Mafia Bola

Sepak Bola Kita Panggung Sandiwara

26 Mei 2019 11:47 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Mafia sepak bola di balik sepak bola kita (ilustrasi). Foto: Basith Subastian/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Mafia sepak bola di balik sepak bola kita (ilustrasi). Foto: Basith Subastian/kumparan
ADVERTISEMENT
Waktu sudah menunjukkan menit ke-90. Ofisial pun bergegas mengangkat papan penunjuk waktu di tepi lapangan. Sudah injury time.
ADVERTISEMENT
Saat itu, ada dua pertandingan sepak bola yang tengah berlangsung pada ajang Pekan Olahraga Provinsi (Porprov) Jawa Tengah 2018. Satu laga mempertemukan Banjarnegara vs Kudus, sementara satu pertandingan lainnya mempertemukan Banyumas vs Cilacap. Kedua pertandingan dihelat di tempat berbeda.
Kedua laga itu digelar berbarengan karena menjadi penentu kelolosan beberapa tim ke fase gugur. Ini menjadi salah satu cara untuk menjaga adanya main mata antara tim satu dengan lainnya.
Hingga menit ke-90, Banjarnegara unggul telak 3-0 atas Kudus. Sedangkan, Banyumas dan Cilacap berbagi angka 1-1. Dengan kondisi ini, Banjarnegara sudah mengantongi tiket menuju fase selanjutnya karena mengoleksi poin lebih banyak dari rival-rivalnya.
Namun, ketika ofisial tadi mengangkat papan penunjuk waktu, narasi berubah. Papan penunjuk waktu itu menunjukkan angka "15", yang artinya pertandingan Banyumas vs Cilacap mendapatkan tambahan waktu selama 15 menit.
ADVERTISEMENT
Pada sebuah pertandingan, injury time diberikan untuk mengganti waktu yang terbuang selama laga berlangsung --bisa terbuang karena pergantian pemain atau karena ada pemain yang cedera dan membutuhkan perawatan di lapangan. Durasi menit yang digantikan pun beragam, tergantung berapa lama pertandingan itu terhenti karena beragam situasi tadi.
Oleh karena itu, kita sering melihat sebuah pertandingan mendapatkan injury time hingga 4-5 menit atau, dalam beberapa kesempatan langka, sampai 8-10 menit. The Guardian mencatat bahwa injury time terlama dalam sepak bola adalah 23 menit, yang diberikan pada laga Bristol City vs Brentford pada 2001. Namun, durasi selama itu diberikan karena beberapa pemain cedera parah sehingga membutuhkan perawatan yang cukup lama --pada laga itu, ada pemain yang mengalami patah kaki dan dislokasi bahu.
ADVERTISEMENT
Khusus untuk pertandingan Banyumas vs Cilacap, injury time sampai 15 menit dianggap tidak wajar. Pasalnya, tak banyak kejadian berarti yang mengganggu pertandingan sampai selama itu.
Banyumas akhirnya berhasil mencetak gol sehingga mengubah kedudukan menjadi 2-1. Mereka melangkah ke fase gugur sekaligus memaksa Banjarnegara gigit jari karena batal lolos.
***
Pada Jumat (10/5/2019) pukul 20.30 WIB, tak ada angin tak ada hujan, Slamet Eko Priyono menjemput kumparanBOLA di Hotel Surya Yudha, Banjarnegara, Jawa Tengah. Ia merupakan mantan dedengkot Baramania—sebutan suporter Persibara Banjarnegara.
Dengan motor lawasnya yang tak bisa melaju lebih dari 40 km/jam, Eko tetap bersikeras ingin mengantar bertemu seorang suporter dari kelompok ultras Persibara. “Kalau orang ini pasti mau ngomong seperti apa sepak bola di sini,” ujarnya dalam perjalanan.
ADVERTISEMENT
Eko kemudian berhenti di sebuah warung kecil sambil bertanya keberadaan seseorang. Sayang, ia tak menemukan orang yang dicari. Eko lantas mengubah arah tujuan. “Masih ada satu lagi,” tuturnya.
Para pendukung Persibara Banjarnegara gelar aksi unjuk rasa membawa spanduk bertuliskan 'Brantas Mafia Bola'. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Tibalah di sebuah rumah yang letaknya tak jauh dari Terminal Induk Banjarnegara. Eko mengenalkan seorang suporter dari kelompok ultras Persibara bernama Imam ‘Jarwo’.
Imam sendiri terkejut kalau dipertemukan dengan wartawan. Awalnya, ia enggan memberikan komentar apa pun. Hening sempat menghiasi pertemuan selama beberapa menit. Sampai akhirnya, Imam sendiri tak bisa menahan diri untuk bercerita soal sepak bola Banjarnegara.
Hati Imam remuk redam setelah melihat kejadian pada Desember 2018. Sepak bola daerahnya, Banjarnegara, masuk lingkaran mafia bola. Kabar itu membuatnya tak sadar kalau pipinya telah dibasahi air mata.
ADVERTISEMENT
Imam yang merasa kecewa langsung menutup diri terhadap sepak bola. Ia tak pernah menyangka banyak uang sudah digelontorkan agar sepak bola Banjarnegara ‘punya nama’.
“Begitu terbongkar dan mengakui semua kalau membayar setiap pertandingan di semua turnamen yang diikuti, dari mulai Porprov Jawa Tengah sampai Liga 3, suporter kecewa. Kami tidak lagi mau tahu apa pun soal sepak bola di sini. Kami tidak menyangka sedalam ini terjatuh. Kalah atau menang, Banjarnegara harus setor uang. Suporter dan masyarakat di sini tidak ada yang tahu soal itu. Yang tahu cuma pengurus sepak bola di sini,” ujar Imam dengan suara bergetar.
Skandal mafia bola di Banjarnegara bahkan sudah merenggut mimpinya membuat toko yang menjual pernak-pernik resmi Persibara. “Padahal, pendapatan dari sana bisa membantu klub,” katanya.
ADVERTISEMENT
Perasaan Imam dan Eko memang tengah tak karuan malam itu. Mereka baru saja mendengarkan kesaksian mantan manajer Persibara Banjarnegara, Lasmi Indaryani, di persidangan kasus mafia bola sehari sebelumnya, Kamis (9/5/2019).
Kasus mafia bola yang melibatkan Banjarnegara hingga kini sudah kadung menjadi konsumsi nasional. Lasmi menjadi pemantik pertama yang menjadi 'pengganggu' tatanan sepak bola Indonesia. Ia melaporkan adanya mafia bola yang melibatkan bal-balan daerahnya pada Desember 2018.
Singkat cerita, Satuan Tugas Anti Mafia Bola pun dibentuk Kapolri Jendral Polisi Tito Karnavian untuk menciduk para mafia bola. Satgas akhirnya telah menjaring 16 tersangka dalam skandal mafia bola.
Enam tersangka di antaranya sudah berstatus terdakwa dan diadili di Pengadilan Negeri (PN) Banjarnegara. Mereka ialah Johar Lin Eng (mantan anggota Komite Eksekutif PSSI), Dwi Irianto (eks anggota Komite Disiplin PSSI), Mansyur Lestaluhu (staf Departemen Penugasan Wasit PSSI), Priyanto (mantan anggota Komite Wasit PSSI), Anik Yuni Artikasari (wasit futsal), dan Nurul Safarid (wasit).
ADVERTISEMENT
Meski punya niat baik memberantas mafia bola, Lasmi tak sepenuhnya mendapat dukungan dari masyarakat Banjarnegara. Pencinta bola semacam Eko dan Imam punya sikap lain. Bukan tidak mendukung pemberantasan praktik pengaturan laga, melainkan mereka kecewa kalau Banjarnegara mengeluarkan banyak uang untuk ikut praktik kotor itu.
Lasmi Indaryani saat menjadi saksi dalam kasus mafia bola di Pengadilan Negeri Banjarnegara. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
“Kami sudah mendukung dengan tulus. Namun, ternyata sepak bola ini seperti sandiwara. Kalau mereka bermain murni, biar tidak naik level kompetisi atau gagal terus, pasti akan kami dukung. Kenyataannya, semuanya tidak murni. Itu yang membuat kami kecewa,” tutur Imam.
Sandiwara yang dimaksud Imam tertuang jelas dalam kesaksian Lasmi dan sang ayah, Budhi Sarwono, di Pengadilan Negeri (PN) Banjarnegara. Kisah keterlibatan Banjarnegara dengan lingkaran mafia bola dimulai ketika Budhi Sarwono dilantik menjadi Bupati Banjarnegara pada 2017 lalu.
ADVERTISEMENT
Siapa sangka, Budhi yang baru saja dilantik, langsung didekati Johar Lin Eng yang menjabat sebagai Ketua Asosiasi Provinsi (Asprov) PSSI Jawa Tengah. Johar melihat pergantian kepala daerah bisa meningkatkan geliat sepak bola juga.
“Berbekal ketidaktahuan kami sama sekali di dunia sepak bola, kami mengikuti alurnya. Ayah saya kemudian dilantik sebagai Ketua Asosiasi Kabupaten PSSI Banjarnegara. Johar datang sebagai Ketua Asprov pada Agustus 2017. Kami lalu mengenal Johar. Sempat dengar dari pengurus sepak bola dulu, kalau tidak menurut sama Pak Johar, (kami) bakal menjadi bulan-bulanan,” kata Lasmi di persidangan.
Mengingat ‘ancaman’ itu, Budhi lantas sering menjalin komunikasi dengan Johar. Sang Bupati ingin kalau momen kepemimpinannya sedikit demi sedikit memperbaiki sepak bola Banjarnegara.
ADVERTISEMENT
“Kami konsultasi lagi dengan Johar bagaimana biar bisa maju. Kata dia disuruh menambah pemain yang bagus. Nah, pemain-pemain ini yang merekomendasikan pun dia. Sampai pelatihnya juga beliau yang kasih tahu. Lama-lama jadi besar sekali biayanya, tidak pernah cukup,” kata Budhi yang juga hadir sebagai saksi.
Sampai di sini memang belum kentara di mana peran Johar dalam skandal pengaturan laga. Namun, indikasinya sudah ada begitu mantan anggota Exco PSSI tersebut merekomendasikan pemain dan pelatih.
Turnamen yang diikuti Banjarnegara sepanjang 2017 hingga 2018 tak lepas dari campur tangan Johar. Sistem yang ia buat mulai bekerja ketika beberapa kejanggalan mulai terlihat --pada level Porprov, misalnya.
Banjarnegara yang awalnya tidak mempunyai target di Porprov dipaksa Priyanto dan Anik Yuni Artikasari (Tika)—orang yang dikenalkan Johar kepada Lasmi—menyetor sejumlah uang untuk juara.
ADVERTISEMENT
Aliran dana yang diduga digunakan untuk menaikkan Persibara Banjarnegara dari Liga 3 ke Liga 2 2019. Foto: Nunki Lasmaria Pangaribuan/kumparan
“Kami diberi tahu harus ikut ‘jalurnya’ Pak Johar. Lalu, dia mengenalkan Mbah Pri (Priyanto) dan Tika. Saya tahunya Pri itu Komite Wasit PSSI dan Tika anak kandungnya. Dengar cerita juga, wasit itu ‘takut’ sama Pri,” kata Lasmi.
Jalan tampak mulus begitu Lasmi memberikan uang Rp 175 juta kepada Pri dan Tika. Tujuannya jelas, semua dilakukan supaya Banjarnegara menjadi juara cabang sepak bola dan futsal Porprov. Kejanggalan terjadi begitu masuk babak penyisihan.
Pada partai penentuan kelolosan ke fase gugur, sandiwara terjadi. Banjarnegara harus menang atas Kudus sembari bergantung pada laga lain, yakni Banyumas vs Cilacap.
Skenario pertama berjalan. Banjarnegara menekuk Kudus 3-0. Logikanya, jika kedua partai itu dijalankan berbarengan dan sama-sama tidak ada kejadian berarti di tengah laga, selesainya pun tak beda jauh.
ADVERTISEMENT
Ternyata, pertandingan Banyumas versus Cilacap belum kelar. Laga itu mendapatkan injury time selama 15 menit!
Selama 90 menit waktu normal, skor masih seri 1-1. Hasil seri antara Banyumas dan Cilacap sebetulnya sudah bisa membuat Banjarnegara lolos ke babak berikutnya. Namun, dalam 15 menit injury time itu, Banyumas berhasil mencetak gol dan menang 2-1. Banyumas lolos, sementara Banjarnegara terpaksa gigit jari.
Cerita pun berlanjut. Saat itu, di Porprov itu ada seseorang yang bernama Ahmad Muhariah. Pelatih Purbalingga itu direkomendasikan Johar untuk menjadi nakhoda Persibara. Lasmi, yang ketika itu bertindak sebagai manajer Persibara, menuruti bisikan tersebut. Ahmad lantas menginginkan perekrutan beberapa pemain, salah satunya Saptono.
“Pelatih waktu itu bersikeras ingin membeli Saptono. Dia memang anak Banjarnegara. Namun, belakangan ia diketahui terlibat sepak bola gajah ketika bermain di PSIS pada 2014 lalu. Pernah kejadian, ketika dia sudah dalam posisi menguntungkan untuk mencetak gol, bola malah dioper,” ujar Lasmi.
ADVERTISEMENT
Selain Saptono, ada nama lain yang juga direkomendasikan Johar, seperti Teja Ridwan dan Alqomar. Dua nama itu menjadi aktor buat Persibara di Liga 3. Bicara kiprah Liga 3, Banjarnegara juga sudah menyetor banyak uang untuk memuluskan langkah promosi ke Liga 2.
Johar Lin Eng saat menjalani sidang perdana kasus mafia bola di Pengadilan Negeri Banjarnegara, Jawa Tengah. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
“Tika bilang, biaya untuk promosi ke Liga 2 (itu) Rp 200 juta. Kata dia, ada slot enam klub yang dipersiapkan untuk naik ke Liga 2. Kami ditawari slot keenam. Selangkah lagi kami ke babak 32 besar Liga 3. Tika menawari lagi untuk jadi tuan rumah babak itu dengan mahar Rp 500 juta. Namun, jangankan jadi tuan rumah, lolos ke babak 32 besar pun tidak,” tutur Lasmi.
Teja dan Alqomar ditunjuk sebagai aktor yang membuat Persibara tak lolos ke 32 besar Liga 3. Musababnya, kedua pemain mendapat akumulasi kartu dan tak main di leg kedua kontra Kediri. Alhasil, Laskar Dipayuda—julukan Persibara—kalah dan tak lolos ke babak berikut.
ADVERTISEMENT
“Kami padahal sudah optimistis lolos ke 32 besar Liga 3. Di kandang, kami menang melawan Kediri. Ternyata pas tandang kalah. Teja bilang kepada pemain lain (bahwa ia) sengaja mendapat kartu kuning dua kali (kartu merah) karena ‘diharuskan’ libur saat leg kedua. Alqomar yang direkomendasikan Pak Johar juga bermain tidak bagus, terlalu mudah emosi. Pak Johar memaksa untuk membuang Muhammad Faisol dan mengganti Alqomar waktu itu,” kata Lasmi.
Cerita kegagalan Persibara lolos ke 32 besar Liga 3 tak sampai di situ saja. Menurut penuturan Budhi, Persibara punya pemain bagus yang tak ada kaitannya dengan rekomendasi Johar. Namun, ternyata si pemain tak diturunkan pelatih dengan alasan tidak fit.
“Banyak sekali caranya. Ada pemain bagus kami yang tidak dimainkan pelatih. Padahal, gajinya sudah Rp 25 juta per bulan. Kata pelatih, fisiknya kurang fit. Lho, malam sebelum bertanding kami kasih telur bebek, gingseng, dan madu, kok, siangnya pelatih bilang tidak fit? Ini pelatihnya yang tahu mana (pemain) yang tidak bisa diatur. Setelah itu saya bilang, (kami) tidak akan menang di Kediri. Betul saja ‘kan,” ujar Budhi.
ADVERTISEMENT
Kepada siapa saja Lasmi memberikan uang Rp 1,2 miliar? Foto: Indra Fauzi/kumparan
'Sutradara' pun terlihat dari pertandingan-pertandingan Persibara itu. Di sini, Johar berlaku bak ‘agen’ pemain-pemain yang perannya di atas lapangan bisa diatur-atur.
“Kompetisi ini ‘kan musiman. Setelah selesai kompetisi, mereka kembali ke ‘bapaknya’. Pemain ini jadi tergantung sama 'bapaknya'. Kalau masih mau main, istilahnya seperti dikasih pekerjaan, harus menurut sama 'bapaknya'. Nanti, 'bapaknya' yang mengatur si pemain ini ditaruh di (klub) mana. Wong, gaji pemain yang bayar Persibara, tapi pemain menurutnya sama Johar,” kata Budhi.
Wasit juga menjadi aktor yang tidak bisa dipisahkan dalam pengaturan laga. Kembali menilik kisah Banjarnegara, kesaksian Lasmi menyebut seringnya ada pertemuan antara Johar dan para wasit.
“Saya diberi tahu Tika kalau Pak Johar mengumpulkan wasit untuk diberi pengarahan. Katanya rapat antara Asprov PSSI Jateng dan wasit,” tutur Lasmi.
ADVERTISEMENT
Kisah yang terjadi di Banjarnegara mungkin saja bagian kecil dari wilayah kerja para mafia bola. Selama Satgas mendalami kasus tersebut, tiga area pengaturan laga lain berhasil ditemukan.
Pertama, kasus percobaan penyuapan dalam laga Madura FC versus PSS Sleman di babak delapan besar Liga 2. Kasus ini disebut percobaan karena Madura FC menolak tawaran mengalah dari PSS.
Manajer Madura FC, Januar Herwanto, pelapor percobaan penyuapan oleh Hidayat (mantan anggota Exco PSSI), mengaku sempat ditawari uang Rp 100-Rp150 juta agar mengalah di leg pertama.
Joko Driyono saat akan menjalani sidang perdana di Pengadilan Negeri Jakarta selatan, Senin (6/5). Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Kemudian, ada nama Vigit Waluyo. Ia diringkus Satgas karena diduga melakukan penyuapan kepada mantan anggota Komite Disiplin PSSI, Dwi Irianto alias Mbah Putih, untuk memuluskan langkah PS Mojokerto Putra lolos ke Liga 1.
ADVERTISEMENT
Terakhir ialah Joko Driyono. Khusus untuk Jokdri—sapaan akrab Joko Driyono—, ia menjadi terdakwa dalam perusakan, penghilangan, dan penghancuran barang bukti serta perusakan garis polisi.
Hingga kini, belum terang barang bukti apa yang dirusak mantan Ketua Umum PSSI itu. Ketua Satgas Brigjen Hendro Pandowo sempat melontarkan pernyataan kalau dokumen itu terkait skandal mafia bola di Banjarnegara.
====
*Simak liputan kumparanBOLA seputar kasus mafia bola yang berawal di Banjarnegara lewat topik "Membongkar Mafia Bola".
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten