Paolo Di Canio

Vivere Pericoloso: Kisah Dua Pemberontak Italia di Sheffield Wednesday

7 April 2020 16:54 WIB
comment
29
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Benito Carbone. Foto: Getty Images/Laurence Griffiths
zoom-in-whitePerbesar
Benito Carbone. Foto: Getty Images/Laurence Griffiths
David Pleat tiba di Celtic Park dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi dia kecewa berat karena urung menyaksikan pemain yang jadi incarannya. Namun, di sisi lain, petualangan singkatnya di Glasgow pada musim panas 1997 itu membuat Pleat makin yakin akan kemampuan sang pemain.
Bulan lalu, Pleat menceritakan pengalaman ini kepada The Athletic. Pemain yang ketika itu diincarnya adalah striker Celtic, Paolo Di Canio. Pada musim sebelumnya, pemain asal Italia itu sukses membuat publik Paradise—demikian suporter Celtic menyebut Celtic Park—jatuh hati.
Di Canio hijrah dari Milan ke Celtic pada 1996. Selama satu musim dia turun bermain 37 kali dan menyumbangkan 15 gol. Namun, bukan cuma itu yang membuat pendukung Celtic mencintainya. Sikap agresifnya kepada pemain Rangers di Old Firm Derby membuat Di Canio jadi pujaan.
Pleat sendiri tidak pernah melihat Di Canio bermain secara langsung. Itulah mengapa dia memutuskan pergi ke Glasgow pada awal Agustus 1997; untuk memastikan bahwa pemain yang dia saksikan di layar kaca sama dengan pemain yang bakal dia amati dengan mata kepala sendiri.
Sebetulnya, Pleat sudah dua kali diperingatkan oleh dua sopir taksi berbeda bahwa Di Canio tidak akan turun membela Celtic pada hari itu. Namun, dia sudah kadung sampai ke Skotlandia dan tidak punya pilihan lain kecuali tetap datang ke Celtic Park, apa pun hasilnya.
Akhirnya, Pleat benar-benar mendapati kenyataan bahwa Di Canio memang tidak bermain. Di Canio ketika itu baru sembuh dari cedera dan, meskipun telah menjalani tes medis, tetap belum diberi lampu hijau untuk turun gelanggang.
Pleat kemudian memutuskan pulang dan di perjalanan ke bandara, lagi-lagi, sopir taksi yang mengantarnya berbicara mengenai Di Canio. Tiga sopir sekaligus menyatakan bahwa 'Di Canio adalah pemain paling berbakat yang pernah dipunyai Celtic' dan dari situlah Pleat yakin bahwa pilihannya sudah tepat.
Nama Di Canio sebetulnya tidak begitu saja muncul di kepala Pleat. Di balik keputusan itu, ada niat untuk menenteramkan hati seorang pemberontak lain yang tengah gelisah di tim asuhannya, Sheffield Wednesday. Nama pemberontak itu adalah Benito Carbone.
Ketika Pleat mencari Di Canio sampai ke Skotlandia itu, Carbone sudah setahun bermain untuk Sheffield Wednesday. Bersama Fabrizio Ravanelli, Gianfranco Zola, Roberto di Matteo, dan Gianluca Vialli, dia menjadi bagian dari rombongan Italia yang berduyun-duyun menyeberang ke Britania.
Harga Carbone sangat mahal, terutama untuk ukuran Sheffield Wednesday yang masuk kategori tim gurem. Untuk merekrut Carbone dari Internazionale, The Owls harus mengeluarkan uang senilai 3 juta poundsterling. Carbone pun menjadi pemain termahal dalam sejarah Wednesday kala itu.
Sama halnya dengan Zola di Parma, Carbone pun merupakan korban pergantian rezim kepelatihan. Setelah berkiprah cukup apik bersama Torino dan Napoli, Carbone dibeli Inter pada 1995 untuk dijadikan fulkrum serangan.
Di bawah asuhan Ottavio Bianchi dan Luis Suarez, peran itulah yang dijalani oleh Carbone. Sayangnya, Bianchi dan Suarez tak bertahan lama. Pada akhir Oktober 1995, Roy Hodgson ditunjuk Massimo Moratti untuk menangani Nerazzurri.
Kedatangan Hodgson itu membuat Carbone menderita. Sang pelatih adalah advokat setia formasi 4-4-2 sejak dekade 1970-an dan di Inter sikap itu tak berubah. Akibatnya, Carbone pun harus bergeser ke sayap untuk bisa mendapatkan tempat di skuat Hodgson.
Jika dilihat sepintas, Carbone punya perawakan yang cocok untuk dimainkan di sisi sayap. Tubuhnya kecil, kaki-kakinya cepat dan lincah. Carbone pun memiliki kecerdasan yang cukup untuk mengkreasi peluang bagi rekan-rekannya. Akan tetapi, di posisi itu, penampilannya tak optimal.
Akhirnya, memasuki musim 1996/97, Carbone meminta kepada Hodgson untuk kembali memainkannya sebagai seconda punta atau second striker. Hodgson terang saja menolak. Apalagi, pada musim panas 1996 itu Inter baru mendatangkan Youri Djorkaeff dari Paris Saint-Germain.
Pada titik itu Carbone tahu bahwa dia tak lagi punya masa depan bersama Inter. Beruntung, pada sebuah pertandingan Inter di San Siro, Pleat sempat menyaksikan langsung Carbone bermain. Pleat menyukai apa yang dia lihat dan menawari Carbone bergabung. Tanpa pikir panjang, Carbone menerima tawaran itu.
Saat Carbone tiba, belum banyak pemain asing, khususnya dari Eropa daratan, yang berkiprah di sepak bola Inggris, apalagi di klub seperti Sheffield Wednesday. Itulah mengapa ada sedikit kecanggungan dalam cara Wednesday menyambut bintang barunya.
Mereka berusaha keras menunjukkan kepada Carbone bahwa mereka memahami seperti apa karakter orang Italia. Namun, yang terjadi kemudian justru pertunjukan penuh klise. Pada foto resmi Carbone sebagai pemain Wednesday, misalnya, dia diminta berpose dengan semangkuk pasta yang tidak ada sausnya.
Kemudian, pada laga debutnya, Carbone disambut dengan penampilan seseorang menyerupai Luciano Pavarotti menjaga gawang dari tendangan orang-orang yang mengenakan kostum Timnas Italia. Namun, lebih penting dari itu, Carbone merasa diapresiasi di Hillsborough.
Yang jadi masalah bagi Carbone ketika itu adalah ketidakpahamannya akan kultur pesepak bola Inggris. Sampai saat itu, meskipun Premier League sudah digulirkan beberapa tahun, budaya minum-minum di kalangan pesepak bola sama sekali belum lenyap.
Padahal, Carbone datang dari liga yang sudah sangat profesional, di mana pesepak bola tidak akan menyentuh minuman beralkohol setidaknya ketika musim kompetisi berjalan. Keengganan untuk minum inilah yang membuat Carbone kesulitan mencari kawan di Wednesday.
Walau demikian, penampilannya di lapangan tetap terbilang memuaskan. Berpartner dengan Andy Booth di lini depan, Carbone mampu mencetak enam gol dari 25 partai Premier League. Salah satu gol itu dicetaknya lewat tendangan salto ke gawang Newcastle United.
Sheffield Wednesday sendiri, dengan Carbone dan Booth sebagai ujung tombak, mampu menutup musim 1996/97 di urutan ketujuh. Melihat ini, Pleat yakin bahwa tim asuhannya punya potensi besar. Jika Carbone tak lagi kesepian, tentu Wednesday bisa lebih garang lagi. Itulah mengapa dia kemudian memburu Di Canio sampai Glasgow.
Versi singkatnya, Di Canio kemudian tiba di Sheffield. Versi panjangnya, Wednesday harus kembali memecahkan rekor transfer serta menyerahkan seorang pemain kepada Celtic untuk mendapatkan jasa Di Canio.
Benito Carbone mencetak gol salto untuk Sheffield Wednesday di laga melawan Newcastle United. Foto: SWFC
Prediksi Pleat tepat. Kedatangan Di Canio membuat Carbone tak lagi kesepian. Kedua pemain itu menjalin pertemanan yang membuat performa Carbone meningkat. Di musim keduanya bersama Wednesday, Carbone berhasil mengumpulkan 9 gol dan 1 assist pada ajang Premier League.
Di Canio dan Carbone menjadi duet andalan Wednesday, sementara Booth harus terlempar ke bangku cadangan. Maklum saja karena baik Di Canio maupun Carbone sama-sama punya reputasi dan kemampuan yang jauh di atas dirinya.
Soal reputasi, Di Canio sendiri berada di atas Carbone. Ketika datang ke Inggris, dia telah berusia 29 tahun dan sudah berpengalaman membela Lazio, Juventus, serta Milan. Ditambah dengan penampilan impresifnya bersama Celtic, Di Canio pun disambut bak Diego Maradona ketika tiba di markas latihan Wednesday.
Belum apa-apa, Di Canio sudah dibuatkan nyanyian. Yang menyanyi pun bukan para suporter, melainkan pemain Wednesday sendiri. Seakan-akan, mereka semua merupakan penggemar Di Canio yang girang bukan kepalang bisa bermain bersama idolanya.
Pada sesi pemotretan resmi pertama sebagai pemain Wednesday, Di Canio juga diberikan perlakuan yang sama dengan Carbone, yakni diminta berpose dengan makanan. Bedanya, jika Carbone berpose dengan spageti, Di Canio berpose dengan piza sambil ditemani oleh Carbone.
Ada kisah menarik di balik foto Di Canio dan Carbone 'menyantap' piza tersebut. Jadi, ide tersebut muncul secara mendadak. Karena itulah piza yang dipotret bersama Di Canio dan Carbone itu hanyalah piza beku yang bahkan belum benar-benar hilang esnya karena baru saja dibeli dari supermarket.
Meski agak udik, sambutan meriah ini membuat Di Canio jatuh hati pada Wednesday. Padahal, aslinya dia memilih klub ini dengan alasan pragmatis. Menurutnya, dengan bermain di Premier League yang disiarkan secara langsung di Italia, pamornya di kampung halaman tetap terjaga.
Relasi itu kemudian berevolusi. Di Canio membalas kasih sayang itu dengan kekejaman yang dia tunjukkan pada tiap lawan Wednesday. Pada musim 1997/98, Di Canio menjadi topskorer klub dengan catatan 12 gol. Dia disokong dengan baik oleh Carbone yang menorehkan 9 gol.
Meski begitu, performa Sheffield Wednesday secara keseluruhan menurun drastis. Pada musim itu Pleat dipecat karena rentetan hasil buruk dan digantikan oleh eks pelatih Manchester United, Ron Atkinson. Di bawah Atkinson, Wednesday akhirnya selamat dari degradasi.
Sayangnya, meski sukses menyelamatkan klub, Atkinson tidak mendapat kesempatan untuk melanjutkan pekerjaan. Ketika kontrak jangka pendeknya habis pada akhir musim, dia digantikan oleh Danny Wilson, eks pemain yang membela Wednesday dari 1990 hingga 1993.
Wednesday pun memulai musim 1998/99 di bawah Wilson. Secara umum, performa klub lebih stabil pada musim itu, terutama setelah kedatangan Wim Jonk dari PSV Eindhoven. Selain itu, winger Swedia, Niclas Alexandersson, juga akhirnya bisa bermain setelah pada musim 1997/98 absen panjang akibat cedera.
Dengan komposisi baru, Wednesday berhasil finis pada urutan ke-12 dan ini, bagi mereka, bukan catatan yang bagus, bukan pula catatan yang buruk. Biasa saja. Bahkan, musim itu bisa saja segera lenyap dari memori publik apabila tidak ada agresi berlebihan dari Di Canio.
September 1998, Arsenal bertamu ke Hillsborough. Walau berstatus juara bertahan Premier League, The Gunners mejan di pertandingan tersebut. Di sisi lain, Wednesday sendiri tak memiliki cukup artileri untuk membuat Arsenal tunduk dengan cepat.
Babak pertama pertandingan tersebut berjalan nyaris tanpa peluang berarti. Namun, tak seberapa lama sebelum almarhum Paul Alcock meniup peluit tanda turun minum, sebuah kericuhan antarpemain pecah. Penyebabnya adalah Jonk, Alexandersson, dan Patrick Vieira.
Jonk dan Alexandersson berusaha keras merebut bola dari Vieira di area permainan Arsenal. Dengan teknik yang sempurna, Vieira sukses meloloskan diri dari sergapan dua gelandang itu. Namun, Vieira dengan nakal mendorong Jonk sebelum mendribel bola menjauhi lokasi kemelut.
Jonk pun terjatuh dan di situ Di Canio datang membela. Oleh Di Canio, Vieira didorong. Tak lama, Martin Keown pun berbalik mendorong Di Canio. Alcock sebetulnya bisa dengan cepat menguasai keadaan. Dia kemudian memutuskan bahwa Di Canio dan Keown harus diusir keluar lapangan.
Saat melayangkan kartu merah pada Di Canio, Alcock mendapat respons yang sama sekali tak bisa diduga. Di Canio mendorongnya dan Alcock pun teruyung-huyung ke belakang sampai akhirnya terjatuh. Hari itu, karier Di Canio di Sheffield Wednesday praktis berakhir.
Dorongan kepada Alcock itu membuat Di Canio diberi larangan bermain 11 pertandingan dan pada pertengahan musim dia hijrah ke West Ham United, klub tempat dirinya menjadi legenda. Secara finansial, Wednesday merugi karena hanya bisa menjual Di Canio dengan harga 1,5 juta poundsterling.
Paolo Di Canio, Foto: Getty Images/Clive Mason
Carbone sendiri tidak terlibat dalam pertandingan melawan Arsenal tadi. Tanpa Di Canio, Carbone kembali berduet dengan Booth untuk membawa Wednesday mengakhiri musim di posisi yang biasa-biasa tadi.
Kepergian Di Canio awalnya tidak terlihat berpengaruh pada Carbone. Namun, sebenarnya hal itu membuat Carbone melihat bahwa tidak ada lagi alasan baginya untuk bertahan di Yorkshire. Pada musim 1999/2000 dia hengkang ke Aston Villa dan membawa tim Midlands itu mencapai final Piala FA sebelum ditundukkan Chelsea.
Dari sisi prestasi, tidak ada yang bisa dibanggakan dari kiprah Carbone dan Di Canio di Sheffield Wednesday. Akan tetapi, keberadaan mereka adalah bagian penting dari sejarah Premier League itu sendiri. Karena Carbone dan Di Canio, sepak bola di Sheffield menjadi begitu kaya akan talenta dan temperamen.
Sheffield United bak hidup dalam bahaya pada masa itu. Vivere pericoloso, kata orang Italia. Akan tetapi, bahaya yang mereka hadapi kala itu adalah bahaya yang menyenangkan dan menegangkan, seperti terjun dari pesawat atau meloloskan diri dari borgol di bawah air.
Keseruan semacam itu hingga kini belum terulang lagi di Sheffield Wednesday dan kemungkinan besar tidak akan pernah muncul kembali. Itulah mengapa, hari-hari ketika mereka memiliki Carbone dan Di Canio itu akan selalu dikenang dengan senyuman.
***
Catatan Editorial:
Lewat seri 'Invasi Calcio ke Britania' ini kami akan mengajak Anda berkelana ke dekade 1990-an ketika Premier League masih baru belajar berjalan. Pada fase itu ada sejumlah pemain Italia yang datang untuk 'membantu' sepak bola Inggris bergerak ke masa depan. Kami ajak Anda berkenalan lebih dekat dengan mereka.
-----
kumparanDerma membuka campaign crowdfunding untuk bantu pencegahan penyebaran corona virus. Yuk, bantu donasi sekarang!
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten