Ricardo Kaka, dari 'Champagne Football' ke Bangku Cadangan

19 April 2018 20:41 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kaka antar Milan juara Liga Champions 2007. (Foto: MUSTAFA OZER / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Kaka antar Milan juara Liga Champions 2007. (Foto: MUSTAFA OZER / AFP)
ADVERTISEMENT
Ricardo Kaka sedang kembali ke masa lalu dan mencoba mengingat-ingat apa yang membuatnya tak tergantikan.
ADVERTISEMENT
Begitu Grande Milan di bawah kepelatihan Arrigo Sacchi dan Fabio Capello hanya tinggal kenangan dan para pahlawan seperti Franco Baresi, George Weah, dan Zvonimir Boban menjadi mantan pemain, Silvio Berlusconi merogoh kembali koceknya demi membeli kegirangan.
Dana segar itu dipakainya untuk mendatangan Alessandro Nesta, Filippo Inzaghi, Clarence Seedorf dan Andrea Pirlo. Berlusconi tahu apa yang bakal melengkapi kegirangan ini, maka ia mendatangkan Carlo Ancelotti sebagai peramu taktik. Kisah ini bermula di musim 2001/2002.
AC Milan bergairah. Gelar Coppa Italia dan Liga Champions menjadi bukti. Biasanya, tim-tim bakal mengendur beberapa saat setelah juara, hidup dalam pongah. Namun, Milan tak mau berbenti berburu. Mereka mendatangkan Ricardo Kaka dari tanah Brasil pada tahun 2003.
ADVERTISEMENT
Tadinya, Rui Costa ibarat makhluk ajaib. Ia tak tersentuh di tim, tak satu pemain pun pantas untuk menggantikan perannya. Namun, kedatangan Kaka adalah kelahiran baru. Milan bermain dengan gaya yang baru.
Setelah kekalahan tak terlupakan di Turki, Milan menjadi lebih konservatif. Buktinya, mereka mendatangkan Massimo Ambrosini dan menandemkannya dengan Gennaro Gattuso sebagai duet gelandang bertahan.
Kepergian Andriy Shevchenko ke Chelsea pada tahun 2006 memaksa Kaka untuk menempati posisi sedikit lebih maju daripada biasanya. Ancelotti beralih formasi menjadi 4-3-2-1. Kala itu, Kaka berdampingan dengan Clarence Seedorf di belakang seorang penyerang tunggal, yang bila tidak ditempati Inzaghi, pasti Alberto Gilardino. Grande Milan memang sudah berakhir, tapi I Rossonerri memulai periode yang disebut Berlusconi sebagai champagne football.
ADVERTISEMENT
Musim 2006/2007 menjadi musimnya Kaka. Apa yang dihidupinya bersama Milan membuktikan bahwa sebagian kecil orang tak perlu bersusah-susah ditempa kemiskinan dan sepak bola jalanan untuk menjadi pemain bintang.
Narasi Kaka menjadi kisah yang tak adil. Pasalnya, segala sesuatunya diterimanya dengan lengkap. Benar-benar tak ada kurangnya. Ia menikmati kesuksesan dengan mulus.
Dalam wawancara-wawancaranya, tak sekalipun Kaka membahas nahasnya nasib di masa bocah. Apa boleh buat, memang tak ada yang pelik dalam hidup Kaka. Orang tuanya dari kalangan berada, terhormat, dan berpendidikan.
Ayahnya seorang insinyur dan ibunya berprofesi sebagai guru sekolah dasar di Brasil. Bakat Kaka dicium oleh orang tuanya sejak kanak. Ia pun disekolahkan di akademi sepak bola Sao Paolo.
ADVERTISEMENT
Tak cuma sepak bola, pendidikan formalnya pun mumpuni. Ia terpelajar, kemampuan bahasanya baik. Setidaknya ada empat bahasa yang dikuasainya: Portugis (bahasa ibu), Spanyol, Italia, dan Inggris.
Dalam wawancara seusai menuntaskan misi balas dendam di Liga Champions 2006/2007, seorang wartawan menodongnya dengan pertanyaan apa yang dirasakannya tentang kemenangan ini dalam bahasa Inggris. Awalnya, Kaka menjawab dengan bahasa Italia.
Namun, si pewarta memotong. Katanya, "Kaka, saya tahu kamu fasih berbahasa Inggris. Sekarang ceritakan kepada saya dalam Bahasa Inggris, seperti apa indahnya kemenangan ini buatmu." Dan benar saja, Kaka menjawabnya dengan Bahasa Inggris yang mumpuni.
Kaka meladeni wawancara dengan sopan dan santun. Hampir di seluruh sesi tanya jawab ia menyebut nama Tuhan. Katanya, "Ini bukan karena kuat dan gagah saya, hanya kemurahan Tuhan."
ADVERTISEMENT
"Saya bisa bermain sepak bola karena diberkati Tuhan, maka semua elu-elu ini saya kembalikan untuk Tuhan," seperti itulah Kaka menjelaskan apa yang jadi maksud selebrasinya yang kerap memperlihatkan kaus bertuliskan "I Belong to Jesus" sambil berlutut dan mengarahkan kedua jari telunjuknya ke langit.
Sejak musim 2006/2007, Kaka menikmati kebebasannya untuk menjelajah wilayah pertahanan lawan. Kebebasannya ini memberikannya dua pilihan. Ia bisa menjadi penghubung antara gelandang dan target man. Ia bisa juga menjadi seorang penyerang mematikan.
Di Liga Champions musim itu ia mengukir 10 gol. Ia menjadi penyelamat saat timnya melakoni laga-laga sulit. Berlaga di Liga Champions musim itu, Milan masuk grup H. Pertandingan leg kedua di fase grup melawan Anderlecht membuktikan bahwa pria baik-baik macamnya pun bisa jadi trengginas di dalam lapangan.
ADVERTISEMENT
Di leg pertama, Milan menang dengan skor tipis 1-0. Di leg kedua, mereka tampil menggila. Tak tanggung-tanggung, berlaga di San Siro, Milan menggulung klub asal Belgia itu dengan skor 4-1. Kaka jadi pahlawan. Ia membukukan hattrick.
Di babak semifinal melawan Manchester United, Kaka melesakkan dua gol yang mengantarkan timnya ke partai puncak. Lantas, di final, semuanya kembali dipertaruhkan. Milan datang dengan ambisi dan ketakutan sekaligus. Liverpool kembali lawan. Dua musim sebelumnya, Liverpool memberikan pelajara buat Milan: Dalam sepak bola, kemenangan hanya muncul saat pertandingan berakhir.
Di partai final, Milan unggul lebih dulu berkat gol Inzaghi di pengujung babak pertama. Delapan menit jelang waktu normal berakhir, 'anak Tuhan' seperti Kaka menjelma menjadi iblis sebenarnya. Ia melepaskan assist ajaib kepada Inzaghi. Sang predator lantas mengubahnya menjadi gol kedua Milan, Inzaghi pun dipilih sebagai pemain terbaik di kompetisi itu.
ADVERTISEMENT
Adrenalin Milan terpompa, bayang-bayang kekalahan dua tahun lalu kembali datang saat Dirk Kuyt berhasil mencetak gol untuk Liverpool pada menit 89. Beruntung, tak ada tambahan gol lagi setelahnya. Milan juara, mereka mengangkat trofi Liga Champions ketujuh yang sampai sekarang belum beranjak ke angka delapan.
Di musim itu, Kaka memang gagal mengantarkan Milan merebut scudetto. Namun, ia mempersembahkan gelar juara Liga Champions, Piala Super Eropa, dan Piala Dunia Antarklub untuk Milan. Pencapaiannya yang gemilang ini ditutup dengan Ballon d'Or.
Kaka menjadi manusia terakhir yang memenangi gelar pemain terbaik dunia ini. Setelahnya, dunia tahu persaingan Ballon d'Or hanya menjadi milik Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi.
Setelah tahun 2007, Kaka mulai diperhadapkan dengan ketidaksempurnaan. Masa depan kariernya bersama Milan mulai menjadi pertanyaan. Sebabnya, Milan sedang apes, kantongnya kering bukan kepalang.
ADVERTISEMENT
Kebuntungan suatu pihak selalu menjadi keuntungan bagi pihak lain. Kali ini, Real Madrid yang menikmati keuntungan itu. Florentino Perez punya ambisi selangit untuk membentuk The New Galacticos.
Ronaldo didatangkan, legenda macam Raul Gonzalez tersisih dan memilih pergi. Yang dibutuhkan Madrid saat itu bukan sosok seperti Kaka, tapi Kaka itu sendiri.
Mereka tahu Milan sedang dilanda krisis. Tawaran 65 juta euro menjadi iming-iming untuk melepas Kaka. Padahal, Milan memboyong Kaka dari Sao Paolo dengan harga delapan juta euro. Apa boleh buat, Kaka dilepas. Harapannya, magi Kaka dan ambisi Madrid menjadi padu.
Di musim-musim awalnya bersama Madrid, kedua telunjuk Kaka masih sering menunjuk langit. Terkadang, ia melakukannya sambil berlari, terkadang ia sambil berlutut. Beberapa saat setelahnya, ia memeluk satu atau dua rekannya lantas bersiap ke posisi semula. Mungkin yang ada di pikirannya saat itu, ia memang dijadikan tumbal, tapi tak masalah karena ia masih mencetak gol.
ADVERTISEMENT
Jose Mourinho menjadi kondaktur taktik pada 2010. Ia menangkap ambisi sang bos besar untuk merebut gelar sebanyak-banyaknya.
Kaka rayakan gol di Madrid. (Foto: PIERRE-PHILIPPE MARCOU / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Kaka rayakan gol di Madrid. (Foto: PIERRE-PHILIPPE MARCOU / AFP)
Namun, selebrasi itu tak berlangsung lama. Madrid ternyata tak punya cukup tempat untuk Kaka. Selain cedera, ia tak cocok bermain dengan taktik Mourinho. Kaka menjadi penghangat bangku cadangan. Keberadaannya di Madrid tak lebih dari sekadar pemain tua yang sarat pengalaman.
Tahun 2013, Kaka kembali ke Milan. Namun, Kaka tak datang sebagai pemain bintang, ia datang sebagai sup yang dingin. Persis seperti apa yang dikatakan Boban.
Tidak ada yang bisa membayangkan seperti apa hari-hari Kaka di bangku cadangan tim sebesar Madrid. Menyaksikan kawan-kawannya merayakan gol, ikut mengangkat trofi juara walau ia tak banyak bermain.
ADVERTISEMENT
Lantas, Kaka hijrah ke Orlando setahun setelah ia kembali ke Milan, merelakan apa-apa yang pernah melambungkan namanya, dan menutup karier di sana.
Delapan tahun setelah kepindahannya ke Madrid itu, Kaka buka suara. Ia membagi kemuraman yang tak pernah tampak dari bangku cadangan.
"Saya menerima penawaran dari Real Madrid tahun 2009. Namun, kepindahan itu benar-benar menghancurkan saya. Di sana, saya tidak dapat mereplikasi apa yang sudah saya lakukan di Milan."
"Saya benar-benar terhilang. Di Italia, semua orang mencintai saya, tapi semua orang di Spanyol menginginkan saya pergi. Ditambah lagi Jose Mourinho adalah pelatih yang sulit untuk bekerja sama dengan saya. Tadinya, saya pikir ia bakal memberikan saya kesempatan, tapi hal itu tak pernah terjadi."
ADVERTISEMENT
"Saya tak mendapat kesempatan untuk membuktikan diri kepadanya. Saya berlatih dengan keras, saya berjuang, dan terus berdoa. Namun, tanpa kepercayaan dari pelatih, saya sadar bahwa saya tidak dapat bekerja sama dengannya."
"Saya benar-benar bahagia waktu meninggalkan Real Madrid dan kembali ke Milan, terutama saat Mourinho berkata bahwa saya adalah pemain paling profesional yang pernah bekerja dengannya."
Menjadi orang tersisih memberi waktu yang cukup baginya untuk menengok ke belakang dan menimbang yang di depan. Toh, hampir semua mimpi masa mudanya menjadi kenyataan. Kaka memang tersisih di Madrid, tapi ia meraih kemenangan dalam bentuknya yang lain.