Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
ADVERTISEMENT
Matthijs de Ligt punya beberapa alasan mengapa dirinya memilih untuk menerima pinangan Juventus. Soal uang jelas tak bisa dikesampingkan, begitu pula dengan kemungkinan yang lebih besar untuk meraih trofi di kemudian hari. Namun, satu hal yang secara terang-terangan dia ungkapkan adalah karena di Italia dia bisa banyak belajar.
ADVERTISEMENT
De Ligt adalah seorang pemain bertahan dan Italia adalah tempat terbaik bagi mereka yang ingin belajar lebih jauh soal seni bertahan. Dari negara itu lahir bek-bek tangguh yang sampai sekarang namanya masih demikian harum. Franco Baresi, Gaetano Sciera, Giuseppe Bergomi, Paolo Maldini, Claudio Gentile, Fabio Cannavaro, Alessandro Nesta, sampai yang terbaru Giorgio Chiellini.
Ada alasan mengapa pemain-pemain bertahan punya tempat spesial di Italia. Yakni, karena sepak bola di negara itu memang dieksekusi dengan cara berbeda. Sejak dulu bertahan memang sudah menjadi prioritas dan itu bisa dilihat dari bagaimana Vittorio Pozzo memodifikasi formasi 2-3-5 dengan Metodo-nya.
Lewat Metodo, Pozzo menarik dua pemain depan yang berposisi kanan dalam dan kiri dalam ke tengah. Tujuannya, tidak lain, adalah untuk lebih menstabilkan permainan. Dengan permainan yang stabil, secara otomatis, lawan pun bakal lebih kesulitan untuk mencetak gol.
ADVERTISEMENT
Ada yang menyebut bahwa orang Italia, secara natural, punya rasa inferior terhadap bangsa lain. Mereka bukan yang tercepat, bukan pula yang terkuat. Itulah mengapa mereka memilih untuk bertahan. Dari sana mereka bisa mencuri kesempatan untuk menyakiti lawan ketika mereka sedang rapuh-rapuhnya.
Meski demikian, sepak bola tentu tidak bisa cuma dimainkan dengan bertahan. Apalah artinya tidak kebobolan kalau sebuah tim juga tidak bisa mencetak gol? Dari mana kemenangan akan didapat? Meskipun prioritas utama tetap bertahan, menyerang juga tak pernah luput dari perhatian.
Pada suatu masa Serie A pernah menjadi kompetisi sepak bola terbaik di dunia dan status itu mustahil didapatkan jika tim-tim yang berlaga di sana cuma fokus pada pertahanan. Lewat pemain-pemain macam Zico, Michel Platini, Diego Maradona, Marco van Basten, sampai Ronaldo Nazario de Lima, Serie A membangun reputasi sebagai liga yang juga ramah untuk para juru gedor.
ADVERTISEMENT
Yang menarik, Serie A tidak cuma menyenangkan bagi mereka yang punya nama besar. Ada kalanya pemain-pemain semenjana mencuat ke permukaan meski hanya sebentar. Lewat tulisan ini kumparanBOLA mengajak para pembaca untuk mengenang para topskorer Serie A yang sudah sedikit terlupakan.
1) Dario Huebner (Piacenza)
Perawakannya tinggi besar, rambutnya keriting dan tebal, kumis serta berewoknya dicukur rapi mengelilingi mulutnya. Itulah Dario Huebner dan sepintas dia tidak tampak seperti seorang pesepak bola. Paksa dia untuk mengenakan setelan overall dan Huebner akan terlihat seperti seorang tukang kayu.
Mengapa tukang kayu? Karena di masa mudanya dia memang pernah menggeluti profesi tersebut. Di usia 18 tahun, ketika pesepak bola profesional umumnya sudah mulai mentas dari akademi, Huebner masih bergelut dengan gergaji dan martil. Dia baru mulai terjun sebagai pesepak bola pada 1987 ketika usianya menginjak angka 20.
ADVERTISEMENT
Untuk seseorang yang tak pernah mendapat ilmu sepak bola secara formal, karier Huebner cukup bagus. Sepuluh tahun setelah memulai karier di Serie D, dia sudah bisa merasakan Serie A bersama Brescia. Bersama Brescia dia bisa bermain dengan sosok legendaris bernama Roberto Baggio.
Akan tetapi, bukan di Brescia Huebner mencapai puncak karier, melainkan di Piacenza. Pria yang kini berumur 52 tahun itu hijrah ke Piacenza, yang kala itu berstatus sebagai tim promosi di Serie A, pada 2001. Di musim perdananya, Huebner langsung membuat sensasi.
Usia Huebner ketika itu sudah 34 tahun. Bermain di 33 pertandingan, dia mampu mencetak 24 gol. Capaian itu membuat dirinya dinobatkan jadi Capocannoniere alias pencetak gol terbanyak musim 2001/02 bersama striker Juventus, David Trezeguet.
ADVERTISEMENT
Pada musim berikutnya Huebner masih cukup tajam dengan mencetak 14 gol dari 27 pertandingan. Akan tetapi, memasuki musim 2003/04, Huebner mulai kehabisan bensin. Setahun kemudian, dia pun pensiun sebagai pemain profesional bersama Mantova. Walau demikian, tercatat sampai 2011 lalu dia masih aktif di kompetisi-kompetisi amatir.
2) Igor Protti (Bari)
Igor Protti dan Huebner sama-sama lahir pada 1967 serta sukses menggondol satu trofi Capocannoniere Serie A. Akan tetapi, selain dua hal itu, mereka tidak bisa lebih berbeda lagi.
Tak seperti Huebner, Protti bertubuh kecil. Tingginya cuma 171 cm dan atribut yang dia miliki pun berbeda dengan Huebner. Protti lebih cepat, lebih lincah, dan lebih bisa memanipulasi bola dengan kakinya. Selain itu, pria kelahiran Rimini itu juga terjun ke sepak bola lebih dulu ketimbang Huebner.
ADVERTISEMENT
Nama Protti pertama kali mencuat bersama Livorno pada kurun waktu 1985-1988. Di klub ini pulalah nantinya dia mengakhiri kariernya sebagai legenda. Meski begitu, kiprah pertama Protti di Livorno tidak dia jalani di Serie A. Dia baru merasakan Serie A ketika membawa Bari promosi ke Serie A pada 1994.
Bersama Bari, Protti bermain dalam 119 pertandingan dengan koleksi 51 gol. Dari 51 gol itu, 24 di antaranya dia lesakkan di Serie A pada musim 1995/96. Ini membuatnya jadi topskorer Serie A musim tersebut bersama Giuseppe 'Beppe' Signori.
Keberhasilan itu membawa Protti ke Lazio pada musim berikutnya. Presiden Lazio kala itu, Sergio Cragnotti, berniat untuk menduetkan dirinya dengan Signori. Namun, usaha itu gagal total karena Protti cuma bisa mencetak 7 gol dalam satu musim. Akhirnya, Protti pun hengkang ke Napoli, Reggiana, hingga akhirnya kembali ke Livorno, di mana dia pensiun pada 2005 sebagai legenda klub.
ADVERTISEMENT
3) Giuseppe Signori (Lazio)
Giuseppe Signori merupakan sosok spesial di jagat Calcio. Selama 13 tahun berkiprah di Serie A, dia mampu menyarangkan 188 gol dan itu membuat dirinya jadi pencetak gol terbanyak kesembilan sepanjang masa. Untuk urusan itu, Signori berdiri sama tinggi dengan Alessandro Del Piero dan Alberto Gilardino.
Foggia, Lazio, Sampdoria, dan Bologna. Itulah empat klub yang diperkuat Signori selama berkiprah di Serie A. Bersama Lazio, dari 1992 sampai 1997, Signori mencapai puncak kariernya. Dalam kurun waktu tersebut dia sukses menjadi topskorer Serie A sebanyak tiga kali, yaitu pada 1993, 1994, dan 1996.
Seperti halnya Protti, Signori juga berperawakan kecil. Dengan fisik mungil, kecepatan menjadi andalan pria kelahiran 1968 tersebut. Inilah yang membuatnya sempat kesulitan di awal karier. Sebelum pindah ke Foggia di bawah asuhan Zdenek Zeman, Signori gagal menunjukkan ketajaman lantaran dipaksa bermain sebagai gelandang sayap kiri.
ADVERTISEMENT
Signori pensiun pada 2006 sebagai pemain klub Yunani, Sopron. Setelah itu dia sempat menjadi analis, direktur olahraga, serta mengambil kursus kepelatihan di Coverciano. Namun, kabar terakhir yang datang darinya kurang menyenangkan. Pada 1 Juni 2011, Signori ditahan polisi atas keterlibatannya dalam skandal pengaturan skor Calcioscommesse.
4) Marcio Amoroso (Udinese)
Nama Marcio Amoroso baru benar-benar besar ketika dirinya sudah angkat kaki dari Italia. Di bawah panji Borussia Dortmund, dia membentuk duet legendaris bersama striker jangkung Republik Ceko, Jan Koller, pada awal 2000-an.
Namun, bukan berarti Amoroso tidak berprestasi di Italia. Dua musim sebelum menjadi topskorer Bundesliga pemain asal Brasil tersebut sudah menunjukkan ketajamannya di Serie A dengan menggondol trofi Capocannoniere edisi 1998/99.
ADVERTISEMENT
Musim itu Udinese, klub yang diperkuat Amoroso, memang menjalani musim yang bagus. Ketika itu mereka sukses finis di posisi keenam. Keberhasilan Zebrette itu sangat sulit dipisahkan dari andil Amoroso.
Meski mampu finis di posisi keenam, catatan defensif Udinese terbilang sangat buruk karena mereka kebobolan 52 gol. Untungnya, mereka punya lini depan yang tajam. Dibantu oleh Paolo Poggi, Amoroso mampu mencetak 22 gol yang membuatnya jadi topskorer kompetisi.
Kombinasi Poggi-Amoroso ini begitu mematikan meski kedua pemain punya karakteristik yang mirip. Mereka sama-sama cepat dan punya olah bola bagus. Namun, pada akhirnya memang Amoroso yang lebih menonjol di antara mereka.
5) Oliver Bierhoff (Udinese)
Sebelum Marcio Amoroso, ada Oliver Bierhoff. Pada musim 1998/99, ketika Amoroso menjadi Capocannoniere, Udinese finis di urutan enam. Nah, pada musim sebelumnya, ketika Bierhoff masih ada di sana, tim asal kota Udine itu sukses finis di urutan ketiga.
ADVERTISEMENT
Andil Bierhoff sangat besar di sana. Ketika itu Amoroso adalah tandemnya di lini depan. Kombinasi dua orang ini mirip dengan kombinasi Amoroso-Koller di Borussia Dortmund. Yang satu adalah ahli bola-bola darat, yang satu adalah spesialis bola-bola udara.
Bierhoff adalah sang spesialis bola udara dan kelebihan itu memang sudah jadi merek dagangnya semenjak masih bermain di Hamburger. Disokong Tomas Locatelli yang bermain sebagai trequartista, Bierhoff begitu dimanjakan di kotak penalti lawan.
Sayangnya, pada musim 1997/98, ketika berhasil finis di urutan ketiga, Udinese tidak berhak untuk lolos ke Liga Champions karena pada masa itu aturannya memang tidak seperti sekarang. Namun, Bierhoff akhirnya merasakan hal tersebut bersama Milan.
Menyusul keberhasilannya jadi topskorer Serie A Bierhoff direkrut Milan pada musim panas 1998. Di sana dia sukses mempersembahkan gelar juara Serie A dan akhirnya berhak tampil di Liga Champions.
ADVERTISEMENT
6) Cristiano Lucarelli (Livorno)
Cristiano Lucarelli adalah salah satu pesepak bola yang namanya masyhur karena alasan yang 'salah'. Dalam artian, dia tidak dikenal luas oleh publik karena kemampuannya mengolah Si Kulit Bulat melainkan karena afiliasi politiknya yang condong ke kiri.
Lucarelli adalah putra asli Livorno, kota yang menjadi bastion bagi gerakan komunisme di Italia. Dia pun tidak pernah menyembunyikan pandangan politiknya. Ketika membela Timnas Italia U-21 tahun 1997, misalnya, dia merayakan gol dengan memamerkan kaus bergambar Ernesto 'Che' Guevara.
Namun, lebih dari itu, dia adalah pencinta Livorno. Dia adalah pengabdi sejati kota dan klub tersebut. Dia merajah lengan kirinya dengan lambang Livorno, memasang nada dering 'Red Flag' di ponselnya, memberikan clenched fists salute di setiap pertandingan, dan memilih nomor punggung 99 sebagai bentuk penghormatan terhadap kelompok ultras Brigate Autonome Livornesi yang dibentuk tahun 1999.
ADVERTISEMENT
Semua itu membuat Lucarelli jadi pujaan publik Stadio Comunale Armando Picchi. Meski demikian, penyerang tinggi besar ini pun sebenarnya memiliki kemampuan olah bola yang dahsyat. Buktinya, pada 2005 dia berhasil menggondol gelar Capocannoniere Serie A.
Ketika Lucarelli menjadi topskorer Serie A itu, Protti sedang menjalani musim terakhirnya bersama Livorno. Setelah Protti pensiun, ban kapten pun diserahkan kepada Lucarelli yang berusia delapan tahun lebih muda.
Lucarelli sendiri akhirnya hijrah ke Shakhtar Donetsk pada musim 2007/08 tetapi gagal bersinar. Setahun berselang dia kembali ke Italia untuk memperkuat Parma. Namun, dia cuma setahun berada di sana. Setelah pulang ke Livorno pada 2009, Lucarelli hengkang ke Napoli pada musim berikutnya. Di Napoli, pada 2012, dia memutuskan gantung sepatu.
ADVERTISEMENT