Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.95.1
Sepak Bola Gajah dan Derita Tiada Akhir Mursyid Effendi
7 September 2018 18:43 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:06 WIB
ADVERTISEMENT
Sudah 20 tahun berlalu, tetapi memori tentang sepak bola gajah tak terlupakan begitu saja. Kala itu, di ajang Piala Tiger 1998, citra sepak bola Indonesia harus tercoreng di mata dunia. Semua berasal dari gol bunuh diri pemain Timnas Indonesia, Mursyid Effendi, ketika menghadapi Thailand.
ADVERTISEMENT
Ketika itu, 31 Agustus 1998, Indonesia menghadapi Thailand di partai pamungkas Grup A. Laga itu sudah tak menentukan karena kedua tim sudah memastikan tiket menuju semifinal. Hanya tinggal menentukan juara atau runner-up grup.
Karena situasi itu, Indonesia dan Thailand bisa memilih lawan. Kedua tim ingin menghindari tuan rumah Vietnam yang telah terlebih dahulu dipastikan lolos ke semifinal sebagai runner-up.
Singkatnya, baik Indonesia atau Thailand harus sama-sama kalah untuk terhindari dari Vietnam. Jika pun seri, maka Indonesia yang akan menjadi juara grup dan bertemu Vietnam.
Di stadion Thong Nat, Ho Chi Minh, Vietnam, di lapangan yang cukup berlumpur, kedua kesebelasan memang sudah mempertontonkan sepak bola negatif sejak awal. Pelatih Indonesia, Rusdy Bahalwan, juga tampak memainkan beberapa pemain pelapis. Hasilnya bisa ditebak. Tempo permainan pelan dan tak ada gairah untuk meraih kemenangan.
ADVERTISEMENT
Namun, semua berubah ketika memasuki menit ke-90. Dengan kedudukan seri 2-2, maka Indonesia dipastikan bakal bertemu Vietnam di semifinal. Lantas, hal di luar nalar pun terjadi. Saat memasuki babak tambahan waktu, Mursyid dengan sengaja menendang bola ke gawang sendiri yang dijaga oleh Kurnia Sandy.
Anehnya, gol itu disambut dengan tepuk tangan oleh beberapa rekannya. Alhasil, Indonesia kalah 2-3 dan bertemu Singapura di semifinal. Sementara, Thailand bersua Vietnam.
Ujung dari kisah tersebut, Indonesia kalah 1-2 dari Singapura, sementara Thailand keok dari Vietnam dengan skor 0-3. Di perebutan tempat ketiga, Indonesia menang atas Thailand lewat babak adu penalti.
Untuk mengenang peristiwa kelam itu, pada Jumat (7/9/2018), kumparanBOLA kemudian mencoba menghubungi salah satu penggawa Timnas Indonesia di Piala Tiger 1998, Uston Nawawi. Ketika itu, pemain Persebaya Surabaya ini masih berstatus sebagai pemain junior dengan para seniornya seperti Aji Santoso, Widodo C. Putro, dan kapten Yusuf Eko Dono.
ADVERTISEMENT
Uston mengaku tak bisa berbuat banyak. Cerita memalukan itu justru coba disimpannya hingga kini ia menginjak usia 41 tahun.
"Kemungkinan, faktor terlalu dibesar-besarkan, ya. Jadi ketika bertemu Vietnam yang saat itu memang tim terkuat jadi semua tim menghindari bertemu mereka. Seharusnya 'kan tidak boleh begitu. Tapi, biarkan saja lah, biarkan menjadi sejarah," kenang Uston.
Di ujung sambungan telepon, Uston tampak sedikit terbata-bata mengulang kisah suram malam itu. Kemudian, ia menyoroti Mursyid. "Kasian teman kami, karena dia jadi korban bullying," ucapnya.
Selepas kejadian memalukan itu PSSI melalui Ketua Umum Azwar Anas coba mencairkan suasana dengan menjamin tak akan terjadi apa-apa dengan sepak bola Indonesia.
Namun, induk sepak bola dunia alias FIFA, yang menyelidiki insiden tersebut, menjatuhkan PSSI denda sebesar 40 ribu dollar AS. Tak hanya itu, Mursyid kemudian dikenai sanksi larangan beraktivitas di kancah sepak bola internasional seumur hidup.
ADVERTISEMENT
Roda karier sepak bola Mursyid kian lama kian menurun. Imbas dari sanksi yang diterimanya, ia juga tak lagi berkiprah sebagai pelatih profesional selepas menjadi pesepak bola.
"Hanya bisa mengantongi pelatih dengan lisensi nasional. Untuk mendapat lisensi kepelatihan AFC sudah enggak bisa, enggak ada pemutihan karena yang menghukum FIFA langsung," kata Uston.
Nada kekecewaan juga terlontar dari penggawa Timnas Indonesia lainnya, Alexander Pulalo. Mantan penggawa Arema FC itu juga merasakan keanehan ketika harus menjalani pertandingan tersebut.
"Indonesia itu tim kuat. Meski Thailand dan Vietnam ketika itu berstatus tim unggulan, masalah yang dihadapi mungkin karena Vietnam yang berstatus tim tuan rumah saja. Tapi, ya, itulah yang terjadi, saya juga enggak bisa sampaikan, maaf saja," kata Alex.
ADVERTISEMENT
Bagi Alex, Indonesia yang saat itu berjuang di Piala Tiger punya segalanya. Pemain berkualitas yang dianggapnya bisa melangkah lebih jauh. Bahkan Alex menilai untuk lawan sekelas Asia Tenggara bisa dikalahkan.
"Jepang dan Korea Selatan sebenarnya yang menjadi musuh berat kita. Tapi, prinsipnya begini, siapapun lawan ketika di lapangan, sudah, lawan saja," ucapnya.
Ya, nasi sudah menjadi bubur. Tak ada yang bisa mengubah sejarah. Sepak bola Indonesia, mau tak mau, memiliki bercak noda yang tak bisa dihapus akibat peristiwa kelam itu.