Saat Liverpool Tak Ubahnya Sekumpulan Burung Camar Laut

10 Desember 2018 15:09 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:04 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Andrew Robertson ikut merayakan gol Roberto Firmino ke gawang Leicester City. (Foto: REUTERS/Darren Staples)
zoom-in-whitePerbesar
Andrew Robertson ikut merayakan gol Roberto Firmino ke gawang Leicester City. (Foto: REUTERS/Darren Staples)
ADVERTISEMENT
Liverpool masih berlari. Mereka masih terus mengejar titel bergengsi hingga detik ini. Trofi Premier League belum pernah mereka mereka cicipi sama sekali. Sementara, paceklik Liga Champions tak kunjung mereka akhiri selama 14 tahun lamanya.
ADVERTISEMENT
---
"And I ran
I ran so far away
I just ran
I ran all night and day
I couldn't get away"
No, itu bukan penggalan lirik The Beatles, kuartet yang amat merepresentasikan Kota Liverpool. Lirik di atas merupakan potongan reff tembang 'I Ran' milik A Flock of Seagulls, band yang juga berasal dari kota yang dibelah Sungai Mersey itu.
Oke, A Flock of Seagulls memang tak sebesar The Beatles. Alih-alih demikian, pamor mereka pun tak sebesar band Inggris lainnya macam The Stone Roses, Oasis, atau Blur. Genre new wave yang mereka usung juga jadi alasan mengapa pendar A Flock of Seagulls tak cukup awet, relatif lebih segmented ketimbang britpop yang digandrungi nyaris seluruh Inggris.
ADVERTISEMENT
Nyatanya, perombakan personel terjadi enam tahun setelah mereka merilis 'I Ran' di 1982 dan setelahnya tak ada lagi 'I Ran' lain yang bisa diciptakan A Flock of Seagulls. Cuma satu lagu yang benar-benar nendang sejak A Flock of Seagulls pertama kali berdiri 1980 silam. Oh, ya, nama 'aneh' A Flock of Seagulls dipilih vokalis Mike Score karena terinspirasi dari salah lirik salah satu lagu The Stranglers dan novel 'Jonathan Livingston Seagull' bikinan Richard Bach.
Seperti band-band Inggris lainnya, mereka mendapatkan banyak influence setelah nongkrong di klub-klub musik yang berpengaruh. A Flock of Seagulls memilih Eric's Club, salah satu klub musik di Liverpool yang terletak jauh dari The Cavern--klub legendaris yang memunculkan The Beatles.
ADVERTISEMENT
'I Ran' adalah salah satu, atau mungkin satu-satunya karya terbaik A Flock of Seagulls. One hit wonder, begitu ungkapan yang tepat untuk melabeli band yang sudah menelurkan enam album itu.
Dalam perspektif lainnya, sulit dimungkiri bila 'I Ran' memang benar-benar spesial. Meski cuma nangkring di urutan 43 tangga lagu Inggris, tembang tersebut pernah merajai tangga musik Australia dan menembus 10 besar Billboard Amerika Serikat.
Band sekaliber Nickelback pernah mengovernya. Game beken macam 'Grand Theft Auto: Vice City' serta 'Guitar Hero' juga mencantumkan 'I Ran' di dalamnya. Drama musikal 'La La Land' jadi yang teraktual, karena memutarnya saat Mia Dolan bertemu Sebastian Wilder dalam scene pesta kolam.
ADVERTISEMENT
Secara harfiah, lirik 'I Ran' tak cukup gamblang ditafsirkan. 'I Ran' yang diucapkan berulang-ulang dalam riff itu bukan cuma mengartikan keinginan Michael Score cs. untuk mengejar 'Girl like you' yang digambarkan dalam lagu tersebut. Justru, ia bisa merepresentasikan sebaliknya: Tentang ketakutannya untuk mengejar dan melarikan diri dari lingkaran ekspektasi yang menjeratnya.
Liverpool masih berlari di musim 2018/19 demi mengejar titel bergengsi. Masih teringat jelas saat mereka tersandung jelang garis finis pada Premier League edisi 2013014. Kegagalan menyebalkan yang dihiasi terplesetnya Steven Gerard dan comeback Crystal Palace di pekan 37.
Mahkota yang berada di depan mata pun jatuh ke tangan Chelsea. The Reds pun harus gigit jari karena cuma finis di sebagai runner-up, untuk ketiga kalinya sejak Premier League pertama kali bergulir 1992 silam.
ADVERTISEMENT
Kesialan Liverpool juga merembet di ranah Liga Champions. Mereka tak pernah lagi mengangkat 'Si Kuping Besar' sejak musim 2005/06. Bukannya tanpa kesempatan, toh, dua kali sudah mereka sampai di partai puncak sebelum akhirnya kandas.
Di musim 2006/07 asa Liverpool dipupuskan Milan, klub yang mereka kalahkan di dua final sebelumnya. Real Madrid jadi momok mereka yang terbaru setelah menaklukkan Jordan Henderson dan kawan-kawan 3-1 di Kiev April lalu.
Real Madrid vs Liverpool (Foto: Reuters/Phil Noble)
zoom-in-whitePerbesar
Real Madrid vs Liverpool (Foto: Reuters/Phil Noble)
Liverpool masih terus berlari di musim ini. Manchester City baru saja mereka kejar di akhir pekan lalu, seiring dengan kekalahan The Citizens dari Chelsea di Stamford Bridge. Torehan poin mereka tertahan di angka 41, satu angka lebih sedikit dari Liverpool.
ADVERTISEMENT
Masalahnya, plot cerita mereka di Liga Champions tak semulus Premier League. Liverpool dalam kondisi terjepit karena cuma nangkring di posisi tiga klasemen sementara Grup C. Dengan margin 2 angka dari Paris Saint Germain di peringkat kedua, artinya kemenangan jadi harga mati bagi Liverpool untuk lolos ke babak selanjutnya.
Masalahnya tak berhenti sampai di situ, sebab Napoli menjadi lawan mereka Rabu (12/12/2018) dini hari WIB. Bukan perkara mudah mengingat Partenopei pernah menundukkan Liverpool 1-0 di perjumpaan pertama. Situasi makin sulit karena PSG hanya akan berhadapan dengan Crvena Zvezda di waktu yang bersamaan. Sebagai gambaran, Les Parisiens sukses melumat wakil Serbia itu 6-1 pada leg pertama.
Berbicara tentang eksistensi Napoli di musim ini tak bisa dijauhkan dari kejelian Carlo Ancelotti dalam memaksimalkan komposisi pemainnya. Lorenzo Insigne makin moncer dengan peran barunya sebagai penyerang, melengkapi Dries Mertens serta Arkadiusz Milik sebagai ujung tombak lainnya.
ADVERTISEMENT
Yang paling kentara adalah kesuksesan Napoli dalam meredam agresivitas Liverpool di San Paolo saat itu. Tak ada satupun tembakan tepat sasaran yang sukses dilepaskan pasukan Juergen Klopp ke gawang Napoli, catatan buruk pertama sejak 2006 silam. Instruksi Ancelotti untuk meladeni tekanan yang digencarkan Liverpool sejak menit pertama jadi alasan kegagalan mereka mencetak angka.
Satu hal lagi yang jadi penyakit laten Liverpool: inkonsistensi. Well, skuat Klopp memang lebih seimbang dibanding sebelumya dengan kehadiran Naby Keita, Alisson Becker, serta Fabinho Tavares. Namun, tetap saja Liverpool terjungkal di saat-saat yang tak tepat, kalah saat mereka harusnya meraih kemenangan.
Takluk dari PSG di matchday sebelumnya mungkin bisa diwajarkan. Akan tetapi kekalahan dua gol tanpa balas dari Crvena? Itu kelewatan. Sama halnya saat mereka ditahan imbang 3-3 Palace lima musim lalu.
ADVERTISEMENT
Sadio Mane berusaha lolos dari hadangan Alan Marques.  (Foto: REUTERS/Alberto Lingria)
zoom-in-whitePerbesar
Sadio Mane berusaha lolos dari hadangan Alan Marques. (Foto: REUTERS/Alberto Lingria)
Liverpool masih berlari, sama seperti musim-musim sebelumnya. Yang jadi pertanyaan, apakah mereka benar-benar mampu berlari mengejar titel bergengsi? Atau sebaliknya, kabur melarikan diri karena inkonsistensi. Akankah Liverpool berhenti menjadi liver bird yang agung dan cuma menjadi sekelompok burung camar laut (A Flock of Seagulls) dengan ikan-ikan kecil sebagai mangsanya? We'll see...