Wawancara Khusus Alexander Pulalo: Masa Jaya Arema hingga Cerita Kocak di Eropa

24 Agustus 2021 11:47 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Alexander Pulalo, eks pemain Timnas Indonesia Foto: Dok Alexander Pulalo
zoom-in-whitePerbesar
Alexander Pulalo, eks pemain Timnas Indonesia Foto: Dok Alexander Pulalo
ADVERTISEMENT
Alexander Pulalo merupakan salah satu bek kiri tangguh yang pernah dimiliki Timnas Indonesia dan menghiasi Liga Indonesia. Pada masa jayanya, pria kelahiran 8 Mei 1973 ini kerap disamakan dengan bek kiri legendaris Brasil, Roberto Carlos.
ADVERTISEMENT
Alex yang lahir di Jayapura merupakan seorang pesepak bola petualang. Tak kurang dari 8 klub nasional pernah dibelanya, mulai dari Semen Padang, Pelita Bakrie, PSM Makassar, PSIS Semarang, Persija Jakarta, Persib Bandung, Arema Malang, dan Mitra Kukar.
Namun jelas, cerita paling manis adalah saat Alex membela Arema. Ia berada di sana selama 2004-2009. Prestasinya adalah dengan membawa 'Singo Edan' menjuarai Copa Indonesia 2005 dan 2006.
Untuk Timnas Indonesia senior, Alexander Pulalo tercatat turun laga sebanyak 8 kali sepanjang 1993-2004. Ia berada dalam skuad 'Merah Putih' yang menempati posisi tiga Piala Tiger 1998 (kini bernama Piala AFF).
Mantan pemain timnas, Alexander Pulalo saat bermain di Arema Malang. Foto: Indonesia Junior League
kumparan berkesempatan mewawancarai Alexander Pulalo. Ia kembali mengulas kisah jaya hingga cerita jenaka di masa lampau, termasuk mengapa dia begitu betah di Arema dan tak pernah membela tim asal Papua.
ADVERTISEMENT
Alex juga membeberkan perjalanan kariernya dari awal sekali hingga nasihat untuk para pemain muda Indonesia era sekarang. Seperti apa perbincangannya? Silakan disimak berikut ini.

Bisa diceritakan bagaimana awal karier sepak bola Anda?

Dari awalnya, sih, saya mengawali karier di Piala KNTI (semacam kompetisi junior) dulu tahun 1990-an dan saya masih berusia sekitar 14-15 tahun, mewakili Papua untuk main di Stadion Menteng, Jakarta. Akhirnya, kami menjadi runner up, kalah penalti dari Jawa Barat di final.
Dari situ, langsung diseleksi untuk masuk PSSI U-16. Ada enam orang diambil dari Papua, termasuk saya. Jadi, selesai turnamen itu, pemain lain pulang, kami langsung gabung di PSSI U-16 di Ragunan, ini sebelum era Primavera (U-19).
ADVERTISEMENT
Dulu itu, saya striker aslinya. Waktu di Piala KNTI, saya jadi gelandang sayap kiri. Waktu di Ragunan, posisi saya diubah sama pelatih namanya Eddy Santoso, karena mungkin napas dan fisik saya kuat bisa maju-mundur, makanya saya dijadiin bek sayap.

Apakah Anda sempat kesal saat disuruh ganti posisi?

Saya, sih, enggak kesal karena pada prinsipnya saya mencoba semua lini mana yang cocok. Saya pikir, striker itu terlalu banyak saingan, makanya saya jadi bek kiri yang jarang ada.

Bagaimana awalnya Anda merantau ke banyak klub di Indonesia, tetapi tidak pernah memperkuat klub Papua?

Habis PSSI U-16 selesai, langsung ditarik ke Diklat Ragunan karena kami punya prestasi. Akhirnya, sekolahnya langsung dipindahkan ke Ragunan semua dan enggak pernah lagi pulang ke Papua.
ADVERTISEMENT
Bukannya kami enggak mau bela klub Papua, tetapi di Ragunan kan ada sekolah dari SMP sampai SMA. Pas sudah mau kelas 3 SMA, banyak klub yang tertarik. Saya direkrut Semen Padang. Pelita Jaya juga tertarik, tetapi Semen Padang lebih cepat.
Akhirnya, habis selesai SMA langsung merantau ke Padang dan ke klub lain di Liga Indonesia, enggak pernah pulang lagi ke Papua.
(Alexander Pulalo membela Semen Padang selama 1993–1998-RED).

Apa momen paling berkesan di kompetisi Indonesia?

Alexander Pulalo, eks pemain Timnas Indonesia (dua dari kiri). Foto: Dok Alexander Pulalo
Momen paling berkesan, waktu di Arema bisa menjuarai Copa Indonesia dua tahun beruntun, 2005 dan 2006.

Masih ingat momen-momen menjelang final Copa Indonesia?

Ada rasa grogi segala macam. Namun, kami sebagai pemain profesional harus mati-matian membela klub yang kami bela. Kami satu hati untuk Arema.
ADVERTISEMENT
Pelatih Benny Dollo kasih motivasi. Dia bilang, "Langkah kamu, kaki kiri kamu sudah masuk juara satu, tinggal kaki kanannya. Kalau sampai 2x45 menit sudah selesai, itu hasil akhirnya. Jadi, melangkahlah untuk menjuarai".
(Arema mengalahkan Persija 3-4 di final Copa Indonesia 2005. Firman Utina mencetak hattrick untuk 'Singo Edan', satu gol lagi dicetak Franco Hita. Salah satu gol Firman tercipta usai memanfaatkan umpan Alexander Pulalo-RED).

Final Copa Indonesia 2006, Arema vs Persipura, adakah perasaan emosional karena Anda sebagai anak asli Jayapura?

Lawan Persipura, gimana ya... Enak enggak enak rasanya. Lawan daerah sendiri, soalnya.
Namun, saya kan profesional, bela tim mana harus mati-matian, begitu. Jadi, pikiran saya, saya kan cari makan dari Arema, masa saya mau khianati Arema? Saya mati-matian, meski lawan daerah sendiri, Persipura.
ADVERTISEMENT
Setelah selesai, di luar itu boleh jadi teman. Kalau di lapangan, kalau beda kostum, harus total.
(Arema menjuarai Copa Indonesia 2005 dengan mengalahkan Persipura 2-0 di final. Gol kemenangan dicetak Aris Budi dan Anthony Ballah-RED).

Kenapa, sih, betah banget di Arema?

Saya memang betah di Arema, karena gimana, ya... Saya main sepak bola enggak sekadar main sepak bola, ada kenyamanan di luar dan dalam lapangan.
Jadi, kalau di Arema kan lebih enak, masyarakat Malang di situ juga welcome dengan pemain dari luar. Antusias masyarakat Malang memang luar biasa sama sepak bola. Jadi, itulah yang membuat saya menjadi betah.

Lantas, bagaimana dengan PSM Makassar, Anda pernah menjuarai Liga Indonesia dengan mereka kan?

Tidak. Waktu mereka juara, saya belum masuk. Habis mereka juara itu, saya baru bergabung.
ADVERTISEMENT
(Pada profil Alexander Pulalo di Wikipedia Bahasa Inggris, ia tercatat pernah menjuarai Liga Indonesia 1999/2000 bersama PSM. Dia mengklarifikasi bahwa dia belum ada di tim 'Juku Eja' yang mengalahkan Pupuk Kaltim 3-2 di final kala itu-RED).

Bagaimana ceritanya dari membela Persija lalu langsung membela Persib? Apakah sempat dapat ancaman dari suporter?

ADVERTISEMENT
Ya, memang, gimana ya... Saya kan namanya pemain, di mana tim yang nawar lebih baik, saya pindah.
Kalau ancaman dari suporter, sih, enggak ada. Paling suporter cuma teriak-teriak pas di lapangan. Saya anggap itu biasa.
(Alexander Pulalo tercatat membela Persija selama 2002–2003, lalu memperkuat Persib pada 2003-2004-RED).

Bagaimana perasaannya dulu dijuluki Roberto Carlos Indonesia?

Ya, saya namanya pemain dijuluki begitu ada rasa bangga, ya.
Roberto Carlos Foto: PIERRE-PHILIPPE MARCOU / AFP

Apa momen paling berkesan Anda selama di Timnas Indonesia?

Paling berkesan di Piala Asia 2004 China. Kami menang lawan Qatar 2-1 laga perdana.
ADVERTISEMENT
Saat itu, semua pemain merasa bangga. Soalnya, Qatar waktu itu pelatihnya dari Prancis (Philippe Troussier, pernah bawa Jepang juara Piala Asia 2000) sudah sesumbar bahwa mereka bisa menang 7-0 atau 8-0 lawan Indonesia ke media, eh ternyata malah mereka kalah.
(Indonesia menang 2-1 atas Qatar dalam laga pertama Grup A pada 18 Juli 2004 di Workers Stadium, Beijing, China. Gol disumbangkan Ponaryo Astaman dan Budi Sudarsono-RED).
Setelah itu, kami kalah 0-5 dari China. Saya waktu itu dapat kartu merah (menit 29) usai menekel keras gelandang China yang main di Jerman (Shao Jiayi, yang kala itu bermain di TSV 1860 Muenchen).
(Indonesia gagal lolos dari Grup A karena kalah 3-1 dari Bahrain di laga ketiga, mengakhiri kompetisi di peringkat 3 klasemen, di atas Qatar yang menjadi juru kunci--RED).
ADVERTISEMENT

Bagaimana pengalaman saat dulu di Italia bersama PSSI Primavera (U-19)?

Di sana, fasilitas latihan dan lain-lainnya sangat komplet, enak. Jadi, kami juga latihan enggak ragu lagi. Homesick sih ada, namanya usia kami masih kecil, kangen keluarga. Paling, ya, teleponan saja pas malam.
Awal-awal, sih, enggak betah di sana. Dingin cuacanya, pengin pulang saja. Cuma kami pikir, ini kan prestasi, orang-orang mau masuk timnas susah dan masa kami mau keluar begitu saja.
(PSSI Primavera adalah program pembinaan pemain usia muda dengan mengirim pemain berlatih ke Italia pada tahun 1990-an. Menurut pengakuannya, Alexander Pulalo sedang membela Semen Padang ketika dipanggil PSSI Primavera-RED).
Alexander Pulalo, eks pemain Timnas Indonesia Foto: Dok Alexander Pulalo

Ada momen paling berkesan selama di Italia?

Kami di situ pernah ada satu cerita lucu, hehe... Di sana itu kan makanannya pizza dan spaghetti. Nah, kami kangen masakan Indonesia. Kami jadi masak sendiri.
ADVERTISEMENT
Lauknya, sehabis latihan, kami memancing ramai-ramai di kali Italia. Di sana kan memang enggak boleh mancing sembarangan, sebenarnya, kecuali punya kartu identitas untuk mancing.
Cuma, kami bandel. Habis memancing, tenteng-tenteng ikan kecil di jalanan, kelihatan sama polisi hutan. Kami dikejar-kejar, hahaha... Kami kabur dan polisinya mengadu ke pelatih, diancam dideportasi, haha...
Ada juga dulu nasib apes Asep Dayat. Namun, ini di Swedia. Jadi, habis dari Italia, kami tur tanding ke Swedia sekalian seleksi tes buat pemain liga sana.
Jadi, kami di hotel, malamnya jalan ke pantai. Di situ ada hiburan seperti pasar malam, pengin nonton, tetapi dipagari semua kalau mau masuk bayar. Kami duit dari mana? Haha...
Itu pagarnya enggak pakai kayu, seng saja. Jadi, saya gali pasirnya, saya lolos dan panggili teman-teman semua masuk. Terakhirnya Asep Dayat, nah itu polisi lihat. Pas dia mau masuk juga, sudah ada, lha, polisi, hahaha...
ADVERTISEMENT
Dia diam saja berdiri, enggak bisa Bahasa Inggris kan. Jadi, mau ngomong apa. Dia terus angkat tangan sambil bilang, "I am hotel schoten", hahaha...

Kalau bicara era sekarang, kira-kira siapa pemain muda masa kini yang akan jadi bintang baru Indonesia?

Belum ada yang kelihatan buat saya. Sebab, pemain-pemain sekarang itu egonya terlalu tinggi. Baru punya nama naik sedikit, sudah merasa diri sudah besar dan bangga.
Sepak bola itu bukan seperti itu. Sepak bola itu berprestasi dulu, juara dulu, membela bangsa dulu, baru bisa bicara.