Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.1
Real Madrid di Tengah Deja Vu Buruknya Musim 2008/2009
4 Desember 2017 17:31 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:13 WIB

ADVERTISEMENT
Bagaimana bisa sebuah tim yang berhasil memenangi Liga Champions, dua gelar La Liga, sebuah trofi Piala Super, dan Piala Interkontinental, dibilang gagal? Itulah pertanyaan yang dialamatkan kepada Florentino Perez dan kegagalan proyek Galacticos pertamanya.
ADVERTISEMENT
Pasca-musim 2002/2003, Perez mulai gelap mata. Ia memecat Vicente del Bosque – yang telah memberikan dua trofi Liga Champions ke Los Galacticos. Sementara itu, pemain dengan status legenda seperti Fernando Hierro didepak, begitu pula dengan Claudio Makalele.
Musim demi musim, Perez terus membikin timnya bersolek. Mereka makin cantik tiap musim, tapi di saat bersamaan,mereka juga makin ringkih.
Puncaknya adalah pada musim 2005/2006, musim di mana Perez mendatangkan Julio Baptista (24 juta euro), Robinho (30 juta euro), dan Sergio Ramos (27 juta euro). Selain diingat sebagai musim di mana mereka membeli banyak pemain, musim itu juga diingat sebagai musim di mana Madrid kalah 0-3 dari Barcelona di Santiago Bernabeu, kalah 1-6 dari Real Zaragoza di ajang Copa Del Rey, dan kembali gagal merengkuh trofi Liga Champions. Pada musim itu, mereka takluk dengan agregat 0-1 dari Arsenal di babak 16 besar Liga Champions.
ADVERTISEMENT
Ada kesalahan telak yang dibuat Perez. Selain menjual Makalele, mereka membeli pemain yang sudah tidak bisa dibilang muda. Luis Figo berusia 27 ketika bergabung dengan Real Madrid, sementara Zidane berusia 29 tahun, Ronaldo berusia 26 tahun, Beckham 28 tahun, dan Walter Samuel 26.
Perez pun mundur pasca-kekahalan Arsenal itu. Ia digantikan oleh Ramon Calderon. Pergantian ini, pada awalnya, tampak baik. Calderon mendatangkan Fabio Capello. Dan Capello, berhasil menuntaskan puasa gelar Madrid di musim 2006/2007. Namun, itu pun tak bertahan lama.
Capello gagal memberikan antusiasme kepada Madridista dan Calderon. Musim berikutnya, Capello diganti oleh Bernd Schuster. Namun, cerita buruk berlanjut. Meski telah menyumbangkan satu trofi La Liga dan satu trofi Piala Super Spanyol, situasi memanas. Puncaknya adalah pada musim 2008/2009, musim di mana mereka hancur lebur.
ADVERTISEMENT
Musim itu adalah musim dari puncak segala derita yang dirasa Madridista. Musim itu adalah musim di mana pemain Galactico Madrid satu-per-satu pergi karena usia mereka yang sudah uzur. Pada musim yang sama, Barcelona merengkuh treble perdana mereka. Pep Guardiola berhasil membangun tim yang diisi mereka yang muda, beda, dan berbahaya.
Pada musim itu, Madrid harus terima dipecundangi Juventus 0-2 di Santiago Bernabeu di fase grup. Lalu, di babak 16 besar, Madrid harus sudi dipecundangi Liverpool dengan skor 0-4 di Anfield dan 0-1 di Santiago Bernabeu. Musim itu, adalah musim di mana pencapain terbaik mereka hanyalah menjadi jawara Piala Super Spanyol. Bagaimana dengan di La Liga? Mereka harus rela menjadi nomor dua.
ADVERTISEMENT
Itu adalah musim di mana Madridista berpikir bahwa sudah cukup mereka diperolok seperti ini. Pada akhirnya, Perez pun kembali ke klub.
***
Musim ini, Perez mungkin kembali tak habis pikir apa yang salah dari timnya. Tidak mengulangi membeli pemain yang uzur? Checked. Melakukan regenerasi? Checked. Memastikan tim memiliki defensive midfielder yang mumpuni? Checked. Tapi, pada akhirnya, musim ini, bisa jadi menjadi musim déjà vu dari musim 2008/2009.
Saat ini, Madrid hanya mengantongi 28 poin dari 14 laga. Berdasarkan data dari Opta, ini adalah musim dengan perolehan poin terkecil mereka setelah musim 2008/2009. Di musim itu, mereka hanya mampu memanen 26 poin dari 14 laga. Tentu sangat surealis memandang mengapa Madrid bisa jatuh begini. Ini tidak seperti kejatuhan Galactico Jilid I yang terjadi secara perlahan. Musim ini, Madrid justru terjun bebas setelah menjadi kampiun Liga Champions musim 2016/2017.
ADVERTISEMENT
Sejauh ini, mereka hanya bisa mencetak 25 gol dan telah kebobolan 11 kali dari 14 laga yang telah mereka mainkan. Jelas sangat jauh jika dibandingkan dengan total mencetak gol Barcelona yang mencapai 36 dan hanya kebobolan 7 gol. Ada lagi yang bikin situasi lebih rumit: La Liga telah berevolusi. Valencia dan Atletico Madrid kini ada demi mengganggu Madrid. Valencia kini berada di posisi runner-up dengan 31 poin. Sementara Atletico di posisi ketiga dengan 30 poin.

Belum lagi kalau bicara soal pertahanan. Berdasarkan catatan Squawka, Madrid adalah tim kedua terburuk setelah Alaves dalam urusan defensive error (kesalahan dalam bertahan). Ada enam defensive error yang mereka lakukan musim ini dan tiga diantaranya berhasil dikonversi lawan menjadi.
ADVERTISEMENT
Sementara dalam urusan menyerang, begitu juga. Akurasi tembakan mereka hanyalah berada di posisi delapan. Mereka berada di bawah Barcelona, Valencia, Sevilla, Atletico, Leganes, Las Palmas, Celta Vigo. Dari 266 tembakan yang mereka lesakkan, akurasi tendangan mereka hanya 47%.
“Aku senang dengan performa tim ini. Tapi, aku sangat kecewa karena im ini tak mencetak gol. Aku sangat merasakan rasa kecewa para pemainku karena mereka telah berusaha sebaik mungkin,” ujar Pelatih Madrid, Zinedine Zidane.
Bagi Madrid, fenomena ini lebih surealis dari dunia Upside Down-nya ‘Stranger Things’. Dan akan lebih suralis lagi jika tim ini justru hancur total setelah sukses besar musim lalu.