Real Madrid 97/98: Sebuah Era yang Tak Ingin Dikenang Heynckes

25 April 2018 15:45 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Heynckes dalam konferensi pers di Muenchen. (Foto: Reuters/Michael Dalder)
zoom-in-whitePerbesar
Heynckes dalam konferensi pers di Muenchen. (Foto: Reuters/Michael Dalder)
ADVERTISEMENT
Lorenzo Sanz adalah orang yang perfeksionis. Baginya, kesuksesan sebuah kesebelasan hanya bisa diukur dengan kemenangan, kemenangan, dan kemenangan.
ADVERTISEMENT
Sanz punya alasan yang jelas untuk bersikap demikian. Seperti halnya presiden Real Madrid yang lain, ia tak takut untuk merogoh kocek pribadinya untuk mendatangkan pemain bintang yang bertujuan memuaskan hasrat pribadinya pada pertandingan.
Sikap perfeksionis Sanz menghadirkan banyak korban. Jorge Valdano, Vicente del Bosque, dan Arsenio Iglesias dipecat hanya dalam Januari hingga Juli 1996. Pemecatan Iglesias diikuti oleh pelantikan Fabio Capello pada Juli 1997.
Di era Capello, pundi-pundi Sanz diklaim paling banyak keluar. Selain untuk mendatangkan pemain bintang seperti Davor Suker, Predrag Mijatovic, dan Clarence Seedorf, ia juga mengikat “anak kandung” Bernabeu, Raul Gonzalez dalam kontrak jangka panjang.
Capello memberikan gelar La Liga musim 1996/97 untuk Madrid. Meski demikian, hal tersebut tidak lantas membuat Sanz senang. Alasannya sepele: Capello dinilai bermain terlalu berhati-hati dan memeragakan sepak bola bertahan.
ADVERTISEMENT
Pemutusan kerja sama antara Madrid dan Capello didengar di seantero Eropa. Banyak pelatih hebat di era tersebut yang enggan menerima pinangan Madrid karena takut kena murka Sanz. Salah satunya adalah Ottmar Hitzfeld, yang saat itu memenangi trofi Liga Champions 1997
Sanz yang kagum pada Hitzfeld kemudian berusaha mencari sosok yang memiliki tipikal serupa. Pilihan akhirnya jatuh kepada Jupp Heynckes. Ia Jerman, punya pengalaman melatih di kesebelasan besar, dan tak takut untuk memeragakan permainan ofensif.
Pemilihan Heynckes didasari oleh pengalamannya menangani Tenerife dua musim lamanya. Pada musim 1996/97, ia membawa kesebelasan tersebut mencapai babak semifinal Piala UEFA dan finis di posisi kesembilan di La Liga.
“Ada beberapa pelatih yang sekiranya layak dan satu di antaranya adalah Jupp. Saya mendengar ia punya kemampuan mengendalikan ruang ganti dan memimpin tim,” kata Sanz saat memutuskan melantik Heynckes.
ADVERTISEMENT
“Saya kemudian menelepon kawan saya yang bekerja di Athletic Bilbao dan meminta pendapat mengenai Jupp. Ia berkata bahwa Jupp adalah orang memiliki karakter kuat dan tepat untuk mengendalikan Madrid,” tambah Sanz.
Heynckes tak memulai debut kepelatihannya di Madrid dengan menyenangkan. Menghadapi Barcelona di ajang Supercopa, Los Blancos menelan kekalahan dengan skor 1-2 di mana satu-satunya gol Madrid diciptakan oleh Raul.
Kekalahan tersebut membuat Heynckes dicibir. Meski memenangi leg II dengan skor 4-1, banyak pihak, termasuk jajaran petinggi klub, mulai meragukan kualitas eks pelatih Borussia Moenchengladbach tersebut.
Untuk mendukung skuatnya, Heynckes meminta Madrid untuk mendatangkan Christian Karembeu dari Sampdoria. Pemain asal Prancis tersebut didatangkan dengan biaya 11,25 juta poundsterling lewat kocek pribadi Sanz.
ADVERTISEMENT
Banyaknya pemain bintang di Madrid tak membuat Heynckes mengubah pendekatannya terhadap pemain. Karakter keras dan kedisplinan yang diusung olehnya tetap diperagakan demi mencapai target yang diberikan oleh Sanz.
Keputusan tersebut membuat ruang ganti Madrid panas. Pemain-pemain asing macam Seedorf dan Mijatovic yang dikenal kerap berpesta merasa bahwa Heynckes mengekang kehidupan mereka di luar lapangan.
Ketidakpuasan mereka terhadap Heynckes didengar oleh pemain lokal seperti Fernando Hierro dan Manolo Sanchis. Keduanya mendukung keputusan Heynckes untuk melarang pemain-pemain Madrid berpesta sebelum pertandingan.
Ketegasan Heynckes berbuah manis awalnya. Madrid bahkan sempat hanya sekali menelan kekalahan dari 15 pertandingan perdana di La Liga. Ia optimistis bahwa tim asuhannya bakal mendapatkan musim terbaiknya.
ADVERTISEMENT
Harapan Heynckes ternyata tak menjadi kenyataan. Perlahan, masalah ruang ganti dan tekanan media mengganggu penampilan Madrid. Keberadaan anak Sanz, Fernando, dan Raul membuat Heynckes kian bingung.
Hal tersebut membuat penampilan Madrid inkonsisten. Di ajang Copa del Rey, mereka gagal lolos dari babak 16 besar setelah takluk dari kesebelasan Segunda Division, Alaves. Di La Liga, mereka menelan lima kekalahan dari 10 pertandingan sejak Januari 1998.
Pelan-pelan, kiprah Madrid di La Liga kian terperosok. Status juara musim 1996/97 seakan dilupakan. Pada akhirnya Madrid menempati posisi keempat di akhir musim. Mereka terpaut 11 poin dari Barcelona yang menjuarai La Liga di akhir musim.
Penampilan buruk Madrid di La Liga membuat Liga Champions menjadi satu-satunya jalan bagi Heynckes menyelamatkan nama baiknya. Beruntungnya, Madrid lolos ke final dan menjadi penampilan pertama mereka sejak 17 tahun.
ADVERTISEMENT
“Final Liga Champions 1998 mungkin menjadi pertandingan paling penting sepanjang sejarah Madrid,” kata Sanchis. “Mungkin yang lain tidak, tapi kesebelasan ini tak mencapai partai final selama 17 tahun dan tak menjadi juara selama 32 tahun lamanya.”
Sialnya, partai tersebut mempertemukan Madrid dengan Juventus. Mereka diperkuat oleh gabungan pemain apik di level senior-junior, Didier Deschamps, Zinedine Zidane, Edgar Davids, Filippo Inzaghi, dan Alessandro Del Piero.
Heynckes dan Madrid berusaha mengeluarkan seluruh kemampuan terbaiknya malam itu. Sejak menit pertama, mereka terus menekan gawang Juventus yang dikawal oleh Angelo Peruzzi.
Akhirnya gol yang ditunggu tiba setelah sepakan Roberto Carlos tak mampu dihalau oleh pemain Juventus. Mijatovic yang mendapatkan bola kemudian melewati Peruzzi dan mengarahkan bola ke gawang. 20 menit kemudian adalah sejarah.
ADVERTISEMENT
“Pertandingan itu bak keajaiban bagi kami. Kami tak pernah segentar itu merasakan jalannya sebuah pertandingan. Jika pada akhirnya kami tampil sebagai juara, itu adalah sebuah mukjizat,” kata Sanchis.
Beberapa hari setelah memenangi Liga Champions, Heynckes datang memenuhi undangan makan malam yang diadakan oleh salah satu direktur Madrid, Jose Martinez Pirri. Bagi Heynckes, undangan ini tak terlalu mengejutkan.
Apa yang ada di kepala Heynckes benar adanya. Pirri, yang dalam makan malam tersebut ditemani oleh Sanz, mengatakan kepada pria kelahiran Moenchengladbach tersebut bahwa Madrid berniat untuk menghentikan kerja sama dengannya.
“Saya tak kaget mendengar ucapan Pirri,” kata Heynckes. ”Pertama, saya telah mendengar di sebuah wawancara bahwa Sanz bakal memecat saya. Kedua, saya telah memutuskan untuk berhenti dari posisi ini.” 28 Mei 1998, ia tak lagi menjabat sebagai pelatih Madrid.
ADVERTISEMENT
Pemutusan kontrak Heynckes ditutup oleh pernyataan resmi yang diumumkan oleh Sanz: “Jika kami tak menjuarai Liga Champions, musim ini bakal menjadi musim terburuk Real Madrid dalam 15 tahun terakhir.”
Dalam sebuah wawancara dengan Welt, Heynckes berkata bahwa pelatih Madrid punya tugas yang lebih besar dari pelatih sepak bola pada umumnya. Ia tak hanya harus piawai meracik taktik, tapi juga melakukan semuanya dengan benar dan sesuai kaidah yang ditetapkan.
“Menjuarai sebuah gelar tak akan pernah dianggap sebagai sebuah pencapaian di Madrid. Pasalnya, hal paling utama di sana adalah terus menerus meraih kemenangan dan mendapat apresiasi dari semua pihak, termasuk pemain, pengurus hingga media.”
Meski kariernya berakhir tragis, Heynckes tak pernah merasa punya dendam pribadi kepada Madrid. Baginya, laga melawan Madrid, termasuk di Allianz Arena pada leg I semifinal Liga Champions, Kamis (26/4/2018) dini hari WIB, sama seperti laga-lagi lain yang ingin dimenangi olehnya.
ADVERTISEMENT