Piala Dunia 1974: Saling Tikam Dua Jerman

9 Mei 2018 15:19 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Gol Juergen Sparwasser ke gawang Sepp Maier. (Foto: AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Gol Juergen Sparwasser ke gawang Sepp Maier. (Foto: AFP)
ADVERTISEMENT
Sekeras apa pun upaya sepak bola untuk menghindari sengkarut politik, pada akhirnya ia akan tetap tersangkut juga. Ketika nasib sudah bersabda, tak ada yang punya kuasa untuk menghentikannya.
ADVERTISEMENT
Dalam cengkeraman Perang Dingin, dunia terasa begitu panas. Gesekan kecil saja bisa menimbulkan kobar api yang dahsyat. Lantas, bagaimana jika dua negara yang menjadi simbol kekuasaan teritorial Blok Barat dan Blok Timur harus saling tikam di sepak bola; di arena olahraga yang paling rentan untuk memunculkan gesekan; di ajang yang mendapat perhatian dari seluruh dunia?
Pasca-Perang Dunia II, Jerman dibagi menjadi empat bagian. Ada yang dikuasai oleh Amerika Serikat, ada yang diduduki Inggris, ada yang dikontrol Prancis, dan ada pula yang jadi milik Uni Soviet. Keempat negara tersebut merupakan negara-negara pemenang perang yang tergabung dalam Sekutu.
Terpecahnya Jerman menjadi empat ini berlangsung antara 1945 sampai 1949. Pada 23 Mei 1949, wilayah Jerman yang dikuasai Amerika, Inggris, dan Prancis melebur menjadi satu dan membentuk Republik Federal Jerman. Lalu, pada 7 Oktober, Republik Demokratik Jerman dideklarasikan di wilayah Jerman yang dikontrol oleh Uni Soviet.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya, masih ada satu negara lain yang terbentuk dari Jerman yang terpecah ini, yaitu Protektorat Saar, yang berada di bawah kendali Prancis. Namun, setelah melalui referendum pada 1957, negara ini akhirnya melebur menjadi salah satu negara bagian Jerman Barat.
Dikotominya sangat jelas di situ. Jerman Barat adalah representasi Blok Barat, sementara Jerman Timur adalah benteng terdepan Blok Timur untuk menangkal pengaruh dari Barat. Perlahan tapi pasti, dua negara yang berasal dari satu rahim ini bakal menjadi musuh, meski tidak pernah ada konfrontasi terbuka antara keduanya. Seperti Perang Dingin itu sendiri, suasana di sana dingin di luar, tetapi panas di dalam.
Terbelahnya Jerman menjadi dua ini mau tidak mau berpengaruh pula ke sepak bola. Awalnya, ketika Jerman masih terbagi empat, sempat ada wacana untuk membentuk kompetisi berskala nasional. Akan tetapi, setiap kali diundang untuk turut serta, tim-tim dari wilayah kekuasaan Uni Soviet selalu menolak.
ADVERTISEMENT
Tarik ulur ini resmi berakhir pada 1950. Di tahun sebelumnya, tim-tim dari Berlin Barat dan Timur masih berkompetisi dalam satu liga. Lalu, ketika Union Oberschoenweide, sebuah klub dari Berlin Timur, menjadi juara kompetisi regional dan berhak lolos ke kompetisi nasional, mereka tidak diperbolehkan untuk melakukan perjalanan ke Barat. Dari sana, Jerman Timur pun membentuk kompetisinya sendiri yang dinamai Oberliga.
Meski sudah tak bermain dalam kompetisi yang sama, pada dekade 1950-an itu, tim-tim Jerman Barat dan Timur masih kerap bertemu dalam laga persahabatan. Salah satu laga paling dikenang dari era ini adalah tatkala Kaiserslautern bertemu dengan Wismuk Karl-Marx-Stadt di Zentralstadion Leipzig, Jerman Timur, pada 1956.
Dua klub tersebut adalah raja di kompetisinya masing-masing. Kaiserslautern menjadi juara Jerman Barat pada 1951 dan 1953 serta menjadi runner-up pada 1954 dan 1955. Sementara, Wismuk Karl-Marx-Stadt adalah kampiun Oberliga edisi 1955/56.
ADVERTISEMENT
Ada kurang lebih 400 ribu orang yang memesan tiket untuk pertandingan tersebut dan akhirnya hanya ada seperempat dari jumlah itu yang beruntung. Kaiserslautern memenangi laga akbar tersebut dengan skor 5-3.
Nantinya, pertemuan di level klub bukanlah barang langka bagi klub-klub Jerman Barat dan Timur. Akan tetapi, meski tim-tim dari kedua negara sudah mengikuti kompetisi antarklub Eropa sejak akhir dekade 1950-an, mereka baru bertemu pertama kali pada musim kompetisi 1973/74. Saat itu, Bayern Muenchen dan Dynamo Dresden dipertemukan pada babak kedua European Cup. Dalam dua leg, Bayern keluar sebagai pemenang dengan agregat 7-6.
Di era ini, Dynamo Dresden memang kerapkali berkiprah di kompetisi antarklub Eropa dan hal itu membuat mereka nantinya bakal kembali melakoni laga legendaris menghadapi Bayer 05 Uerdingen di ajang Piala Winners 1985/86. Publik sepak bola Jerman mengingat laga ini dengan sebutan 'Keajaiban di Grotenburg', merujuk pada nama stadion milik Uerdingen.
ADVERTISEMENT
Dalam pertemuan itu, Dynamo tampil digdaya di 135 menit pertama. Pada pertemuan leg I di Dresden, mereka menang 2-0. Kedigdayaan ini berlanjut pada laga babak pertama leg II di Uerdingen ketika mereka berhasil unggul 3-1. Dengan agregat 1-5, kans Uerdingen untuk lolos sangatlah kecil.
Akan tetapi, keajaiban itu akhirnya terjadi. Pada babak kedua laga leg II, Uerdingen mencetak enam gol ke gawang Dynamo dan akhirnya lolos dengan agregat 7-5. Oleh majalan Jerman, 11 Freunde, laga ini disebut sebagai pertandingan sepak bola terhebat sepanjang masa.
Jika di level klub pertemuan tim-tim Jerman Barat dan Timur sudah tidak asing lagi, lain halnya dengan di level internasional. Memang, pada ajang Olimpiade, Jerman Barat dan Timur pernah bertemu dua kali. Akan tetapi, laga Olimpiade itu tidak bisa dijadikan ukuran karena saat itu hanya pemain amatirlah yang boleh berlaga.
ADVERTISEMENT
Aturan pemain amatir ini jelas menguntungkan Jerman Timur karena pemain-pemain terbaik mereka, meski bermain di kompetisi level tertinggi, tetap dihitung sebagai pemain amatir. Sebaliknya, Komite Olimpiade Nasional Jerman Barat harus benar-benar mengirim pemain amatiran untuk berlaga di Olimpiade.
Pertemuan pertama tim Olimpiade Jerman Barat dan Timur terjadi sebelum Olimpiade Tokyo 1964. Ketika itu, Komite Olimpiade Internasional hanya memperbolehkan satu wakil Jerman untuk ambil bagian. Maka dari itu, kedua negara pun bertaruh lewat pertandingan. Siapa yang menang, merekalah yang akan membawa nama Jerman. Secara tidak mengejutkan, Jerman Timur menang. Mereka pun akhirnya sukses meraih medali perunggu di Tokyo.
Pertemuan kedua terjadi pada Olimpiade Muenchen 1972. Situasinya masih sama. Jerman Timur dengan pemain-pemain amatir kelas profesional, Jerman Barat dengan pemain-pemain amatiran. Lagi-lagi, Jerman Timur menang dan kemenangan itu membawa mereka meraih medali perunggu Olimpiade yang kedua.
ADVERTISEMENT
Dalam sepak bola, Olimpiade memang tidak pernah masuk hitungan. Itulah mengapa, sampai saat ini orang selalu menganggap bahwa Tim Nasional (Timnas) Jerman Barat dan Timur hanya pernah bertemu satu kali, yaitu di Piala Dunia 1974. Anggapan ini tidak salah karena di Piala Dunia tersebut, Jerman Timur untuk pertama (dan terakhir) kalinya berhadapan dengan Jerman Barat yang tampil dengan kekuatan penuh.
Jerman Barat mendapat kepercayaan untuk menggelar Piala Dunia 1974 tak lama setelah mereka menjadi runner-up Piala Dunia 1966. Pemilihan ini pun berjalan mulus, tanpa halangan apa pun. Akan tetapi, ada banyak hal tak terduga yang nantinya bakal terjadi jelang turnamen digelar.
Di Jerman Barat sendiri setidaknya ada tiga masalah besar. Masalah pertama adalah teror dari kelompok anarkis bernama Faksi Tentara Merah, atau yang lebih dikenal dengan Gerombolan Baader-Meinhof.
ADVERTISEMENT
Berti Vogts berebut bola dengan Martin Hoffmann. (Foto: AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Berti Vogts berebut bola dengan Martin Hoffmann. (Foto: AFP)
Kedua, Pembantaian Muenchen oleh kelompok teroris September Hitam dari Palestina yang menewaskan 11 atlet Israel dan 1 polisi Jerman Barat pada Olimpiade 1972. Terakhir, ada persoalan mundurnya Kanselir Willy Brandt yang rezimnya disusupi mata-mata Jerman Timur.
Dari luar negeri, kudeta militer oleh Augusto Pinochet di Cile membuat negara tersebut berpindah haluan dari kiri ke kanan. Dalam kudeta tersebut, Stadion Nasional Santiago dijadikan kamp konsentrasi oleh rezim Pinochet. Uni Soviet pun kemudian menolak untuk melakoni laga play-off di stadion tersebut sehingga dianggap gugur oleh FIFA.
Hal-hal itulah yang mewarnai hari-hari jelang Piala Dunia 1974. Tak heran apabila pengamanan ekstraketat dilakukan oleh aparat keamanan. Saking ketatnya, bek Jerman Barat, Paul Breitner, sampai berkata bahwa pengamanan itu seperti pengamanan di penjara.
ADVERTISEMENT
Namun, pengamanan ekstraketat itu pada akhirnya berbuah hasil karena selama gelaran Piala Dunia, tak ada hal-hal buruk yang terjadi. Termasuk ketika Jerman Barat dan Jerman Timur bertemu pada laga pemungkas Grup 1.
Baik Jerman Barat maupun Timur melangkah ke partai tersebut dengan dada membusung. Dalam dua laga sebelumnya, Jerman Barat mengalahkan Cile dan Australia. Sementara, Jerman Timur mengalahkan Australia dan bermain imbang dengan Cile. Mereka pun bertemu pada 22 Juni 1974 di Volksparkstadion, Hamburg, sebagai dua tim yang sudah pasti lolos.
Kendatipun kedua negara sudah memastikan kelolosan, tetap ada ketimpangan di antara mereka. Jerman Barat, biar bagaimana pun, telah menjelma menjadi raksasa sepak bola. Sebelum menjadi runner-up Piala Dunia 1966, mereka sudah terlebih dahulu menjadi juara pada 1954. Kemudian, pada 1972, Jerman Barat juga berhasil menjadi juara Piala Eropa.
ADVERTISEMENT
Sebagian besar pemain Jerman Barat itu berasal dari Bayern Muenchen yang baru saja menjadi juara European Cup dengan menundukkan Atletico Madrid. Sepp Maier, Breitner, Hans-Georg Schwarzenbeck, Franz Beckenbauer, Uli Hoeness, dan Gerd Mueller adalan nama-nama yang dimaksud. Mereka dikomando oleh seorang defektor dari Jerman Timur bernama Helmut Schoen.
Meski demikian, Jerman Timur juga tidak bisa diremehkan. Jika Jerman Barat punya Bayern Muenchen, Jerman Timur punya Magdeburg. Pada musim 1973/74, Magdeburg berhasil menundukkan Milan pada laga final Piala Winners. Kebetulan, di skuat Milan kala itu juga terdapat seorang mantan penggawa Jerman Barat bernama Karl-Heinz Schnellinger.
Bertemunya dua saudara ini disambut dengan antusiasme melimpah dari audiens Jerman Barat. 60 ribu tempat duduk di Volksparkstadion ludes terjual. Dari jumlah penonton sebanyak itu, hanya ada 1.500 orang dari Jerman Timur.
ADVERTISEMENT
Para penonton Jerman Timur itu sebagian besar dipilih dari kalangan polisi rahasia, Stasi. Nantinya, setelah bosan dengan yel-yel komunis yang menjemukan, para penonton Jerman Timur ini akan membelot dengan meneriakkan dukungan bagi saudara tuanya yang kapitalis itu.
Di Piala Dunia 1974 sendiri ada beberapa pertandingan menarik. Ada laga debut untuk Australia, ada laga antara Zaire dan Brasil yang diwarnai amarah pemain-pemain Zaire, ada pula partai Belanda vs Swedia yang melahirkan Putaran Cruyff (Cruyff Turn), Namun, tak ada satu pun laga itu yang tensinya setinggi Jerman Barat melawan Jerman Timur.
Tensi tinggi itu memaksa aparat keamanan untuk melipatgandakan pengamanan. Selain menempatkan tentara bersenjata lengkap, tuan rumah juga menyiagakan helikopter yang melayang persis di atas stadion. Barangkali, ini adalah hal yang paling mendekati konfrontasi terbuka antara Jerman Barat dan Timur pada era Perang Dingin dulu.
ADVERTISEMENT
Sayang, meski menjadi salah satu laga paling diantisipasi di Piala Dunia 1974, Jerman Barat yang mengenakan kostum putih dan Jerman Timur yang berseragam warna biru gagal memperagakan permainan atraktif. Banyak sekali peluang yang terbuang, termasuk ketika sepakan Mueller membentur tiang gawang Jerman Timur. Selama lebih dari delapan puluh menit, kebuntuan tak mampu dipecahkan.
Sampai akhirnya, sebuah upaya serangan balik dilancarkan Jerman Timur. Berawal dari lemparan kiper Juergen Croey ke sayap kanan, Martin Hoffmann berhasil menguasai bola dan mendribel bola ke arah pertahanan Jerman Barat. Sesampainya di sana, Hoffmann mengirim umpan jauh langsung ke jantung pertahanan lawan.
Di sana sebenarnya ada tiga pemain bertahan Jerman Barat yang berjaga: Horst Hoettges, Breitner, dan Berti Vogts. Akan tetapi, tiga nama besar itu tak mampu mengantisipasi pergerakan Juergen Sparwasser yang berlari kencang dari lini kedua.
ADVERTISEMENT
Sparwasser berhasil lolos dari kawalan tiga pemain bertahan Jerman Barat, menguasai bola, menggiringnya mendekati gawang, sampai akhirnya menaklukkan Maier lewat tendangan keras ke langit-langit gawang. Gol! Jerman Timur unggul dan Sparwasser merayakan gol itu dengan berjungkir balik.
Gol Sparwasser ini pun akhirnya menjadi gol tunggal pada pertandingan tersebut. Jerman Timur menang dan lolos sebagai juara grup.
Sayang, status juara grup kemudian justru mendatangkan petaka bagi Jerman Timur karena di babak berikutnya mereka harus bertemu dengan Brasil dan Belanda. Sementara, Jerman Barat mendapat lawan-lawan yang lebih mudah, berhasil masuk final, sampai akhirnya menjadi juara dengan menundukkan Belanda.
Bagi Jerman Timur, kegagalan untuk menjadi juara atau melangkah lebih jauh itu tidaklah penting. Bagi mereka, seperti kata kapten tim Bernd Bransch, yang terpenting adalah menunjukkan bahwa orang-orang Jerman Timur juga bisa bermain sepak bola.
ADVERTISEMENT
***
Jerman Barat dan Jerman Timur akhirnya melebur pada 1990. Sebelum itu terjadi, kedua negara sempat dijadwalkan untuk bertanding di kualifikasi Piala Eropa 1992. Setelah Jerman melakukan reunifikasi, tentu saja jadwal itu dihapuskan dan kemudian, sebagian pemain Jerman Timur pun bergabung dalam Timnas Jerman Bersatu, seperti Matthias Sammer, Olaf Marschall, Thomas Doll, Andreas Thorn, sampai Ulf Kirsten.
Meski banyak pemainnya yang dianggap pantas membela Timnas Jerman Bersatu, di level klub ceritanya agak lain. Sampai detik ini, tak ada satu pun tim eks Oberliga yang bisa berprestasi di Bundesliga 1.
Memang ada satu tim Jerman Timur di papan atas Bundesliga, RB Leipzig. Akan tetapi, Leipzig tidak lahir di era komunis dan dikarbit oleh Red Bull untuk bisa sukses secara instan. Dari sini, terlihat bahwa sebenarnya, di balik Jerman yang bersatu dan berprestasi itu, persepakbolaan mereka belum sepenuhnya pulih dari trauma Perang Dingin.
ADVERTISEMENT