'Standing Ovation' di El Clasico sebagai Bentuk Penghormatan Tertinggi

25 Oktober 2018 17:54 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:05 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
El Clasico (Ilustrasi) (Foto: Reuters/Sergio Perez)
zoom-in-whitePerbesar
El Clasico (Ilustrasi) (Foto: Reuters/Sergio Perez)
ADVERTISEMENT
Pada sebuah malam, 26 Juni 1983. Seorang pemuda berambut keriting, dengan teknik olah bola ciamik, sukses membuat seisi Stadion Santiago Bernabeu terpukau oleh kemampuannya. Dia adalah Diego Armando Maradona.
ADVERTISEMENT
Malam itu, Maradona menjadi bagian dari skuat Barcelona yang berhadapan dengan Real Madrid dalam laga leg pertama final Copa de la Liga. Ajang Copa de la Liga sendiri adalah ajang yang mempertemukan tim-tim yang berkompetisi di Liga Spanyol, tapi hanya bertahan selama empat tahun, yaitu sejak 1982 sampai 1986.
Meski hanya berlangsung empat tahun, Copa de la Liga ini tetap berhiaskan sejarah. Salah satunya terjadi ketika 1983 silam. Ketika itu, Barcelona dan Real Madrid bertemu dalam leg pertama babak final Copa de la Liga. Maradona tengah menggiring bola ke gawang seorang diri. Setelah mendekati gawang, dia menggocek kiper, dan tinggal berhadapan dengan gawang yang kosong.
Normalnya, pemain akan langsung menceploskan bola langsung ke gawang. Maradona tidak. Dia memilih untuk menahan bola, menunggu sang kiper kembali, dan membiarkan kiper berupaya menghalau tendangannya, walau akhirnya tendangannya itu masuk. Sontak, aksi Maradona ini menghadirkan standing ovation yang membahana di Santiago Bernabeu.
ADVERTISEMENT
Seperti yang kita tahu, apa pun yang diawali oleh pemain besar macam Maradona, biasanya akan menjadi sebuah legenda. Dalam hal ini, legenda tentang sebuah standing ovation sebagai bentuk penghormatan tertinggi di laga sebesar El Clasico.
***
Jika mau merunut lebih jauh, sebenarnya sebelum Maradona, pernah ada seorang pemain yang juga mendapatkan standing ovation yang meriah dalam laga El Clasico. Dia adalah Laurie Cunningham. Pemain asal Inggris tersebut mendapatkan standing ovation dari para suporter Barcelona di Camp Nou. Sebuah hal yang jarang.
Kala itu, pada Februari 1980 dalam ajang La Liga, Cunningham sukses membuat lini pertahanan Barcelona kalang kabut. Berkat permainannya (meski pencetak golnya adalah Garcia Hernandez dan Santillana) dia sukses mengantarkan Madrid menang 2-0 di Camp Nou. Aksinya yang menawan dan menghibur membuatnya mendapatkan standing ovation.
ADVERTISEMENT
Jauh setelah itu, setelah kejadian Cunningham pada 1980 dan Maradona pada 1983, standing ovation baru hadir kembali pada 2005 silam. Pelakunya adalah Ronaldinho, di tempat yang juga sama dengan saat Maradona mendapatkan tepuk tangan tersebut: Santiago Bernabeu.
Selain dua gol yang sukses dia cetak, Ronaldinho juga berhasil menghibur publik Bernabeu lewat suguhan aksi giringan bolanya yang mantap serta trik-trik penuh imajinasinya dalam melewati lawan. Melihat aksi-aksi tersebut, para pendukung Madrid yang hadir di Bernabeu langsung berdiri dan memberikan tepuk tangan untuk Ronaldinho.
Teraktual, pada 2015 silam, ada lagi satu pemain yang sukses mendapatkan standing ovation dalam laga El Clasico. Kali ini, Andres Iniesta yang mendapat tepuk tangan riuh itu dari para penonton. Sama seperti Ronaldinho, berkat aksi-aksi ciamiknya, baik itu umpan, caranya mengatur permainan, dan diakhiri oleh satu gol gemilang di menit 53, Iniesta mendapatkan tepuk tangan dari para penonton.
ADVERTISEMENT
Ronaldinho, Iniesta, Cunningham, dan Maradona, tentu tidak akan menduga bahwa mereka akan mendapatkan standing ovation semeriah itu. Tapi, toh, pada akhirnya mereka mendapatkannya, karena mereka memang berhasil memaksa penonton berdiri dan bertepuk tangan lewat penampilan mereka.
***
Vanessa Van Edwards, dalam tulisannya berjudul How to Get a Standing Ovation yang tampil di laman The Huffington Post, mengungkapkan bahwa untuk mendapatkan standing ovation dari para penonton, dalam hal ini konteks dari tulisan adalah soal pidato, maka setidaknya ada tiga area yang harus tertangkap jelas oleh penonton.
Area pertama adalah soal pesan yang disampaikan. Pesan yang disampaikan harus benar-benar kuat, dan pesan ini dapat membelah batin dari para penonton yang hadir. Jika pesan yang disampaikan tidak begitu kuat, jangan harap bisa mendapatkan tepuk tangan meriah dari penonton. Intinya, pesan tidak boleh setengah-setengah dan memang harus benar-benar matang.
ADVERTISEMENT
Area kedua adalah perihal pendekatan verbal yang dilakukan. Pendekatan verbal ini berkaitan dengan kata-kata yang dipakai, dan juga bagaimana cara kata-kata itu diucapkan. Penekanan dan intonasi yang unik juga bisa menambah kekuatan verbal, sehingga seseorang dapat mendapatkan tepuk tangan yang meriah.
Area ketiga adalah perihal tanda-tanda nonverbal yang diberikan. Tanda nonverbal ini berhubungan dengan ciri khas atau gesture tersendiri yang diberikan, seperti mengajak penonton melakukan sebuah gerakan bersama, sehingga dapat menularkan rasa semangat. Memberikan gerakan nonverbal yang tepat dapat menstimulus penonton, sehingga tepuk tangan meriah akan diberikan.
Namun, menurut Van Edwards, yang terpenting agar dapat mendapatkan standing ovation adalah memastikan bahwa apa yang ingin kita sampaikan berhasil sampai ke pikiran para penonton. Ketika itu terjadi, maka penonton akan bertepuk tangan dengan sendirinya, tanpa harus disuruh, misalnya, oleh pembawa acara. Hal inilah yang terjadi dalam kasus Cunningham, Maradona, Ronaldinho, dan Iniesta.
ADVERTISEMENT
Keempat pemain tersebut, dalam laga El Clasico, berhasil menembus sanubari penonton lewat apa-apa yang mereka lakukan di atas lapangan, terutama dari pesan dan gerakan nonverbal. Gerakan nonverbal ini tampak dari cara mereka memberikan umpan, menendang bola, dan menggiring bola di atas lapangan. Gerakan nonverbal itu melahirkan pesan yang kuat. Pesan yang sampai di benak para penonton.
Seperti misalnya gerak-gerik Ronaldinho. Kenapa dia diberikan standing ovation, karena dia memang memiliki pesan yang jelas, tersalur lewat gerakan nonverbal yang dia lakukan. Dia ingin menghibur penonton, sekaligus mempersembahkan kemenangan untuk Barcelona lewat permainannya yang menghibur ini. Jadilah dia mendapatkan tepuk tangan.
Atau apa yang dilakukan Maradona. Dia sampai menghentikan laju, tidak mencetak gol meski gawang sudah kosong. Di sana, ada pesan yang tersampaikan lewat gerakan nonverbal Maradona bahwa dia menghormati lawan dan membiarkan lawan berada dalam posisi yang cocok. Hal itu membuatnya mendapatkan tepuk tangan dari para penonton.
ADVERTISEMENT
Ya, pada intinya, saat Anda berhasil menembus hati orang-orang dengan tindakan dan juga pesan yang ingin Anda sampaikan, maka tepuk tangan itu akan hadir dengan sendirinya. Bahkan, bisa saja hadir dalam bentuk yang setinggi-tingginya, seperti di laga El Clasico ini.
Koreo suporter Real Madrid vs Barcelona (Foto: PAUL HANNA/REUTERS)
zoom-in-whitePerbesar
Koreo suporter Real Madrid vs Barcelona (Foto: PAUL HANNA/REUTERS)
***
El Clasico, mesti diakui, adalah laga bertensi panas. Bumbu yang menghiasi laga ini tidak hanya perseteruan di atas lapangan saja, tapi juga perseteruan di luar lapangan yang melibatkan banyak aspek seperti politik, sosial, dan budaya. Maka, tak heran setiap El Clasico berjalan, selalu ada emosi yang mengiringinya.
Namun, bukan berarti El Clasico membuat orang-orang abai akan rasa hormat dan keindahan di dalamnya. Hanya pemain-pemain beraura dan berkarakter kuat yang dapat membuat para suporter bertepuk tangan di laga El Clasico. Oleh karenanya, berterima kasihlah kepada Cunningham, Maradona, Ronaldinho, dan Iniesta yang sempat menghiasi El Clasico dengan tepuk tangan dan rasa hormat.
ADVERTISEMENT
Sesuatu yang belum tentu bisa dilakukan oleh Cristiano Ronaldo maupun Lionel Messi sekalipun.