Nuno Espirito Santo, Wolves

Susahnya Pelatih Kulit Hitam Dapat Kesempatan di Sepak Bola Inggris

10 Juni 2020 7:04 WIB
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sol Campbell sulit dapat pekerjaan sebagai pelatih. Foto: AFP/Tiziana Fabi
zoom-in-whitePerbesar
Sol Campbell sulit dapat pekerjaan sebagai pelatih. Foto: AFP/Tiziana Fabi
Kematian George Floyd di tangan polisi kulit putih Minneapolis memicu bangkitnya gerakan Black Lives Matter di Amerika Serikat dan berbagai belahan dunia lainnya.
Slogan 'Black Lives Matter' sendiri lahir pada 2013 setelah George Zimmerman, polisi yang membunuh seorang remaja Afro-Amerika bernama Trayvon Martin, dibebaskan dari segala tuduhan.
Awalnya, Black Lives Matter hanyalah slogan di dunia maya. Akan tetapi, kemudian ia menjadi gerakan sosial berskala besar yang masih relevan sampai sekarang.
Lewat gerakan Black Lives Matter di 2020 ini, lahirlah sebuah perbincangan besar mengenai relasi rasial yang selama ini menempatkan orang-orang kulit hitam sebagai warga kelas dua.
Di sepak bola, terutama sepak bola Inggris, orang kulit hitam masih menjadi warga kelas dua. Maraknya pelecehan rasial terhadap para pemain kulit hitam bisa menjadi contoh.
Tak cuma itu, minimnya jumlah pelatih kulit hitam di persepakbolaan Inggris juga menjadi bukti lain bahwa keadilan rasial belum tampak di ranah ini.
Nuno pun bukan merupakan produk asli persepakbolaan Inggris. Pria asal Portugal itu bisa mendapatkan jabatan sebagai pelatih Wolves setelah mendapat kesempatan di liga lain.
Sebelum melatih Wolves, Nuno terlebih dahulu dipercaya menjadi pelatih oleh Rio Ave, Valencia, dan Porto. Artinya, Nuno datang ke Inggris dengan pengalaman yang cukup.
Yang jadi soal di persepakbolaan Inggris adalah soal 'pengalaman' tersebut. Para pelatih kulit hitam kerapkali gagal mendapat pekerjaan karena 'dianggap belum berpengalaman'.
Akan tetapi, seperti yang dituturkan Dwight Yorke dalam wawancara dengan BeIN Sports, bagaimana bisa pelatih kulit hitam mendapat pengalaman kalau tidak diberi kesempatan?
"Ketika aku melamar ke Aston Villa, aku mendatangi Sir Alex Ferguson di kantornya dan menceritakan kepadanya apa yang sedang kulakukan," kata Yorke.
"Dia memberiku pengalaman, dia memberi tahu apa yang perlu kulakukan, dan aku belajar banyak darinya. Di saat itu juga, dia menelepon Aston Villa untuk memberi rekomendasi."
"Dia selalu bilang bahwa apabila aku butuh rekomendasi untuk bekerja sebagai pelatih, dia akan memberikannya. Meski sudah mendapat bantuan darinya, aku tetap tidak mendapat panggilan wawancara sampai sekarang," lanjut pria Trinidad-Tobago itu.
Dwight Yorke dan Marcel Desailly. Foto: AFP/Tiziana Fabi
Dalam laporan yang dirilis pada 2018, Jonathan Liew menyebut bahwa pelatih berkulit hitam memang tidak mendapat kesempatan sebesar pelatih kulit putih.
"Sebagai eks pemain Timnas Inggris berkulit putih, Anda punya kesempatan dua kali lebih besar untuk menjadi pelatih ketimbang kawan-kawan Anda yang berkulit hitam," tulis Liew dalam kolomnya di Independent itu.
Liew kemudian memaparkan data lebih mencengangkan lain: Ketika artikel itu diterbitkan, persentase pelatih kulit hitam dan etnis minoritas lain (BAME) di sepak bola Inggris hanyalah 7 persen.
Tak sampai di situ, menurut data dari Asosiasi Manajer Liga (LMA), dua per tiga dari pelatih berlatar belakang BAME tidak pernah mendapat kesempatan kedua.
Berangkat dari fakta itu, ditambah dengan masifnya gerakan Black Lives Matter, Raheem Sterling pun mendesak otoritas terkait untuk memberi kesempatan lebih kepada pelatih-pelatih kulit hitam.
"Seperti yang bisa kalian lihat, Frank Lampard, Steven Gerrard, Sol Campbell, dan Ashley Cole, semuanya pernah bermain untuk Timnas Inggris dan memiliki karier yang luar biasa sebagai pesepak bola," tuturnya.
Raheem Sterling di sesi latihan Manchester City jelang laga melawan Sheffield United. Foto: Tim Media Man City.
"Akan tetapi, coba tengok, hanya Lampard dan Gerrard saja yang punya kesempatan menangani tim papan atas. Di sisi lain, kesempatan itu tidak hadir untuk Campbell dan Cole."

Rooney Rule dan Equity Action Plan

Otoritas sepak bola Inggris sebenarnya sudah berusaha (setidaknya di atas kertas) untuk memberi kesempatan lebih kepada kaum minoritas.
Pada 2018, Asosiasi Sepak Bola Inggris (FA) sudah mengeluarkan program bernama Equity Action Plan. Lewat program ini, mereka mencanangkan 5% posisi penting di FA, serta 13% posisi pelatih kepala di Inggris, diisi oleh orang kulit hitam dan etnis minoritas.
Tidak cuma itu, pada 2021, FA menargetkan 11% posisi penting di tubuh asosiasi, serta 20% posisi pelatih kepala di Inggris, diisi oleh orang-orang kulit hitam dan etnis minoritas.
Khusus untuk posisi pelatih, FA sendiri mengadopsi aturan milik National Football League (NFL) bernama Rooney Rule.
Rooney Rule sendiri lahir pada 2003 menyusul pemecatan dua pelatih berkulit hitam yang sebenarnya tidak pantas dipecat, Tony Dungy dan Dennis Green.
Tony Dungy pada 2005 saat melatih Indianapolis Colts. Foto: AFP/Kazuhiro Nogi
Tak lama setelah pemecatan itu, dua pengacara hak sipil bernama Cyrus Mehri dan Johnnie Cochran merilis temuan yang menyebutkan bahwa pelatih berkulit hitam, meskipun mampu memberikan lebih banyak kemenangan, punya peluang dipecat lebih besar ketimbang pelatih kulit putih.
Pemecatan Dungy dan Green tadi sama-sama terjadi pada 2002. Setahun kemudian, Rooney Rule diberlakukan. Nama Rooney Rule sendiri berasal dari Dan Rooney, eks pemilik Pittsburgh Steelers yang mengepalai Komite Keberagaman NFL saat aturan dibuat.
Rooney Rule sendiri sempat mengangkat persentase pelatih non-kulit putih di NFL. Pada 2006, persentase pelatih non-kulit putih di NFL mencapai 22 persen dari sebelumnya 6 persen.
Akan tetapi, pada 2020 ini, NFL hanya memiliki tiga pelatih kepala non-kulit putih. Jumlah ini sama dengan seperti sebelum Rooney Rule diberlakukan pada 2003.
Meski di negara asalnya Rooney Rule belum sepenuhnya berhasil, aturan ini diadopsi oleh FA pada 2018. Setahun berikutnya, English Football League (EFL) ikut menerapkan aturan ini.
Namun, masih menurut Yorke, implementasi Rooney Rule di sepak bola Inggris adalah sebuah lelucon. Apa yang terjadi pada Sol Campbell disebut Yorke sebagai bukti nyatanya.
"Terus bernyanyi!" kata Nuno Espirito Santo kepada fans Wolves. Foto: Action Images via Reuters/Carl Recine
"Aku kenal Sol Campbell. Aku bicara dengan Sol Campbell. Dia mencoba mendapat pekerjaan di Grimsby, lalu ke Macclesfield. Sekarang, sosok dengan level seperti dirinya cuma melatih Southend," kata Yorke.
"Kalau kalian lihat pemain lain yang tidak akan kusebutkan namanya, mereka mendapat banyak sekali kemudahan," tambah mantan penyerang Manchester United tersebut.
Meski begitu, Ketua Kick It Out (organisasi nirlaba anti-rasialisme di sepak bola Inggris), Sanjay Bhandari, menyatakan bahwa di kemudian hari Rooney Rule akan berbuah hasil, terutama jika ada perubahan lain yang menyertainya.
"Minimnya jumlah pelatih kulit hitam di sepak bola Inggris adalah persoalan yang sudah mengakar dan membutuhkan lebih dari satu solusi. Kita punya kultur, kerangka hukum, dan praktik ketenagakerjaan berbeda sehingga Rooney Rule di sini akan mengalami penyesuaian," ucapnya.
"Ini sudah dilakukan oleh EFL dan mereka cukup optimistis. Namun, kita harus sadar juga bahwa prosesnya masih panjang. Kita tidak perlu mencabut aturan tersebut karena itu akan membawa kita ke belakang. Yang harus kita lakukan adalah terus memantau implementasinya."
Sol Campbell (kanan) saat berkostum Tottenham Hotspur. Foto: AFP/ADRIAN DENNIS
Selain itu, sejak 2015 Premier League sudah memiliki sebuah inisiatif untuk memberdayakan pelatih BAME dan pelatih wanita. Setiap tahunnya, ada sembilan sosok yang mendapat pelatihan elite. Namun, hasilnya memang belum terlihat.

Meritokrasi versus Tokenisme

Sepak bola adalah salah satu area di mana meritokrasi sudah menjadi harga mati. Artinya, siapa yang mendapat kesempatan haruslah mereka yang terbaik.
Di sisi lain, meritokrasi dalam sepak bola Inggris sudah tercemar oleh stereotip rasial yang membuat pelatih-pelatih non-kulit putih dianggap tidak secerdas atau sekompeten mereka yang berkulit putih.
Celakanya, aturan seperti Rooney Rule masih dipandang sebagai wujud tokenisme. Tokenisme sendiri merupakan praktik inklusi orang-orang berlatar belakang berbeda agar suatu institusi dianggap telah berbuat adil.
Jika Rooney Rule diimplementasikan sungguh-sungguh, kesempatan pelatih non-kulit putih tentu akan melonjak. Namun, seperti yang sudah diucapkan Bhandari tadi, semua pihak harus terus memonitor implementasi aturan tersebut.
Selain itu, usaha-usaha untuk menghapuskan stereotip rasial juga harus terus dilakukan. Sebab, hanya dengan beginilah meritokrasi tadi bisa menjadi murni kembali.
-----
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona. Yuk, bantu donasi atasi dampak corona.
Ayo, ikutan Home of Premier League dan menangi 1 unit SmartTV dan 2 jersi original klub Liga Inggris. Buruan daftar di sini.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten