Versi Terbaik Serge Gnabry

10 Oktober 2019 17:34 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Serge Gnabry is stirring the pot. Foto: AFP/Ina Fassbender
zoom-in-whitePerbesar
Serge Gnabry is stirring the pot. Foto: AFP/Ina Fassbender
ADVERTISEMENT
Sepak bola, bagi Serge Gnabry, datang dengan tiba-tiba.
Gnabry kecil belum genap berusia lima tahun ketika ayahnya, Jean-Hermann, dan ibunya, Brigit, dia bikin pusing tujuh keliling. Di usia semuda itu energinya tak pernah berhenti meletup. Di rumah, entah berapa barang yang sudah dia pecahkan dengan bola yang dia sepak tanpa kenal lelah.
ADVERTISEMENT
Jean-Hermann pernah bermain sepak bola di masa mudanya. Akan tetapi, dia bukan pemain terbaik. Dia hanya pernah merasakan kompetisi di level amatir. Namun, pria kelahiran Pantai Gading itu tahu persis seperti apa gatalnya kaki ketika bola tak berada dalam jangkauan.
Melihat putranya sudah tidak bisa lagi dikungkung di dalam rumah, Jean-Hermann memutuskan untuk mengaktifkan lagi jaringan lawasnya di TSV Weissach, sebuah klub kecil di Kota Stuttgart. Dulu dia pernah bermain di sana dan kepada klub itulah Gnabry kecil dia pasrahkan.
Sebenarnya, Gnabry masih terlalu muda ketika itu. Usianya belum cukup bahkan untuk masuk ke akademi Weissach. Namun, yang dihadapi Jean-Hermann dan Brigit kala itu adalah situasi darurat. Akhirnya, Weissach pun bersedia menampung Gnabry di akademinya.
ADVERTISEMENT
Keputusan Weissach itu tidak salah. Sebab, Gnabry memang memiliki bakat spesial. Di usia empat setengah tahun dia sudah bermain bersama anak-anak sekolah dasar. Dengan begitu pun dia tetap jadi yang paling menonjol. Suatu kali, dia bahkan pernah mencetak empat gol dalam satu pertandingan.
Terhitung sejak bergabung dengan Weissach, terhitung sudah hampir dua dekade Gnabry berkecimpung di sepak bola. Namun, selama itu dia sama sekali tidak pernah bisa mengulangi keberhasilan mencetak empat gol dalam satu pertandingan. Sampai akhirnya, pertandingan di London Utara itu tiba.
Rabu, 2 Oktober 2019, Gnabry bertandang ke markas Tottenham Hotspur untuk menjalani pertandingan fase grup Liga Champions menghadapi Bayern Muenchen. Pada laga itu sebenarnya Bayern tidak bisa disebut sebagai favorit karena biar bagaimana pun Tottenham adalah finalis musim lalu.
ADVERTISEMENT
Bahkan, sebelum pertandingan, pelatih Niko Kovac sempat berkata bahwa dirinya tidak mengincar kemenangan di Tottenham Hotspur Stadium. Pria Kroasia yang mulai musim lalu membesut Bayern itu hanya ingin anak-anak asuhnya memetik poin dari sana.
Namun, yang terjadi sangat jauh dari ekspektasi. Bayern menang telak 7-2 dan Gnabry jadi bintang lapangan. Empat gol dia cetak dari lima sepakan yang dia lepaskan. Dua gol pertama dia lesakkan dalam kurun waktu 112 detik, sementara dua gol berikutnya dia ceploskan di 10 menit penghabisan.
Gnabry pun, tiba-tiba saja, menjadi bintang sepak bola baru. Sebelumnya, kehebatannya memang sudah tampak. Namun, baru kali itu dia benar-benar menggila. Pemuda 24 tahun itu pun disebut-sebut sebagai harapan baru Bayern dan itu sama sekali tidak berlebihan.
ADVERTISEMENT
Prestasi Gnabry itu pun berlanjut ke level internasional. Kamis (10/10) dini hari WIB, dia sukses mencetak satu gol ke gawang Argentina. Itu membuat dirinya jadi pemain tercepat yang bisa mengemas 10 gol bagi Timnas Jerman, mengalahkan Miroslav Klose. Jika Klose perlu 13 laga, Gnabry hanya butuh 11.
Sepintas, apa yang dia capai saat ini sangatlah masuk akal mengingat bakat besar yang dia tampilkan saat masih bocah. Akan tetapi, perjalanan Gnabry sesungguhnya tidak semulus itu. Malah, boleh dibilang, kesuksesan seperti datang tiba-tiba kepadanya.
***
Gnabry kecil adalah seorang nomad sepak bola dan Jean-Hermann bertanggung jawab untuk itu. Sang ayah tidak pernah puas akan pendidikan sepak bola yang diterima Gnabry sehingga secara konstan dia memindahkannya dari satu akademi ke akademi lain.
ADVERTISEMENT
Hanya satu tahun Gnabry menimba ilmu di Weissach. Berikutnya, dalam kurun enam tahun, empat kali Gnabry harus berpindah klub. Dari Weissach, dia pindah ke TSF Ditzingen, kemudian ke GSV Hemmingen, lalu ke SpVgg Feuerbach, sampai akhirnya ke Suttgart Kickers.
Stuttgart Kickers adalah klub terbesar kedua di Stuttgart, kota kelahiran Gnabry. Klub itu punya reputasi bagus dalam mengorbitkan pemain-pemain macam Joshua Kimmich, Sami dan Rani Khedira, sampai Timo Werner. Di situlah Gnabry kecil merasakan pendidikan sepak bola yang benar untuk kali pertama.
Kedisiplinan adalah harga mati di akademi Kickers. Dalam tulisannya di The Athletic, Raphael Honigstein menjelaskan bagaimana bos akademi Kickers, Thomas Albeck, sangat tidak menyukai tato dan sepatu berwarna. Di sini, pendidikan sepak bola diberikan semurni-murninya.
ADVERTISEMENT
Gnabry banyak belajar dari masa-masanya di Kickers. Namun, tidak lama dia berada di sana karena setahun kemudian VfB Stuttgart datang merayu. Bersama raksasa Jerman itu barulah Gnabry menemukan stabilitas. Total, lima tahun dia habiskan belajar di akademi milik raksasa Jerman itu.
Menjadi siswa akademi Stuttgart lantas membuka kesempatan bagi Gnabry untuk menampilkan kemampuannya ke audiens yang lebih luas. Inilah yang terjadi dalam sebuah pertandingan sepak bola dalam ruangan pada 2009 silam. Usia Gnabry ketika itu 14 tahun.
Pertandingan itu rupanya disaksikan seorang pemandu bakat asal Inggris bernama Peter Clark. Pria yang pernah bermain sepak bola bersama Carlisle United itu berada di sana mewakili Arsenal. Clark kepincut menyaksikan Gnabry tetapi dia tak terburu-buru memberi tawaran.
ADVERTISEMENT
Alih-alih mengundang Gnabry untuk bergabung ke Arsenal, Clark memberi tawaran untuk melakukan trial terlebih dahulu. Pada trial tersebut Gnabry sukses menunjukkan kemampuan terbaik untuk meyakinkan akademi Arsenal. Meski demikian, dia tidak bisa langsung pindah ke London.
Serge Gnabry dalam laga persahabatan Arsenal vs Nagoya Grampus. Foto: AFP/Toshifumi Kitamura
Usia menjadi alasan. Di usia semuda itu dia memang tidak bisa pindah ke klub asing. Namun, batasan itu tidak menghalangi Gnabry untuk berguru di akademi The Gunners. Gnabry mempertahankan status sebagai siswa di Stuttgart sampai 2011 tetapi selalu mengunjungi Colney di masa liburan untuk berlatih.
Kepindahan ke Arsenal itu pun, meski sempat tertunda, akhirnya terwujud. Bagi Gnabry, awalnya begitu mudah. Dia hanya butuh satu laga di level U-16 untuk dipromosikan ke kelompok umur 18 tahun. Akan tetapi, pada titik ini cobaan mulai datang.
ADVERTISEMENT
Gnabry masih sangat muda dan tubuhnya belum berkembang dengan baik. Di situasi itu dia harus berhadapan dengan pemain-pemain yang fisiknya sudah lebih matang. Itu membuat dirinya kesulitan. Bahkan, seorang pelatih Arsenal U-18 sampai menyebut dirinya kurang keras dalam bekerja.
Perlahan, Gnabry mampu melewati level itu sampai akhirnya dipercaya untuk bergabung dengan tim senior, di mana dia bertemu dengan pemain-pemain maca Per Mertesacker, Robin van Persie, Mesut Oezil, dan Lukas Podolski. Para pemain itu banyak membantu perkembangan Gnabry.
Gnabry pun akhirnya dipercaya turun sebagai gelandang tengah di pertandingan Premier League melawan Norwich City dan Liga Champions melawan Schalke 04. Ini terjadi pada musim 2012/13. Sayangnya, Gnabry tampil buruk dan Arsenal kalah dalam dua laga tersebut.
ADVERTISEMENT
Dua kekalahan itu membuat Gnabry sulit tidur. Selain itu, dia juga harus menerima omelan dari ayahnya yang menilai Gnabry semestinya bisa berbuat lebih baik lagi. Ini adalah cobaan besar keduanya selama menjadi bagian dari Arsenal.
Cobaan ketiga hadir pada musim 2014. Lututnya mengalami inflamasi dan Gnabry harus absen sampai enam pekan. Setelah pulih, dia mendapati bahwa tak ada lagi tempat baginya di skuat Arsenal. Gnabry pun harus rela dipinjamkan ke klub yang lebih kecil.
Serge Gnabry di Olimpiade 2016. Foto: AFP/Gustavo Andrade
West Bromwich Albion asuhan Tony Pulis akhirnya dipilih oleh Gnabry. Celakanya, masa peminjaman ini pun berakhir mengenaskan. Selama enam bulan, dia cuma bermain dalam 12 menit di Premier League. Pulis pun berkata bahwa Gnabry belum siap berlaga di level tertinggi.
ADVERTISEMENT
Pulis boleh saja berkata demikian tetapi Gnabry tak pernah mendapat penjelasan memuaskan. Sesudah itu, dia pun mesti kembali ke Arsenal yang pada titik itu tidak yakin akan masa depannya. Saat itu kontrak Gnabry di Arsenal hanya menyisakan satu musim.
Tak lama setelah itu barulah Gnabry mendapatkan kesempatan unjuk gigi. Di Olimpiade Rio 2016 dia masuk skuat Jerman asuhan Horst Hrubecsch. Sepanjang turnamen, dia tampil trengginas dengan mencetak enam gol. Jerman pun finis sebagai runner-up di ajang tersebut.
Penampilan apik Gnabry di Olimpiade itu tak bisa dilepaskan dari saran yang diberikan Mertesacker, Oezil, dan Podolski. Tak lupa, asisten pelatih Steve Bould juga memberinya banyak masukan. Lagi-lagi, secara tiba-tiba, Gnabry menjelma jadi sosok yang benar-benar lain.
ADVERTISEMENT
Melihat performa Gnabry, Arsenal sebenarnya ingin mempertahankannya. Namun, di sisi lain, Gnabry sendiri sadar bahwa yang dibutuhkannya adalah menit bermain dan Arsenal tak bisa menggaransi itu. Maka, pada musim panas yang sama, Gnabry pun pergi ke Werder Bremen.
Bersama Werder Bremen, Gnabry mulai menemukan bentuk permainan terbaik. Itu bisa terjadi karena di Bremen dirinya secara konsisten bermain sebagai penyerang sayap. Gnabry memang serbabisa, tetapi bukan berarti dia nyaman sepenuhnya ditempatkan di mana saja.
Satu musim lamanya Gnabry bermain untuk Bremen. Kepindahan ini sendiri, konon, diprakarsai oleh Bayern Muenchen. Itu terbukti ketika pada musim 2017/18 Die Roten mengaktifkan klausul pelepasan senilai 8 juta euro untuk membelinya.
Serge Gnabry saat memperkuat Hoffenheim. Foto: AFP/Miguel Riopa
Namun, Gnabry tidak langsung bermain untuk Bayern. Pada 2017/18 itu dia dipinjamkan terlebih dahulu ke Hoffenheim. Total, selama dua musim di Bremen dan Hoffenheim, Gnabry tampil 53 kali. Dari sana dia mencetak 22 gol dan mencatatkan 9 assist. Bayern pun menariknya kembali pada musim 2018/19.
ADVERTISEMENT
Di Bayern sendiri Gnabry tidak langsung menjadi pilihan utama karena harus bersaing dengan nama-nama besar macam Franck Ribery, Arjen Robben, Thomas Mueller, serta Kingsley Coman. Namun, Gnabry tak butuh waktu lama untuk merebut tempat di tim utama.
Gnabry tiba di Bayern pada saat yang tepat. Pada akhir musim 2018/19, Robben menyatakan pensiun dan Ribery hijrah ke Fiorentina. Sementara itu, performa Mueller terus menurun dari musim ke musim. Akhirnya, satu tempat di flank Bayern pun resmi jadi milik Gnabry saat ini.
***
Saat ini usia Gnabry baru menyentuh angka 24. Untuk ukuran pesepak bola, dia belum bisa dikategorikan masuk dalam usia matang. Artinya, kesempatan untuk berkembang masih terbuka lebar di hadapan Gnabry. Terlebih lagi, dia berada di lingkungan yang tepat.
ADVERTISEMENT
Bagi Gnabry, kesempatan seperti selalu datang secara tiba-tiba. Tiba-tiba saja dia masuk akademi sepak bola, tiba-tiba saja dia mendapat kesempatan unjuk gigi di Olimpiade, tiba-tiba saja dia menjadi salah satu bintang sepak bola Jerman bersama Bayern Muenchen.
Namun, di balik itu semua, tentunya ada kerja keras yang selalu mengiringi. Gnabry tak pernah berhenti berusaha. Dia pun tak pernah malu bertanya. Untuknya, sepak bola adalah sebuah bentuk tanggung jawab kepada dirinya sendiri.
Pernah ada suatu titik di masa remajanya ketika Gnabry kudu memilih antara atletik dan sepak bola. Pada akhirnya, atletik dia tinggalkan dan sekarang dia hanya memiliki sepak bola. Gnabry pun tidak punya pilihan lain kecuali menjadi versi terbaik dirinya sendiri.
ADVERTISEMENT