

ADVERTISEMENT
Mudah untuk mengingat Serie A sebagai liganya para legenda karena faktanya memang demikian. Terutama pada dekade 1980-an dan 1990-an kompetisi itu tak pernah kekurangan bintang. Bahkan, ada sejumlah pemain berkualitas yang akhirnya harus terbuang karena gagal bersaing dengan para bintang tersebut.
ADVERTISEMENT
Gianfranco Zola bisa jadi contoh terbaik. Tak ada yang bisa membantah kehebatan pemain bertubuh mungil tetapi gempal tersebut. Bersama Chelsea, Zola menjadi legenda berkat sentuhan-sentuhan ajaibnya yang tak jarang berbuah gol.
Namun, perlu diingat bahwa ketika Zola bermain untuk Chelsea kompetisi di Inggris belum seperti sekarang. Premier League ketika itu belum lama dibentuk dan masih berupaya merangkak untuk jadi kompetisi nomor satu. Dengan kata lain, Zola kala itu menjadi bintang di liga kelas dua.
Zola menyingkir ke Inggris karena tak mampu bersaing dengan nama-nama seperti Roberto Baggio, Roberto Mancini, Francesco Totti, Zinedine Zidane, dan Alessandro Del Piero. Mereka semua adalah pemain spesial dan ketika itu hanya pemain spesial yang bisa bertahan lama sebagai bintang Serie A.
ADVERTISEMENT
Zola sendiri boleh dibilang beruntung karena dia pergi di saat yang tepat ke tempat yang tepat pula. Namun, tak semua bisa merasakan itu. Selain Zola, ada pula pemain-pemain 'nomor sepuluh' lain yang tidak seberuntung dirinya. Mereka punya talenta untuk menjadi fantasista, tetapi itu tidak cukup untuk membuat mereka jadi legenda.
Di Serie A, terutama pada dekade 1990-an sampai 2000-an, ada banyak pemain yang bernasib demikian. kumparanBOLA mengajak Anda untuk mengenang nama-nama mereka.
1) Anselmo Robbiati
Anselmo Robbiati memulai kariernya yang panjang bersama Monza pada 1987. Enam tahun kemudian, pemain kidal kelahiran Lecce ini pindah ke Fiorentina yang kala itu bermain di Serie B. Di sana, dia sukses membawa La Viola promosi ke Serie A dan sempat menjadi andalan selama beberapa musim.
ADVERTISEMENT
Namun, pencapaian Robbiati di level tertinggi berhenti sampai di situ. Dari Fiorentina dia kemudian pindah ke Napoli dan Internazionale. Di dua klub itu dia gagal menunjukkan talentanya. Bahkan, Robbiati tak pernah tampil sekali pun untuk Inter.
Setelah itu kariernya terus menurun sampai akhirnya Robbiati pensiun pada 2009. Dua puluh dua tahun lamanya dia berkarier dan itu bukan waktu yang sebentar. Sayangnya, potensi yang muncul di awal karier tak lagi tampak pada dekade keduanya mengolah bola secara profesional.
2) Domenico Morfeo
Sama halnya dengan Robbiati, Domenico Morfeo juga pernah berkostum Fiorentina. Meski demikian, catatan terbaik dalam kariernya dia raih bersama Parma.
Morfeo memulai karier bersama Atalanta sebelum pindah ke Fiorentina pada 1997 saat berusia 21 tahun. Dia mampu mencatatkan 46 penampilan bersama Fiorentina tetapi selama lima tahun lebih kerap dipinjamkan, termasuk ke Milan pada musim 1998/99.
ADVERTISEMENT
Sebagai seorang pengatur serangan, Morfeo punya teknik dan visi mumpuni tetapi dia tak pernah bisa benar-benar melejit di tim bertabur bintang. Ketika bermain untuk Inter di musim 2002/03 pun situasinya begitu.
Dia baru menemukan stabilitas kala bermain untuk Parma dari 2003 sampai 2008. Bersama Alberto Gilardino, Sebastien Frey, dan Daniele Bonera, Morfeo membawa Parma jadi kuda hitam Serie A yang mampu finis di posisi lima pada musim 2003/04.
Setelah pemain-pemain tadi pergi, peran Morfeo di parma jadi makin krusial tetapi setelah gagal menyelamatkan Parma dari degradasi di musim 2007/08 dia memutuskan untuk pergi. Setahun berikutnya Morfeo pensiun dan menjadi bukti lain bahwa talenta semata tidak pernah cukup.
3) Milan Rapajc
ADVERTISEMENT
Ketika Hidetoshi Nakata mengejutkan dunia bersama Perugia pada musim 1998/99, dia sebenarnya bukan satu-satunya kreator di dalam tim. Ada satu sosok lain dengan kemampuan serupa tetapi tidak seflamboyan dirinya. Dia adalah Milan Rapajc. Bahkan, Rapajc sebetulnya merupakan kreator utama Perugia ketika itu.
Pemain kidal asal Kroasia itu dikenal karena bakat alamnya, kecepatannya, dan rambut panjangnya. Mengawali karier bersama Hajduk Split, Rapajc sukses menjadi salah satu pemain Kroasia terbaik pada masanya dengan koleksi 49 caps untuk Vatreni.
Setelah empat musim bersama Perugia, Rapajc akhirnya hijrah ke Fenerbahce pada 2000. Dia memang tidak lama bermain di Serie A dan itu barangkali jadi alasan kenapa namanya tidak begitu tenar. Namun, siapa pun yang pernah menyaksikan dia berlaga bakal kesulitan untuk tidak terpesona.
ADVERTISEMENT
4) Tomas Locatelli
Tomas Locatelli tidak punya hubungan darah dengan Manuel Locatelli meskipun mereka sama-sama pernah menjadi bagian dari Milan. Jika Manuel adalah pemain Milan era 2010-an, Tomas melakoninya dua dekade sebelumnya.
Locatelli menjadi pemain Milan untuk dua musim, 1995/96 dan 1996/97, tetapi dia tidak mencapai puncak karier di sana, melainkan di Udinese. Berkat kiprahnya di Udinese, dia diganjar dua caps Timnas Italia.
Pada akhir dekade 1990-an, tepatnya pada musim 1997/98 dan 1998/99, Udinese sempat jadi ancaman serius bagi Magnificent Seven di Serie A. Pada 1997/98 mereka bahkan sukses finis di posisi ketiga. Kala itu Locatelli menjadi kreator bagi tim tersebut.
Namun, usia era keemasan Locatelli itu tidak panjang. Pada 2000 dia pindah ke Bologna untuk bergabung dengan pemain-pemain macam Gianluca Pagliuca, Beppe Signori, Carlo Nervo, dan Julio Cruz. Dia bertahan selama lima tahun di sana sebelum pindah ke Siena yang jadi klub terakhirnya di level teratas sepak bola.
ADVERTISEMENT
5) Giovanni Stroppa
Tanpa Zemanlandia, pembicaraan soal Serie A era 1990-an menjadi invalid. Secara teknis, Zemanlandia sebenarnya merupakan judul film dokumenter yang menceritakan sensasi Foggia di bawah arahan Zdenek Zeman, tetapi di kemudian hari ia menjadi istilah generik untuk menyebut taktik ultraofensif milik pelatih asal Republik Ceko tersebut.
Giovanni Stroppa, yang merupakan jebolan akademi Milan, adalah bagian dari tim tersebut. Dikenal doyan berpindah klub, Stroppa hijrah ke Foggia dari Lazio setelah gagal memenangi pertarungan memperebutkan posisi inti melawan Paul Gascoigne.
Stroppa mencapai puncak kariernya bersama Foggia. Meski era keemasan itu cuma berusia setahun, Stroppa tetap mendapat ganjaran yang layak lewat panggilan ke Timnas Italia arahan Arrigo Sacchi.
Sebagai seorang gelandang serang, Stroppa dikenal akan kecepatan, teknik, dan ketangkasannya. Namun, itu semua jadi membuat dirinya rentan akan cedera. Itulah yang akhirnya membunuh karier Stroppa. Terakhir kali dia bermain di Serie A adalah bersama Brescia pada 2000 sebelum pensiun lima tahun setelahnya di Chiari.
ADVERTISEMENT
6) Lamberto Zauli
Di tengah dominasi klub-klub raksasa, Serie A era 1990-an rupanya masih punya tempat untuk kejutan. Pada Coppa Italia 1996/97, Vicenza yang dilatih Francesco Guedolin sukses menjadi juara usai menumbangkan Napoli di final. Keberhasilan itu pun lantas membawa Vicenza ke Piala Winners di mana mereka akhirnya dihentikan oleh Chelsea pada babak semifinal.
Nah, dari tim Vicenza yang mengejutkan itu, satu nama paling menonjol adalah Lamberto Zauli. Dengan postur mencapai 188 cm, Zauli dijuluki 'Zidane-nya Serie B' karena gaya bermainnya memang mirip dengan sang legenda Prancis. Zauli flamboyan, kaya teknik, dan punya fisik yang kuat. Tembakannya pun begitu akurat.
Semua kompetisi punya pemain seperti Zauli. Seorang penyihir sepak bola yang level kebintangannya cuma cukup untuk bersinar bersama tim kecil. Sampdoria dan Bologna adalah klub terbesar yang pernah diperkuat Zauli dan itulah mengapa memori kolektif akan dirinya cuma dimiliki oleh para penyokong tim yang pernah dia perkuat.
ADVERTISEMENT
7) Eugenio Corini
Eugenio Corini adalah bagian penting dari Chievo yang mengejutkan Serie A pada 2001. Ketika itu usianya sudah 31 tahun dan dia sudah mengalami transformasi.
Bersama Chievo, Corini bermain sebagai seorang gelandang bertahan yang berkolaborasi bersama Simone Perrotta. Namun, aslinya dia adalah gelandang serang. Sama seperti Andrea Pirlo, Corini berpindah posisi karena fisiknya tak cukup bagus untuk bermain di belakang striker.
Dikenal karena eksekusi bola-bola matinya, Corini memulai karier bersama Brescia pada 1986 dan dia bertahan di sana sampai 1990 ketika dibeli oleh Juventus. Dua tahun bersama Juventus, Corini dijual ke Sampdoria. Pada masa inilah dia menderita banyak cedera yang akhirnya membuat dia terpaksa berganti posisi.
ADVERTISEMENT
Awalnya, Corini memulai karier sebagai regista bersama Hellas Verona. Setelah itu giliran Chievo yang merasakan sentuhannya. Setelah lima musim di Chievo, dia memutuskan hijrah ke Palermo untuk mengantarkan klub tersebut jadi kuda hitam baru di Serie A. Pencapaian terhebatnya adalah mengantarkan Rosanero bermain di Piala UEFA selama dua musim berturut-turut.
Corini kemudian pindah ke Torino pada 2007. Dua tahun kemudian, di usia 39 tahun, dia gantung sepatu.