Union Berlin si Pembangkang

2 September 2019 15:06 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Union Berlin merayakan kemenangan atas Borussia Dortmund. Foto: Reuters/Annegret Hilse
zoom-in-whitePerbesar
Union Berlin merayakan kemenangan atas Borussia Dortmund. Foto: Reuters/Annegret Hilse
ADVERTISEMENT
"Ne scheiße, wir steigen auf!"
Lucien Favre tampak seperti baru saja melihat hantu. Matanya terbelalak, bibirnya sedikit terbuka. Ada yang ingin dia ucapkan, entah apa, tetapi kata-kata itu berhenti di kerongkongannya. Favre terdiam, tercekat. Dia tidak percaya gawang Roman Buerki kebobolan untuk kali ketiga.
ADVERTISEMENT
Borussia Dortmund adalah kandidat terkuat untuk menjadi juara Bundesliga musim 2019/20 ini. Mereka menjalani musim panas yang bagus dengan keberhasilan merekrut nama-nama besar. Mereka pun mengawali musim di dengan sangat apik lewat kemenangan 5-1 atas Augsburg dan 3-1 atas Koeln.
Namun, itu semua tidak ada artinya ketika mereka harus bertamu ke Stadion An der Alten Forsterei, Sabtu (31/8/2019) lalu. Di arena yang ukurannya cuma kurang lebih seperempat dari Westfalenstadion itu Dortmund dipaksa menyerah oleh tuan rumah, FC Union Berlin, dengan skor meyakinkan 1-3.
Bagi Dortmund, kekalahan itu berarti satu hal. Ia merupakan pengingat bahwa musim masih panjang dan mereka masih harus bekerja ekstra keras untuk bisa menjadi juara. Mereka tidak bisa berpuas diri hanya karena berhasil merekrut pemain-pemain hebat dan menang di dua pertandingan pertama.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, bagi Union, kemenangan itu berarti segalanya. Itu adalah tiga poin pertama yang berhasil mereka raih di ajang Bundesliga. Musim 2019/20 ini, Union untuk kali pertama naik ke level tertinggi kompetisi sepak bola Jerman dan baru di pertandingan ketiga mereka sukses memetik kemenangan.
Pada pertandingan debutnya mereka dihajar 0-4 oleh RasenBallsport Leipzig dan pada pertandingan kedua ditahan imbang oleh Augsburg. Third time's a charm, kata orang, dan di sini terlihat betul bagaimana Union berprogres. Setelah kalah, mereka bermain imbang, baru kemudian menang.
Union pun berpesta, secara harfiah. Pelatih mereka, Urs Fischer, seusai laga mengatakan bahwa dirinya bakal mengizinkan para pemain untuk merayakan kemenangan bersejarah itu. "Malam ini kami akan menikmati sebotol atau dua botol bir. Kami tak yakin bisa menjalani sesi analisis video malam ini," ucapnya.
ADVERTISEMENT
Kemenangan itu tidak cuma spesial karena merupakan yang pertama di Bundesliga dan diraih atas klub sebesar Dortmund. Lebih dari itu, kemenangan tersebut adalah bukti bahwa Union Berlin tidak bisa dicoret begitu saja. Mereka memang tim kecil tetapi nyali mereka sama sekali tidak kerdil.
***
Nyali memang sudah lama jadi modal Union dalam menjalani hidup sebagai sebuah klub sepak bola. Mereka lahir di tempat yang begitu tidak menyenangkan dan satu-satunya cara untuk melewati itu semua adalah dengan memberanikan diri sebisa mungkin.
Union Berlin yang ada sekarang sebenarnya belum berumur panjang. Akan tetapi, sejarah nama Union sendiri bisa dilacak sampai 1906 ketika sekawanan pekerja distrik Oberschoeneweide, di Berlin sebelah timur, membentuk SC Union 06 Oberschoeneweide.
ADVERTISEMENT
Suporter Union Berlin memadati Stadion An der Alten Forsterei. Foto: AFP/Odd Andersen
Selain itu, julukan dan slogan Union juga sudah muncul sejak periode pertama ini. Union diberi julukan Schlosserjungs (Kawanan Pandai Besi) karena seragam mereka yang berwarna biru-biru mengingatkan orang pada seragam pekerja pabrik besi. Dari sini pula slogan mereka, Eisern Union, atau Besi Union, muncul.
Dengan nama SC Union 06 Oberschoeneweide, mereka cukup disegani di Berlin. Menjadi juara di level regional bukan hal asing bagi mereka. SC Union bahkan sempat berlaga di kompetisi nasional dan mencapai babak final. Sayang, kala itu, pada 1923, mereka harus mengakui keunggulan Hamburger.
Kehebatan SC Union di kancah regional ini terus berlanjut sampai Nazi berkuasa. Namun, menyusul kekalahan Jerman dalam Perang Dunia II, Tentara Sekutu yang menduduki Berlin membubarkan semua organisasi di kota tersebut, termasuk klub-klub sepak bola seperti Union.
ADVERTISEMENT
Sejak 1950, ketika Jerman sudah terbelah menjadi Barat dan Timur, SC Union sebenarnya sudah mencoba untuk membangkitkan diri dengan berbagai nama. Dalam upaya-upaya tersebut, satu hal yang tak pernah mereka khianati adalah akar kelas pekerja klub. Ini pula akhirnya yang membuat FC Union Berlin bisa berdiri pada 1966.
Di negara-negara komunis, klub-klub sepak bola biasanya memang berafiliasi dengan pabrik dan instansi tertentu. Di Uni Soviet, misalnya, Torpedo Moskva adalah klub para pekerja pabrik mobil ZiL, Dynamo Moskva adalah klub kepunyaan polisi, dan CSKA Moskva adalah milik tentara.
Hal serupa berlaku di Berlin Timur. Bedanya, FC Union bukanlah milik pabrik tertentu, merupakan kepunyaan serikat pekerja kota pimpinan Herbert Warnke. Atas insiasi Warnke, Union Berlin dilahirkan kembali untuk para pekerja di Berlin. Kali ini, alih-alih biru, merah dan putih dipilih untuk menjadi warna seragam.
ADVERTISEMENT
Herbert Warnke (kanan) inisiator pendirian Union Berlin. Foto: Bild/Wikimedia Commons
Hanya dua tahun setelah didirikan Union sudah bisa langsung mendulang prestasi ketika mengalahkan Carl Zeiss Jena—milik pabrik kaca Carl Zeiss—dalam final FDGB-Pokal (DFB-Pokal versi Jerman Timur, red). Namun, prestasi Union di atas lapangan hanya mentok sampai di sana.
Union adalah tim semenjana di ajang Oberliga, kompetisi level teratas Jerman Timur. Sampai kompetisi itu bubar jalan pasca-unifikasi Jerman, Union tidak pernah bisa berbicara banyak di lapangan. Paling banter, mereka cuma bisa finis di papan tengah.
Dynamo Dresden adalah klub pertama yang menjadi kekuatan dominan di Oberliga. Klub ini dibentuk oleh Kepolisian Jerman Timur dan diperkuat oleh pemain-pemain terbaik dari sebelas klub polisi berbeda. Dengan skuat seperti itu mereka mampu menjadi penguasa sepak bola Jerman Timur.
ADVERTISEMENT
Situasi itu membuat Erich Mielke, Kepala Stasi (Kementerian Keamanan Negara, red), berang. Dia tidak suka ada klub dari luar Berlin yang mampu melakukan apa yang dilakukan Dynamo Dresden. Sebagai respons, Mielke memindahkan pemain-pemain dan pelatih Dynamo Dresden ke Berlin untuk membentuk Dynamo Berlin.
Dynamo Berlin inilah yang akhirnya menjadi alasan mengapa Union Berlin jadi tidak asing lagi dengan perjuangan. Dengan bantuan Mielke dan Stasi, Dynamo Berlin sanggup menjadi penguasa di Oberliga. Mereka tak segan menyogok dan mengintimidasi wasit untuk meraih apa yang diinginkan.
Tak heran kalau tidak ada yang bisa menghentikan Dynamo Berlin di lapangan. Meski demikian, di luar lapangan ceritanya lain lagi. Dynamo Berlin cuma memiliki sedikit pendukung karena mereka yang berada di sisi timur Berlin Timur sudah pasti merupakan pendukung Union. Sementara, mereka yang tinggal di sisi barat kebanyakan adalah penyokong lawas Hertha BSC.
ADVERTISEMENT
Kepala Stasi, Erich Mielke. Foto: Bild/Wikimedia Commons
Karena menyaksikan pertandingan Hertha adalah sebuah kemustahilan, maka Union pun menjadi klub kesayangan orang-orang yang muak dengan keculasan Dynamo. Union menjadi sebenar-benarnya klub rakyat di mana semua golongan bercampur baur di sana, mulai dari anak punk sampai pelajar dan mahasiswa.
Sebagai pendukung Union mereka tahu bahwa adalah liyan di kotanya sendiri. Mereka tidak sepakat dengan cara pemerintah menjalankan negara. Mereka lantas menggunakan tribune stadion sebagai podium untuk berorasi menentang pemerintah, utamanya ketika Union berhadapan dengan Dynamo.
Secara umum, tribune stadion adalah tempat yang aman bagi mereka, walaupun ada beberapa kasus di mana Stasi akhirnya menciduk sejumlah suporter Union Berlin dan menjebloskannya ke tahanan. Namun, terlepas dari itu, resistensi selalu terjaga. Kata mereka, lebih baik mampus daripada jadi babi Stasi.
ADVERTISEMENT
***
Rivalitas antara Dynamo dan Union ini berlangsung sampai akhirnya Tembok Berlin diratakan dengan tanah. Praktis, sejak saat itu efek Stasi sudah tidak ada lagi di Dynamo dan klub itu pun akhirnya terus tenggelam. Di sisi lain, Union sendiri sibuk berusaha untuk bertahan hidup.
Pada 1993, Union mendapat promosi dari Regionalliga ke Bundesliga 2. Namun, mereka tidak bisa berkompetisi di sana karena tidak punya uang. Union sudah 'berusaha' dengan memalsukan surat jaminan dari bank tetapi 'usaha' itu tidak berhasil. Mereka pun harus terus berkubang di kompetisi regional tersebut.
Delapan tahun sesudah itu Union baru bisa benar-benar promosi ke Bundesliga 2. Selain mampu meraih promosi, Union juga sanggup menembus final DFB-Pokal dengan menyingkirkan klub-klub seperti Bochum dan Borussia Moenchengladbach. Sayangnya, di final mereka kalah 0-2 dari Schalke 04.
ADVERTISEMENT
Keberhasilan mencapai final DFB-Pokal itu membawa Union Berlin ke Kualifikasi Piala UEFA. Setelah menang agregat 4-1 atas FC Haka dari Finlandia, mereka kemudian disingkirkan wakil Bulgaria, Litex Lovech. Akan tetapi, masa-masa keemasan ini tidak bertahan lama karena pada 2004 mereka kembali harus turun ke Regionalliga.
Degradasi yang dialami pada 2004 ini kemudian bermuara pada problem finansial baru. Union tidak mampu membayar jaminan senilai 1,46 juta euro kepada DFB untuk ikut serta di Regionalliga. Mereka pun terancam diturunkan ke kompetisi amatir.
Di sinilah kemudian sebuah kampanye unik berhasil menyelamatkan klub. Dipimpin presiden baru Dirk Zingler, yang sampai sekarang masih menjabat, para suporter Union menyelenggarakan donor darah massal untuk menggalang dana. Kampanye ini diberi nama 'Bluten fuer Union' atau 'Berdarah untuk Union'.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, uang pun terkumpul karena di Jerman orang dibayar untuk mendonorkan darahnya. Dengan transfusi ini Union pun bisa bertahan di Regionalliga sembari menunggu kesempatan untuk kembali merangsek masuk Bundesliga 2.
Namun, bukannya kembali ke Bundesliga 2, Union justru terdegradasi ke divisi empat, alias kompetisi semi-profesional, pada musim berikutnya. Pada titik inilah Zingler harus berjudi. Dia mempertahankan skuat profesionalnya untuk mengarungi kompetisi ini dan Union pun akhirnya langsung kembali ke Regionalliga.
Celakanya, masalah tidak berhenti di situ. Pada 2008, masih di Regionalliga, Union mendapati Stadion An der Alten Forsterei yang sudah berdiri sejak 1920 itu berada dalam kondisi mengenaskan. Mereka tidak punya pilihan selain merenovasi stadion tersebut. Persoalannya, Union tidak memiliki uang untuk melakukan renovasi.
ADVERTISEMENT
Tampak depan Stadion An der Alten Forsterei. Foto: AFP/John Macdougall
Lagi-lagi, di sini para suporter bergerak. Tahu bahwa klubnya tidak punya uang, mereka berinisiatif untuk melakukan renovasi sendiri. Dipimpin oleh enam orang tenaga profesional, 2.300 suporter Union bergotong royong dalam proyek yang menghabiskan total 140 ribu jam kerja.
Dua aksi suporter itu pada akhirnya membuat klub bisa membangun fondasi yang lebih solid. Maka, setelah promosi ke Bundesliga 2 pada 2009, Union tak pernah lagi turun kelas. Bahkan, sepuluh tahun berselang mereka akhirnya mampu mewujudkan apa yang sebelumnya tak berani diimpikan: promosi ke Bundesliga.
Prospek untuk promosi ke Bundesliga itu pertama kali muncul pada musim 2016/17 dan ketika itu para suporter benar-benar tidak percaya bahwa Union bisa mewujudkan itu. Dari sana ucapan 'Ne scheiße, wir steigen auf!' ('Anjir, kita naik, nih!') muncul. Menyusul dua hasil imbang melawan Stuttgart di play-off musim 2018/19, Union pun mendapat promosi.
ADVERTISEMENT
***
Union Berlin bukan klub sepak bola biasa. Lebih dari itu, mereka adalah sebuah komunitas. Semua keputusan diambil setelah melalui proses dialog, termasuk dalam rekrutmen pemain. Sebagai contoh, untuk menghadapi musim pertamanya di Bundesliga, Fischer ingin merekrut penyerang baru tetapi untuk itu dia bertanya dulu kepada para pemainnya.
Di level manajemen pun begitu. Zingler, meski berstatus sebagai presiden klub, tidak pernah mengambil kebijakan sepihak. Segala hal, termasuk penentuan harga tiket, dia putuskan setelah bermusyawarah dengan suporter lain. Ini jadi memungkinkan karena Zingler sendiri merupakan suporter klub. Dia paham kultur klub dan itu semua dia pertahankan.
Dengan budaya seperti ini, Union Berlin pun menjadi klub yang unik. Sulit sekali mencari padanan mereka di tengah industri sepak bola yang semakin lama semakin tidak peduli terhadap keberadaan suporter sebagai jiwa bagi sebuah klub.
ADVERTISEMENT
Seorang suporter Union Berlin membentangkan syal Bluten fuer Union, alias Berdarah untuk Union. Foto: AFP/Tobias Schwarz
Pada pertandingan Bundesliga pertama menghadapi RB Leipzig, kekuatan komunitas itu sangat terasa lewat dua aksi yang mereka tunjukkan. Pertama, ada aksi mengheningkan cipta selama 15 menit sebagai bentuk protes terhadap eksistensi Leipzig yang sangat berbau korporasi.
Kedua, ada aksi mengajak orang-orang yang sudah meninggal ke stadion. Pada laga itu sebanyak 22.467 lembar tiket pertandingan terjual. Padahal, kapasitas stadion sendiri hanya 22.012 tempat duduk. Ada 455 tiket yang dibeli untuk para suporter Union Berlin yang meninggal sebelum tim meraih promosi ke Bundesliga.
Para suporter yang sudah tiada itu muncul dalam wujud poster persegi bergambar wajah mendiang saat tersenyum. Di bagian bawah poster tertera tulisan 'Endlich dabei' yang kurang lebih artinya 'Akhirnya kita sampai di sini'. Poster-poster tadi ditampilkan sebelum pertandingan ketika para suporter melantunkan lagu 'Eisern Union' gubahan penyanyi punk kawakan, Nina Hagen.
ADVERTISEMENT
Ikatan komunitas ini berhasil membawa Union sampai ke puncak. Mereka pun sudah menunjukkan kebolehannya dengan mengalahkan klub sebesar Dortmund. Akan tetapi, di sini pun problem belum sepenuhnya teratasi.
Christian Arbeit, petugas pers Union Berlin, suatu kali pernah berkata bahwa klub ini, atau klub mana pun, tidak akan bisa bertahan di level teratas sepak bola hanya dengan berjualan bir dan sosis. Dengan kata lain, akan ada suatu masa ketika Union harus berkompromi untuk bisa mempertahankan diri.
Suporter Union Berlin sendiri sampai sejauh ini tidak alergi dengan komersialisasi. Mereka hanya ingin agar komersialisasi itu dilakukan sewajarnya saja. Pertanyaannya, sejauh manakah batas wajar itu?