak buat peringkat nasional? Tidak dihitung. Yang dihitung itu cuma senior. Makanya, kompetisi kelompok umur itu fokusnya jangan buat juara,” jelas Taufik.
Persija Barat hingga kini masih berkutat di Liga 3. Kondisi mereka jelas jauh dari kata ideal. Dukungan pemerintah memang ada walau di sisi lain, Taufik menegaskan bahwa ia menolak dukungan dalam bentuk finansial.
ADVERTISEMENT
Bagi Taufik, sokongan paling ideal untuk klub seperti Persija Barat adalah pembenahan fasilitas dan gelaran kompetisi internal. Taufik tak mau berpola pikir naif. Baginya, kekokohan finansial memang mampu menjamin kesehatan klub. Hanya, di atas segalanya, klub tetap harus dibangun di atas fondasi pembinaan.
Klub bisa menjadi besar dengan cara yang instan. Mencari pemilik berkantong tebal, menggaet sponsor untuk membeli pemain-pemain ‘jadi’ demi merebut tempat terelite.
Itu bukan cara yang salah. Toh, sepak bola modern tidak mengharamkan cara-cara tadi. Tapi, perjalanan panjang Taufik di ranah sepak bola membuatnya percaya bahwa kekokohan yang dibangun dengan pembinaan usia muda akan menghasilkan kekokohan yang awet.
Dan dengan cara seperti itulah Taufik menjaga Persija Barat. Dengan komitmen itulah Persija Barat mempersetankan cap marjinal yang melekat pada klub-klub sepertinya.
ADVERTISEMENT
====
*kumparanBOLA membahas cerita mengenai bagaimana caranya klub-klub marjinal di ibu kota bertahan hidup lewat kaca mata PSJS, Persitara, dan Persija Barat. Anda bisa mengikuti pembahasannya via topik 'Klub Marjinal Ibu Kota '.