Selamat Ulang Tahun, PSMS Medan!

21 April 2020 18:23 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
PSMS Medan Foto: ANTARA FOTO/Septianda Perdana
zoom-in-whitePerbesar
PSMS Medan Foto: ANTARA FOTO/Septianda Perdana
Momen 21 April tak hanya diperingati sebagai hari lahir Raden Ayu Kartini. Pada tanggal dan bulan yang sama, namun di tahun yang berbeda, salah satu klub sepak bola Tanah Air yakni PSMS Medan resmi berdiri.
Nama PSMS mulai melekat bagi khalayak Sumatera Utara pada 21 April 1950. Sebetulnya, pada 1930 klub asal Medan ini sudah sudah ada dengan nama Oost Sumatra Voettbal Bond alias OSVB. Akan tetapi, klub di Sumatera Utara ketika itu menjadi dua. Selain OSVB, ada juga Rumah Susun Football Club (RSFC).
Dua puluh tahun kemudian, kedua klub ini bersepakat untuk bersatu. Alhasil lahirlah nama PSMS dengan memiliki arti Persatuan Sepak Bola Medan dan Sekitarnya.
Empat tahun menyandang nama baru, prestasi PSMS menggeliat. Dalam rentang waktu 1954-1967, dalam beberapa kali kesempatan, PSMS sering diundang oleh tim luar negeri untuk melakoni laga uji tanding.
Ramlan Yatim dan Ramli Yatim, Buyung Bahrum, Cornelius Siahaan, serta Yusuf Siregar adalah mereka yang menjadi andalan bagi PSMS ketika itu. Mereka pernah menjajal kekuatan tim AK Frazer dari Austria, Star Soccerties dari Singapura, dan Grasshopper Club asal Zurich.
Saking memikatnya permainan PSMS, klub-klub asal luar negeri yang pernah berlaga menghadapi mereka menjuluki PSMS dengan sebutan The Killer. Alasannya, setiap mereka berlaga, kemenangan selalu mengiringi langkah PSMS.
PSMS tak hanya mengukir prestasi di luar negeri. Di Tanah Air mereka juga memenangi dua turnamen bergengsi seperti Pekan Olahraga Nasional dan Perserikatan.
Yulio Suporter PSMS Medan dari Batam di National Stadium Singapore. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
Nah, bicara soal Perserikatan, tepatnya memasuki medio 1960 hingga 1990, PSMS boleh jadi tim yang cukup karib dengan gelar juara.
Pada 1967, misalnya. PSMS untuk kali pertama memenangi gelar juara di era Perserikatan. Kegemilangan mereka berlanjut dua tahun berikutnya yakni pada 1969.
Kembali berselang dua tahun berikutnya, PSMS kembali mengukir gelar juara pada 1971 dan 1975. Sempat puasa gelar selama delapan tahun, PSMS memenangi dua gelar juara dalam rentang waktu empat tahun yakni pada 1983 dan 1985.
Nah, apa, sih, yang paling diingat dari PSMS? Well, tentu saja sejarah yang mereka ciptakan pada 1983 saat bertemu Persib Bandung di partai puncak.
Kala itu, laga yang dihelat di Stadion Senayan atau sekarang disebut Stadion Gelora Bung Karno (SUGBK) dibanjiri lautan manusia. Berkapasitas 110 ribu kursi tempat duduk, pendukung kedua kesebelasan membeludak hingga mencapai 150 ribu penonton.
Sejarah kemudian tercipta. Menurut buku 'Konfederasi Sepak Bola Asia' yang diterbitkan pada 1987, pertandingan kedua kesebelasan tersebut jadi laga terbesar dalam sejarah sepak bola amatir di dunia.
Selama era kejayaan ini, PSMS sempat diperkuat oleh banyak pemain berkualitas dan berlabel Tim Nasional Indonesia. Mulai dari Ipong Silalahi, Wibisono, Tumsila, SarmanPanggabean, Tumpak Sihite, Nobon Kayamuddin, Ruslan Ismail, Parlin Siagian, Sunardi A., Khaidar Aswan, M. Siddik, Ricky Yacobi, Yuswardi, Ronny Pasla, Iswadi Idris, Abdul Rahman Gurning, Anwar Ujang, Ponirin Meka, Jaya Hartono, hingga Zulkarnaen Lubis.
Pengamanan pemain PSMS saat jumpa Persebaya di Final Liga 2. Foto: ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi
Kedigdayaan PSMS tak selamanya berdiri kokoh. Memasuki medio 1990 hingga 2001, klub yang dijuluki PSMS Glories tersebut mengalami pasang surut.
Era Perserikatan berganti menjadi Liga Indonesia. Musim 1994/95 dan 1995/96 di mana kompetisi ini resmi bergulir, PSMS hanya nangkring di papan tengah dengan menghuni posisi kesembilan dan ke-11.
Setahun berselang, PSMS bahkan nyaris turun ke level Divisi Utama. Di babak reguler Wilayah Barat, mereka menempati urutan ke-11 alias peringkat terakhir. Beruntung mereka selamat saat babak play-off.
Musim berikutnya, PSMS sempat menduduki puncak klasemen Wilayah Barat di musim 1997/98. Akan tetapi, karena 'Kerusuhan 98' yang membikin segala aktivitas kompetisi terhenti, mereka gagal melaju ke babak berikutnya.
Setelah kondisi membaik dan kompetisi berlanjut, tahun-tahun berikutnya hingga 2002, pencapaian PSMS justru jalan di tempat. Prestasi terbaik mereka adalah sampai ke babak semifinal saat bertemu Persebaya Surabaya. Tapi, cerita tak berkesudahan baik bagi mereka karena kalah lewat adu penalti.
Meski menjadi semifinalis pada 2001 tak membikin PSMS terus bertahan di level tertinggi kompetisi sepak bola nasional. Pada 2002, untuk kali pertama, mereka turun ke Divisi Utama selama dua tahun dan kembali lagi ke Liga Indonesia pada 2004.
Empat tahun kemudian, PSMS sempat diadang masalah. Karena PSSI selaku federasi sepak bola nasional ingin memperkenalkan profesionalisme kompetisi sepakbola Indonesia, mereka menjadikan Liga Indonesia menjadi Liga Super Indonesia sebagai kompetisi tertinggi.
Salah satu kenyataan yang mesti diterima PSMS ialah mereka harus pindah ke Stadion Gelora Bung Karno. Sebab, Stadion Teladan yang menjadi homebase mereka tidak responsif terhadap kriteria profesionalisme yang telah diciptakan oleh PSSI.
Para pemain PSMS merayakan gol (ilustrasi). Foto: Septianda Perdana/ANTARA
Pada awal musim 2008/09, PSMS juga diwarnai kontroversi. Hubungan internal manajemen dengan direktur tim tak berjalan harmonis sehingga sempat diambil keputusan bahwa PSMS menarik diri dari Liga Super Indonesia. Meski akhirnya tetap berpartisipasi masalah demi masalah kemudian hadir.
Karena perpindahan home base dari Jakarta ke Medan membikin sejumlah pemain melakukan eksodus besar besaran. Belakangan diketahui bahwa manajemen tak membayarkan hak para pemain dan berimbas pada penampilan tim yang terseok-seok di zona merah selama setengah musim.
Imbas lainnya yang membuat prestasi tim anjlok adalah saat terdegradasi untuk kali kedua di musim 2009. Sempat naik level bersama Persebaya di musim 2004 dan oleh Persebaya pula mereka dibenamkan ke level Divisi Utama.
Berada di Divisi Utama selama musim 2009 hingga 2015 membuat PSMS terpecah dua. Ada dualisme yang menjadi biang keladi. Itu juga dipicu karena federasi terbelah dua karena ada Liga Primer Indonesia bentukan Komisi Penyelamat Sepak Bola Indonesia dan Liga Primer Indonesia bentukan PSSI.
Satu tim dipimpin oleh Idris S.E bermain di Liga Super Indonesia dan tim lainnya dipimpin oleh Freddy Hutabarat bermain di Liga Premier Indonesia.
Pada 2015, mereka menyudahi kisruh dualisme dan kembali masuk ke dalam anggota PSSI resmi pada 2016. Berselang setahun setelahnya, mereka memulai kompetisi dari Liga 2 dan promosi bersama Persebaya pada 2017.
Memasuki musim perdana kompetisi level sepak bola tertinggi yang bernama Liga 1 pada 2018, penampilan PSMS tak mengilap laiknya saat mentas di Liga 2 di mana mereka tampil sebagai runner-up. Mereka justru hanya satu musim di Liga 1 dan akhirnya turun ke Liga 2. Hingga musim 2020 bergulir awak Ayam Kinantan masih berada di Liga 2.
---
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona.
---
Yuk! bantu donasi atasi dampak corona.