news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Rayo Vallecano, Sobat bagi si Miskin dari Pinggiran Kota Madrid

14 Desember 2018 20:18 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Alvaro Garcia merayakan gol ke gawang Barcelona. (Foto: REUTERS/Javier Barbancho)
zoom-in-whitePerbesar
Alvaro Garcia merayakan gol ke gawang Barcelona. (Foto: REUTERS/Javier Barbancho)
ADVERTISEMENT
"Di antara segala hal yang bisa terjadi pada manusia, kehilangan tempat tinggal adalah yang paling menyedihkan."
ADVERTISEMENT
Paco Jemez tidak punya jawaban mengapa stadion yang menjadi rumah klub yang dilatihnya, Rayo Vallecano, hanya berjarak sepelemparan batu dari apartemen Carmen Martinez Ayuso. Jangan bayangkan bahwa ini hunian mewah bagi orang kaya. Bukan, Carmen bukan orang kaya. Ia janda berusia 85 tahun. Seorang tua yang untuk berjalan pun ia harus bertumpu pada tongkat.
Apartemen itu adalah ruang yang menjadi rumahnya selama 50 tahun. Ia bahkan tak tahu-menahu bahwa ternyata putranya diam-diam meminjam uang sejumlah 40.000 euro kepada seorang rentenir dan menjadikan apartemen yang dihuninya sebagai jaminan. Pinjaman putranya itu tak hanya berbunga, tapi menjadi taman bunga, membengkak hingga 70.000 euro. Tak ada yang bisa dilakukannya untuk melunasi, sampai akhirnya, apartemen Carmen harus disita.
ADVERTISEMENT
Pengadilan, di tengah hari putusan itu, berkata kepadanya bahwa Carmen bisa memulai segalanya dari awal lagi. Di depan pengadilan Carmen bertanya, “Memulai lagi? Saat usia saya sudah 85 tahun?”
Orang-orang berkumpul di sekitar apartemennya, memprotes keputusan penggusuran itu. Tapi, demonstran tak bisa berbuat banyak karena pada akhirnya keputusan tak bisa diganggu gugat.
Jemez mendengar cerita ini. Bersama pemain-pemain asuhannya, ia mengumpulkan uang sehingga bisa mencarikan tempat tinggal baru untuk Carmen dan membayar biaya sewanya secara patungan. Carmen selamat dari petaka menjadi tunawisma di usia senjanya.
Keesokan harinya, pada 28 November 2014, terdengar suara dari tribune Campo de Futbol de Vallecas, saat Rayo berlaga melawan Celta de Vigo. Bukan suara yang sayup-sayup, bukan pula suara yang berisik--tapi suara yang lantang. Di tribune itu dibentangkan spanduk yang bertuliskan nama Carmen. Di sebelahnya ada spanduk lain yang bila diterjemahkan kata-katanya akan menjadi: “Penggusuran oleh negara yang sakit, solidaritas kelas pekerja.”
ADVERTISEMENT
Sid Lowe yang menulis untuk ESPNFC bertemu langsung dengan Jemez seusai pertandingan itu. “Saat kami melihat foto-fotonya (Carmen), kami semua seperti melihat nenek kami masing-masing. Kami tidak bisa hanya berdiam diri. Kami akan menolongnya sehingga ia dapat tinggal di suatu tempat dengan terhormat dan tidak merasa sendirian,” jelas Jemez kepada Lowe.
Lowe memang orang Inggris, tapi ia tinggal di Madrid sehingga tahu benar apa yang diucapkan oleh Jemez dan dapat menerjemahkannya dengan tepat ke dalam Bahasa Inggris. Jemez tidak menyebut hidup dengan layak, tapi dengan terhormat--dengan martabat. Bukan hidup yang asal hidup, tapi hidup sebagai manusia sebenar-benarnya.
Ini cerita lama, terjadi pada 2014. Tapi, ceritanya tak usang karena terus hidup. Ia mewujud dalam tindakan-tindakan baru Rayo yang pada akhirnya berujung pada satu tujuan memberikan tempat bagi mereka yang terpinggirkan seperti Carmen. Sepak bola, bagi Rayo, bukan sekadar permainan, pertandingan, pekerjaan, atau kompetisi. Bagi Rayo, selama bola masih menggelinding di atas lapangan, maka selama itu pula tempat bagi Carmen-carmen lain bakal terus mereka perjuangkan.
ADVERTISEMENT
Rayo berdiri pada 1924. Seumur hidupnya mereka selalu menjadi bayang-bayang dari dua klub besar asal Madrid, Real Madrid dan Atletico Madrid. Apa boleh buat, di atas lapangan Rayo memang tak setangguh dua saudaranya itu. Bagi mereka, Liga Spanyol bukan lapangan bola, tapi sumur. Mereka mudah tergelincir ke dalamnya, tapi begitu sukar untuk kembali naik ke permukaan.
Persoalannya memang uang. Sehebat apa pun tim, percuma bila ia tak memiliki uang yang cukup untuk menghidupi diri. Di era milenium, terakhir kali mereka menjejak di La Liga adalah pada 2001/02.
Laga Rayo Vallecano vs Barcelona. (Foto: BENJAMIN CREMEL / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Laga Rayo Vallecano vs Barcelona. (Foto: BENJAMIN CREMEL / AFP)
Setelahnya, selama 10 tahun, tak ada Rayo di perebutan gelar juara La Liga karena mereka terjerembap di Segunda Division. Itu artinya, selama 10 tahun tak ada jersi yang mengingatkan orang-orang pada River Plate, tak ada Teresa Rivero (presiden klub pada 1994-2011) yang tertidur di tribune para petinggi dan aksinya memukul wasit dengan payung, tak akan ada cerita-cerita kontroversial politis ala keluarga Ruiz Mateos.
ADVERTISEMENT
Sebagai pengingat, Mateos adalah politikus yang lebih dulu berkecimpung dalam dunia bisnis. Ia memulai segalanya dari bisnis wine dan mengekspor produksinya itu ke Inggris. Bisnisnya menanjak, ia pun mendirikan perusahaan bernama Rumasa.
Pada 1983, perusahaannya itu diambil oleh pemerintah karena dituduh mengemplang pajak. Mereka pun mendakwa baha Rumasa sudah bangkrut. Laporan keuangan yang menunjukkan bahwa Rumasa masih baik-baik saja dianggap fiktif. Mateos tak terima dengan tuduhan ini dan menuntut balik pemerintah.
Lantas, muncullah fragmen ikonik itu. Mateos berdiri di pelataran pengadilan tinggi dengan mengenakan pakaian Superman dan berteriak dengan lantang. “Saya akan menghajar kalian, bajingan! Saya akan bicara kepada teman saya, Clark Kent, dan memintanya untuk bersama-sama merebut kembali perusahaan saya yang sudah kalian rampas!”
ADVERTISEMENT
Sialnya, pada 3 Desember 1985 Mateos benar-benar masuk bui. Begitu bebas, ia mendirikan partai politiknya sendiri pada 1989 dan membeli Rayo pada 1991. Tak cukup sampai di situ, Mateos pun mendirikan perusahaannya yang baru, New Rumasa, dan memperkerjakan 16.000 orang karyawan.
Kembali pada Rayo, mereka memang memiliki masalah finansial circa 2000-an itu. Rayo bahkan kekurangan uang untuk membayar gaji pemainnya sendiri. Bila para staf masih bisa mendapat gaji, itu karena para pemain rela gaji mereka tak dibayar dulu untuk memenuhi kebutuhan gaji para staf. Dengan segala kesulitannya, Rayo diperkirakan tak akan kembali ke La Liga. Namun, mereka menjejak juga di kompetisi tertinggi sepak bola Spanyol itu pada 2012.
ADVERTISEMENT
Bila ada satu laga yang paling penting bagi suporter Rayo, maka itu adalah laga melawan Real Madrid pada 27 Februari 2012. Mereka harus menunggu selama 3.396 hari atau sekitar 10 tahun untuk menjamu Los Blancos. Lowe yang hadir di pertandingan itu bahkan mendeskripsikan bahwa di sepanjang laga, seruan dan nyanyian para suporter Rayo begitu padu. Kata Lowe persis Freddie Mercury kala ber-eo-eo dengan para penggemarnya saat konser.
Tribune 'VIP' suporter Rayo Vallecano. (Foto: Benjamin CREMEL / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Tribune 'VIP' suporter Rayo Vallecano. (Foto: Benjamin CREMEL / AFP)
Campo de Vallecas yang menjadi tempat laga itu dihelat adalah stadion yang unik. Jangan bayangkan stadion semegah Bernabeu karena rumah Rayo itu benar-benar sederhana. Stadion ini hanya bisa menampung sekitar 14 ribu orang dan desain bangunannya pun biasa saja.
ADVERTISEMENT
Stadion ini juga cuma memiliki tiga tribune karena tidak ada tribun di belakang salah satu gawang. Lucunya, di belakang gawang tanpa tribune itu ada bangunan apartemen yang lebih tinggi dari tembok pembatas stadion sehingga mereka yang berada di lantai dua ke atas apartemen tersebut bisa menyaksikan pertandingan Rayo dari hunian mereka--termasuk pertandingan melawan Madrid. Benar-benar tribune VIP.
Laga itu berakhir dengan kemenangan tipis Madrid 1-0. Bagi Iker Casillas, itu menjadi laga tersulit mereka di sepanjang musim karena Rayo bermain begitu agresif dan beringas. Yang tertancap jelas di ingatan Casillas adalah Rayo benar-benar bertanding tanpa ketakutan. Mereka menyerang dengan beringas dan sulit untuk ditaklukkan walau memainkan permainan sederhana.
Di akhir laga, Jose Mourinho yang kala itu masih menjabat sebagai manajer Madrid masuk ke ruang ganti lewat terowongan stadion. Dalam langkahnya, ia mengalihkan pandangan ke sisi tribune penonton yang disesaki oleh suporter Rayo. Tak ada satu suporter pun yang duduk. Mereka berdiri, meloncat, bertepuk tangan, bersorak, bernyanyi--bahkan setelah laga tuntas. Mourinho menghentikan langkahnya sejenak. Acungan jempol diangkatnya tinggi-tinggi ke arah mereka.
ADVERTISEMENT
Di perjumpaan pertama pada September 2011 yang digelar di Bernabeu, dalam 15 detik Rayo sudah bisa memimpin 1-0 berkat gol Michu. Pemain yang satu ini agaknya menjadi salah satu pemain Rayo yang paling terkenal di era modern. Menyadari keunggulan pertama ini, sang pelatih meminta mereka untuk bermain lebih pragmatis. Menanggapi instruksi pelatihnya itu, salah seorang pemain Rayo mencetuskan jawaban paling cerdas yang bisa diucapkan oleh seorang pemain, “Apa? Dalam situasi seperti ini? Dengan kau sebagai pelatihnya? Tidak!”
Ya begitulah, semangat yang menggebu-gebu itu pada akhirnya menjadi senjata makan tuan. Bermain kelewat terbuka, Rayo menutup laga dengan kekalahan telak 2-6. Bahkan, Madrid mencetak dua gol dari titik putih. Barangkali yang ada di pikiran para pemain itu, laga ini menjadi kesempatan terbaik untuk menghajar orang-orang kaya ini.
ADVERTISEMENT
Di akhir laga, suporter Rayo tetap bersorak kegirangan. Papan skor memang menunjukkan bahwa mereka kalah telak di laga itu. Lowe bertemu dengan salah seorang suporter bertanya mengapa mereka tak mau berhenti bersorak kegirangan layaknya para pemenang. Suporter itu tak membutuhkan waktu lama untuk menjawab. Omongannya, kata Lowe, begitu mantap dan riang. “Peduli setan dengan hasilnya. Kami ‘kan datang ke sini untuk mendukung mereka, bukan memaksa mereka untuk menang.”
Lewat jawaban sederhana suporter inilah Lowe memahami apa yang dimaksud Jose Ramón Sandoval saat menyebut bahwa tim ini begitu berbeda. Mereka memang tidak memiliki nama besar dan kemantapan taktik, tapi tim ini hidup sebagai tim yang memiliki jiwa.
Barangkali, suporter Rayo adalah definisi paling pas untuk menggambarkan seperti apa sobat miskin itu. Mereka tidak hanya menjadi teman bagi orang-orang miskin dan terpinggirkan di Madrid, tapi juga menjadi kawan bagi jagoan mereka yang miskin gelar itu.
ADVERTISEMENT
Untuk memahami mengapa Rayo bisa seberbeda itu, kita hanya perlu menilik sebentar perjalanan Vallecas. Secara historis, Vallecas tadinya kota kecil independen. Tapi, pemerintah Spanyol memasukkannya ke dalam daerah administrasi Kota Madrid pada 1950-an. Mewah, metropolitan, modern, seperti itulah penggambaran paling tepat untuk kota seperti Madrid. Mereka yang tak sanggup hidup di Madrid, terutama saat Spanyol dilanda krisis kesejahteraan, memilih untuk menyingkir ke Vallecas yang secara hitung-hitungan memiliki biaya hidup lebih murah.
Vallecas adalah rumah bagi para imigran yang memutuskan untuk hijrah ke Madrid. Vallecas mempersetankan ras, di dalamnya hidup orang-orang berdarah Asia, Arab, Afrika, Amerika Latin, dan ras-ras lainnya. Distrik ini juga menjadi rumah bagi kelas pekerja. Maka, tak heran jika mereka menghidupi ideologi politik kiri dan sosialisme. Di era Franco berkuasa pun, Vallecas menjadi sarang bagi mereka yang menolak fasisme. Kemanusiaan, kesetaraan, keadilan sosial adalah nilai yang menjadi fondasi hidup orang-orangnya.
ADVERTISEMENT
Karena Rayo adalah milik Vallecas, maka sepak bola mereka adalah sepak bola yang menyuarakan pesan-pesan demikian. Tak pelak bila di pertandingan-pertandingan Rayo, spanduk dengan wajah Che Guevara dibentangkan atau lagu kebangsaan kelas pekerja macam Internationale, Yankee Doodle, atau La Marseillaise didentumkan. Siapa pun yang pernah hadir langsung di pertandingan mereka pasti akan mendapati bagaimana para suporter menolak untuk duduk, mereka berdiri, melompat di tribune sambil berteriak “If you don’t bounce, you’re a fascist!”
Suporter Rayo di laga melawan Athletic Bilbao. (Foto: DANI POZO / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Suporter Rayo di laga melawan Athletic Bilbao. (Foto: DANI POZO / AFP)
Pada tahun 2012, mereka bahkan memutuskan untuk meliburkan satu sesi latihan. Tujuannya supaya pemain dan staf bisa ikut turun ke jalan dan berdemonstrasi dengan kaum pekerja Spanyol sebagai bentuk aksi protes terhadap rencana Perdana Menteri Mariano Rajoy memangkas anggaran pelayanan publik sebesar 40 miliar euro.
ADVERTISEMENT
Suporter Rayo adalah suporter yang ramah karena kerap mengulurkan tangan buat mereka yang terpinggirkan. Tapi, di satu sisi, mereka dikenal sebagai salah satu kelompok paling bermulut tajam. Mereka menentang eksploitasi fans dalam sepak bola modern berupa harga tiket yang kelewat tinggi dan jam tayang yang memang kurang ajar.
Aksi protes yang dilakukan oleh suporter Rayo memang khas. Liar, tapi tak seenaknya. Soal harga tiket yang mereka nilai kelewat tinggi diprotesnya dengan cara jenaka. Suporter-suporter ini datang ke loket dan membayar selembar tiket dengan tas yang berisi uang koin pecahan satu sen. Di pertandingan, mereka mengosongkan bangku-bangku di tribune penonton dan membentangkan spanduk bertuliskan “If this is the football that Tebas (Javier Tebas, Presiden La Liga) wants, let his f---ing mother cheer them on!"
ADVERTISEMENT
Saat memprotes jam pertandingan yang kelewat larut, para suporter mendirikan koreo berbentuk kamar tidur di pengujung laga. Bahkan, pihak klub menolak untuk mengeksploitasi suporter atau pengunjung stadion mereka. Hal ini diwujudkan dalam bentuk ketiadaan tur stadion--kegiatan yang acap menjadi agenda pengelola stadion klub-klub Eropa. Barangkali dalam benak mereka, apa juga yang mau diperlihatkan kepada para pengunjung di dalam stadion. Toh, mereka tak punya trofi dan gelar juara untuk dipamerkan.
Kalau kau ingin mengenal Rayo, maka silakan datang ke pertandingan dan terkagum-kagumlah dengan atraksi para suporter di setiap laga. Jika kau ingin memahami klub seperti apa Rayo itu, maka berputarlah di sekeliling Vallecas.LIhatlah mural-mural, tembok-tembok kota yang dipenuhi dengan poster dan stiker anti Nazi. Jika kau ingin merasa dekat dengan Rayo, maka berpartisipasilah dalam penggalangan dana yang acap mereka lakukan untuk membantu orang-orang Vallecas.
ADVERTISEMENT
Suporter Rayo Vallecano di laga melawan Real Madrid. (Foto: Benjamin CREMEL / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Suporter Rayo Vallecano di laga melawan Real Madrid. (Foto: Benjamin CREMEL / AFP)
Pada kenyataannya, yang merasakan uluran tangan Rayo bukan cuma Carmen. Lebih dari itu, mereka mendukung komunitas-komunitas yang menopang kaum marjinal. Salah satu contohnya pada musim 2015/16 lalu.
Jelang dimulainya musim, Rayo merilis kostum tandang dan ketiga mereka yang begitu khas. Corak garis diagonal di bagian depan jersi memang menjadi ciri Rayo. Namun, di jersi itu, corak ini berwarna mirip pelangi--merah, oranye, kuning, hijau, biru, dan ungu. Semua paham, corak seperti ini digunakan oleh LGBT sebagai simbol identitas mereka.
Lewat laman resminya, Rayo menjelaskan arti dari setiap warna itu. Meluncurkan jersi itu berarti mereka memberi tempat dan dukungan kepada para penderita kanker (merah), penyandang disabilitas (oranye), pengidap depresi (kuning), aktivis lingkungan (hijau), anti-kekerasan pada anak (biru), dan anti-kekerasan dalam rumah tangga (ungu). Seluruh warna tersebut membentuk corak pelangi yang pada akhirnya menjadi bentuk perlawanan mereka terhadap diskriminasi kepada LGBT. Touche.
ADVERTISEMENT
Hebatnya, mereka tak cuma bersuara, tapi bertindak. Mereka mendonasikan 7 euro dari tiap-tiap kostum yang terjual kepada komunitas-komunitas yang merepresentasikan warna-warna tadi (enam warna ditambah satu corak pelangi) secara merata. Satu euro dari tiap jersi untuk tiap komunitas. Itu baru kostum tandang. Kostum ketiga mereka di musim itu berwarna abu-abu dengan corak merah muda yang dipakai sebagai dukungan kepada penderita kanker payudara.
Vallecas tidak hanya menjadi tempat yang ramah bagi para imigran. Mereka juga memberikan kepada pemain-pemain buangan untuk melanjutkan karier sebagai pesepak bola. Laurie Cunningham adalah salah satu contohnya. Nama Cunningham besar di akhir 1970-an hingga awal 1980-an. Terlebih pada 1983 ia mencetak sejarah dengan menjadi pemain asal Inggris pertama yang dikontrak oleh Madrid.
ADVERTISEMENT
Walau sempat digadang-gadangkan bakal menjadi baru, Cunningham tenggelam. Pada 1983 ia dipinjamkan ke Mancehster United dan pada 1984 ia menyandang status sebagai pemain pinjaman ke Sporting Gijon. Setelahnya, Cunningham malang-melintang, ia bahkan pernah menjejak selama semusim di Rayo pada 1986/87 sebelum akhirnya merantau lagi.
Namun, rumah itu akhirnya ia temukan saat ia memutuskan untuk kembali ke Rayo pada 1988. Sepanjang musim, ia hanya bermain 19 kali dan mencetak satu gol. Namun, golnya itu adalah gol penentu kelolosan Rayo ke La Liga. Nahas tak berhenti menimpa Cunningham. Pada 15 Juli 1989 ia meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil di Madrid dalam usia 33 tahun.
Bukan cuma mendiang Cunningham yang menemukan ruang di Rayo. Diego Costa, si bengal itu, pun demikian. Pada 2010, Costa dipinang Atletico dan menandatangani kontrak hingga 2014. Namun, pada 2012 ia dipinjamkan ke Rayo.
ADVERTISEMENT
“Saya tidak suka pindah, tapi saya menyukai tanggung jawabnya. Saya ingin merasa penting di satu tempat,” jelas Costa menyoal kepindahan sementaranya ke Rayo itu.
Pemain-pemain Rayo merayakan gol di laga vs Barcelona. (Foto: BENJAMIN CREMEL / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Pemain-pemain Rayo merayakan gol di laga vs Barcelona. (Foto: BENJAMIN CREMEL / AFP)
Di Rayo, Sandoval menyebutnya penyerang terbaik di dunia. Manajer klub, Jose Luis Mendibilibar, mendeskripsikan Costa sebagai sosok yang menipu. Dari luar ia terlihat biasa-biasa saja, tapi begitu tiba di atas lapangan ia menjelma menjadi pemain berbahaya. Bersama Atletico, Costa menjadi pemain penting ia bahkan menjadi topskorer.
Rayo punya perannya yang lain. Ia menjadi sekolah yang membentuk anak-anak Vallecas yang ingin berkiprah menjadi pesepak bola profesional tapi tak punya privilej untuk memulainya dengan cara yang wah, seperti apa yang terjadi pada Alvaro Negredo yang pernah menjadi bintang Sevilla pada 2009 hingga 2013 itu.
ADVERTISEMENT
Negredo adalah anak kandung sepak bola Vallecas. Ia memulai sepak bolanya dengan bermain di jalan-jalan Vallecas. Rayo Vallecas B menjadi klub pertamanya, ia bermain di sana sejak 2003 hingga 2005. Setelahnya, Negrado naik kelas ke Rayo. Membela Rayo selama semusim, ia hijrah ke Madrid dan melanglangbuana setelahnya.
Rayo memang klub aneh. Barangkali keberadaannya akan selalu ditutupi oleh bayang-bayang dua tim sekotanya, Madrid dan Atletico. Tapi, tak mengapa. Rayo memang tak memiliki nama besar, tapi mereka memiliki ruang yang lapang bagi orang-orang yang terpinggirkan. Kabinet Rayo memang nihil trofi dan medali juara, tapi tribune stadion Rayo selalu disesaki oleh orang-orang yang menerima uluran tangan mereka.