Sarina Wiegman: Dibesarkan Amerika, Membesarkan Belanda

5 Juli 2019 18:57 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sarina Wiegman, pelatih Timnas Belanda. Foto: Reuters/Stephane Mahe
zoom-in-whitePerbesar
Sarina Wiegman, pelatih Timnas Belanda. Foto: Reuters/Stephane Mahe
ADVERTISEMENT
Meminjam istilah dari Bung Karno, Amerika Serikat adalah pentolan Old Established Forces (Oldefo)--kekuatan lawas yang sudah mapan--di kancah persepakbolaan wanita. Sejak Piala Dunia pertama kali digelar pada 1991, mereka sama sekali tidak pernah finis lebih buruk dari tempat ketiga. Tiga trofi pun sudah berhasil mereka sabet dari delapan penyelenggaraan.
ADVERTISEMENT
Pada final Piala Dunia edisi 2019, Minggu (7/7/2019) malam WIB mendatang, Amerika akan berhadapan dengan Belanda yang merupakan bagian dari Nefo alias New Emerging Forces--kekuatan baru yang tengah naik daun. Mereka memang baru pertama kali ikut Piala Dunia pada 2015, tetapi di kesempatan keduanya sudah mampu mencapai partai puncak.
Di balik keberhasilan Belanda menjadi salah satu Nefo dalam sepak bola wanita ini ada sosok Sarina Wiegman. Memang benar bahwa Wiegman belum menjadi pelatih Timnas Belanda pada Piala Dunia 2015, tetapi dialah yang mengantarkan Belanda menjadi juara Piala Eropa 2017 dan masuk ke final Piala Dunia 2019.
Wiegman punya tempat spesial di buku sejarah sepak bola Belanda. Dia memang bukan Johan Cruijff atau Rinus Michels yang meletakkan dasar filosofi sepak bola 'Negeri Kincir Angin'. Namun, Wiegman adalah wanita pertama yang mampu merengkuh 100 caps bersama Oranje Leeuwinnen. Total, 104 penampilan dia catatkan untuk Timnas Putri Belanda dari 1987 sampai 2001.
ADVERTISEMENT
Yang menarik, Wiegman sejatinya merupakan produk Oldefo sepak bola wanita. Baginya, sepak bola barangkali tidak akan pernah menjadi kenyataan jika dia tidak pernah mengenyam pendidikan di Amerika Serikat.
Inilah yang membuat pertandingan final Piala Dunia 2019 nanti jadi lebih berwarna. Di sana, Wiegman akan berusaha menundukkan negara yang punya jasa besar padanya.
Lahir dan besar di Den Haag, Wiegman kecil kerapkali harus bermain sepak bola dengan kawan-kawan laki-lakinya. Bahkan, wanita yang kini berusia 49 tahun itu harus rela memangkas rambut demi bisa berbaur dengan pemain-pemain lain.
Namun, kisah Wiegman ini adalah kisah umum yang dialami banyak pemain sepak bola wanita Belanda, termasuk Lieke Martens yang saat ini menjadi anak asuhnya.
ADVERTISEMENT
Pertemuan Wiegman dengan sepak bola Amerika terjadi pada 1988, ketika usianya 19 tahun. Di sana dia bersua dengan Anson Dorrance yang bisa dibilang merupakan Bapak Sepak Bola Putri Amerika. Dorrance lantas mengundang Wiegman untuk berkuliah di University of North Carolina dan membela tim North Carolina Tar Heels di kompetisi NCAA.
Pelatih Belanda, Sarina Wiegman. Foto: Reuters/Bernadett Szabo
Sebelum bergabung dengan Tar Heels—yang juga menghasilkan Michael Jordan di dunia basket—Wiegman sebenarnya sempat bergabung dengan tim putri HSV Celeritas di Den Haag. Akan tetapi, jika bertahan di Belanda, perjalanan sepak bola Wiegman bakal mentok. Perlu diketahui bahwa kompetisi sepak bola putri di Belanda baru terbentuk pada 2007.
Jadilah Wiegman bermain di Tar Heels dan di sana dia bertemu dengan legenda-legenda sepak bola Amerika macam Mia Hamm, Kristine Lilly, dan Carla Overbeck. Tiga pemain itu, di kemudian hari, bakal menjadi juara dunia.
ADVERTISEMENT
Di Tar Heels itulah Wiegman merasakan pendidikan sepak bola yang sesungguhnya. Meski demikian, Wiegman cuma berada setahun di sana. Sekembalinya ke Belanda, dia memperkuat Tar Leede sebagai pemain semi-profesional. Untuk menyambung hidup, dia bekerja juga sebagai guru olahraga.
Hal itu terus dijalani Wiegman sampai akhirnya kompetisi profesional wanita di Belanda bergulir. Dia memutuskan untuk pulang kembali ke kampung halaman dan membesut tim wanita ADO Den Haag. Tujuh tahun dia habiskan di sana sebelum akhirnya dia dipanggil untuk jadi bagian tim kepelatihan Timnas Belanda.
Sarina Wiegman memimpin sesi latihan Timnas Belanda. Foto: Reuters/Bernadett Szabo
Selama berada di Timnas Putri Belanda, Wiegman merasakan dua rezim kepelatihan berbeda, yaitu rezim Roger Reijners dan Arjan van der Laan. Di bawah asuhan Reijners itulah Belanda mampu menembus putaran final Piala Dunia 2015, di mana mereka terhenti pada babak 16 besar usai kalah dari Jepang.
ADVERTISEMENT
Keberhasilan Belanda masuk Piala Dunia 2015 itu sebetulnya layak dipandang sebagai sebuah kemajuan pesat. Hanya, Reijners sebagai pelatih dianggap 'mengkhianati' filosofi sepak bola Belanda yang diletakkan Michels dan Cruijff tadi.
Van der Laan yang jadi pengganti pun setali tiga uang. Akhirnya, Wiegman ditunjuk pada 2016 akhir dan bertahan sampai sekarang.
Di bawah Wiegman, Belanda bersalin rupa menjadi tim yang 'benar-benar seperti Belanda yang seharusnya'. Mereka jadi menghargai talenta dan memainkan sepak bola berbasis umpan-umpan pendek. Cara ini melejitkan pemain-pemain seperti Martens —yang dinobatkan sebagai Pemain Terbaik Dunia versi FIFA— dan akhirnya mendatangkan gelar.
Hari Minggu nanti, Wiegman dan anak-anak asuhnya punya kesempatan mengawinkan gelar juara Eropa dan Dunia. Namun, tentu saja hal itu bakal sangat sulit diraih.
ADVERTISEMENT
Pasalnya, Amerika Serikat sendiri sampai saat ini masih merupakan tim terbaik dunia. Lagipula, pelatih Amerika, Jill Ellis, punya kesempatan pula untuk menyamai rekor Vittorio Pozzo.
Pada 1934 dan 1938 Pozzo berhasil membawa Italia menjadi juara dunia dua kali beruntun. Sampai saat ini, catatan itu belum bisa disamai siapa pun, baik di sepak bola pria maupun wanita. Ellis yang telah membawa Amerika juara dunia tahun 2015 itu kini berpeluang besar untuk mencatatkan rekor tersebut.
Wiegman, sebagai produk dari persepakbolaan wanita Amerika, tahu persis apa yang membuat The Stars and Stripes begitu digdaya. Maka, pada pertandingan final nanti dia pun bertekad untuk menggunakan senjata milik Amerika itu untuk membawa negaranya jadi juara dunia.
ADVERTISEMENT
"Kultur Amerika sangat erat kaitannya dengan kerja keras dan itu berbeda dengan kami. Jika kami ingin menang atas negara seperti itu, maka kami harus bermain dengan cara mereka. Kami harus berani bertarung, kami harus berani mengambil risiko," kata Wiegman usai Belanda menyingkirkan Swedia di babak semifinal.
Tekad itulah yang jadi modal Wiegman. Niat itulah yang bakal jadi bahan bakarnya. Sekarang, di waktu yang semakin sedikit, dia punya pekerjaan rumah besar untuk menularkan semangat itu kepada para pemainnya.