Wawancara Khusus Firman Utina: Dirikan SSB hingga di Balik Layar Final AFF 2010

17 Desember 2021 10:53 WIB
·
waktu baca 12 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Firman Utina. Foto: Dok.Pribadi/Firman Utina
zoom-in-whitePerbesar
Firman Utina. Foto: Dok.Pribadi/Firman Utina
ADVERTISEMENT
Sekitar tiga tahun sudah legenda sepak bola Indonesia, Firman Utina, memutuskan gantung sepatu. Namun, keputusan itu tak berarti Firman meninggalkan dunia si kulit bundar.
ADVERTISEMENT
Sebelum pensiun pada 2018, Firman sudah merasakan pahit-manis di dunia sepak bola Indonesia. Ia kenyang pengalaman bersama tim-tim besar seperti Persija Jakarta, Persib Bandung, Arema, Sriwijaya FC hingga Bhayangkara FC.
Di level Timnas Indonesia, Firman juga meniti karier dari bawah. Ia berangkat dari beberapa kelompok umur, sebelum naik kelas ke Timnas Senior.
Segudang mimpi satu per satu coba direalisasikan Firman. Usai pensiun, ia kini fokus kepada pembinaan usia muda dan menciptakan bibit-bibit unggul.
Harapan ia patok di langit tertinggi. Firman tak ingin kegagalannya di masa lalu--gagal mempersembahkan gelar juara untuk Timnas Indonesia--kembali terulang di generasi-generasi penerusnya.
Saat ini, eks pemain yang dulu lekat dengan nomor punggung 15 itu menjabat sebagai Direktur Teknik Akademi Borneo FC. Wujud bakti lainnya adalah dengan mendirikan sekolah sepak bola (SSB) di bilangan Tangerang.
ADVERTISEMENT
Kepada kumparan, Firman bercerita banyak soal mimpi dan ambisinya itu. Ia juga mengenang momentum Piala AFF 2010, yang mana, kendati tidak juara, tetap menjadi edisi spesial bagi para pecinta sepak bola Indonesia. Simak wawancaranya berikut ini.
Firman Utina. Foto: Dok.Pribadi/Firman Utina

Setelah gantung sepatu, apa kesibukan Anda?

Saya setelah pensiun dari timnas, masih aktif di pesepak bolaan Indonesia, tahun 2017 saya sudah mengambil license. Dan, 2018 saya mencoba untuk belajar melatih, saya membangun sekolah sepak bola di kota Tangerang. Sekolah sepak bola itu saya namakan Firman Utina Football Academy yang bertempat di Jalan LP Pemuda 2A Tangerang.
Sekarang, siswa kami ada sekitar 250 siswa dengan usia kelahiran 2003-2014. Mereka adalah anak-anak yang harus kita bina, harus kita lihat dengan pengalaman kita dengan kaca yang sudah dialami di Timnas Indonesia, bahkan di klub-klub kenapa kita tidak bisa meraih [juara], karena kita harus mengubah pola pikir pemain-pemain terutama di pembinaan usia dini.
ADVERTISEMENT
Saya sendiri juga merasakan bahwa sepak bola bukan hanya sekadar mengandalkan skill, kita juga butuh kemampuan berpikir, membuat sepak bola berawal dari otak dan itu yang saya tanamkan ke pemain-pemain usia dini bahwa bekerja otak yang kita ajak bekerja karena sepak bola harus dimulai dari otak setelah itu dari hati, nanti hati memerintahkan anggota tubuh kita untuk bergerak ke mana-mana.
Nah, ini yang kita lupa bahwa selama ini, dan kami pun waktu zaman bermain masih mengandalkan skill belaka, bahkan teknik-teknik yang kita lupa akhirnya sepak bola menggunakan otak yang harus berkesinambungan dengan hati dan anggota tubuh kita.
Maka dari itu, saya tetap ada di usia dini untuk membangun persepakbolaan di usia dini untuk menciptakan pemain-pemain yang mungkin bangsa ini sangat butuhkan. Alhamdulillah, saya mendapat license A, tapi saya masih tetap berkukuh tetap berada di pembinaan, karena saya rasa kalau semua pelatih berharap melatih di tim Liga 1, siapa yang melihat pembinaan yang ada di bawah.
ADVERTISEMENT
Saya terus dengan teman-teman di pembinaan usia dini untuk membangun, menunjang program-program atau karakteristik yang diinginkan pelatih-pelatih yang ada di timnas.

Adakah bibit muda dari SSB yang sudah terlihat potensinya?

Sangat banyak potensi, kalau di grassroot itu kan ada U-8 dan U-12, youth development itu ada di usia 13-16 tahun, dan profesional itu berada di 16-20 tahun. Bahkan, mereka-mereka sudah ada di tim Liga 1.
Dari grassroot ini yang perlu diberikan pemahaman tentang cara melatih kepada pelatih-pelatih dan cara bagaimana pemain-pemain muda bekerja bukan seperti me-remove mereka, tapi mereka kita ajak agar otak mereka bekerja sehingga terbiasa mengambil keputusan di setiap lini yang mereka mainkan di lapangan.

Setelah sekitar 5 tahun berdiri, apakah mimpi Anda di SSB tersebut sudah tercapai?

Mimpinya sekarang ini pemain-pemain kami masih ada di seleksi Timnas U-16 dan U-19, mudah-mudahan mereka masih bisa bertahan menjadi pemain timnas dan bukan hanya sekadar pemain timnas yang hanya numpang duduk, dalam arti hanya sebatas musiman.
ADVERTISEMENT
Saya ingin mereka menjadi pesepak bola yang lama berkariernya di timnas, sehingga dihargai oleh klub-klub, itu yang saya inginkan untuk anak-anak kami.

Bagaimana dengan putra Anda, Rayhan Utina, yang juga sempat dipanggil seleksi Timnas U-18?

Rayhan masih dalam proses juga. Sekarang dia bermain di klub elite (tim muda) Persija, lagi belajar kerja keras, dan mudah-mudahan bisa terpilih di ajang-ajang yang dibutuhkan timnas. Ya, kemarin dia ikut seleksi (Timnas U-18).

Rayhan sebelumnya bermain sebagai gelandang, namun kini dipindah ke bek sayap. Bagaimana melihat hal tersebut?

Saya, sih, lebih condong untuk mengajari dulu semenjak kecil Rayhan bermain sebagai gelandang, di posisi saya. Tapi, saya tahu setelah saya kursus bahwa outlook yang berbeda, mungkin outlook pelatih yang ada di klubnya sekarang itu lebih memilih Rayhan bekerja di posisi lima atau bek kiri yang mungkin saya katakan ke Rayhan bahwa, "Semua kamu harus jalani, kamu gak bisa harus mengikuti dengan diri kamu bahwa kamu hanya bisa di satu posisi, sedangkan sepak bola sekarang mengenalkan seluruh pemain bisa bermain di beberapa posisi."
ADVERTISEMENT
Alhamdulillah dia selama ini mengikuti segala instruksi yang dinginkan oleh pelatih di klubnya. Dia sekarang bermain di posisi bek kiri.
Firman Utina. Foto: Adek Berry/AFP

Bagaimana melihat peluang Rayhan menjadi pesepak bola profesional ke depannya?

Harapan saya, saya katakan ke Rayhan bahwa, "Harus tetap kerja keras karena mungkin kerja keras kamu double ketimbang ayah dulu waktu masih menjadi pemain timnas, jangan pernah bersembunyi di balik ketiak seorang Firman Utina, kamu harus kerja keras, kamu harus mencari jati diri sendiri sebagai pesepak bola yang orang tahu bahwa kamu punya ciri khas tersendiri. Dan, kerja keras paling utama dan tidak ada satu pun yang bisa mengkhianati atau jangan karena hanya kedekatan dan kamu lihat bahwa ayah seorang pemain timnas terus gampang masuk ke dalam."
ADVERTISEMENT
Saya katakan itu terus ke Rayhan bahwa menjadi pemain timnas tergantung pada diri dia sendiri, bukan karena ada orang lain yang bisa menghalalkan segala cara untuk berada di dalam.
Dan, itu yang lagi saat dia buktikan bahwa dia ingin bekerja tanpa seorang Firman Utina di belakangnya, dia ingin bekerja sesuai memang dipilih dia layak masuk di situ, kalau tidak layak, tidak masalah, dia harus kerja keras lagi untuk bisa ada di dalam timnas, karena saya katakan ke dia bahwa percuma jadi pesepak bola kalau dia tidak bisa bermain di timnas, dan percuma bermain di timnas kalau tidak bisa mengharumkan.
Nah, mudah-mudahan dengan adanya Rayhan di timnas, bisa mengharumkan nama bangsa dan bisa menjadikan kenyataan bahwa, "Ini nyata setelah saya gagal mendapat piala untuk Indonesia, tapi dia bisa membawanya". Itu harapan saya, yang saya tanamkan ke dia.
ADVERTISEMENT

Beralih ke Piala AFF, bagi para fans, edisi 2010 jadi salah satu yang tak terlupakan, bagaimana tanggapannya?

Tahun 2004 itu juga sangat baik menurut saya, karena kami juga masuk di final dan kami kalah dengan tim Singapura. Harapan kami pada 2010 itu bertepatan menjadi tuan rumah, kami bisa meraih poin penuh, bahkan bisa menjuarai atau membawa Piala AFF ke Indonesia.
Tapi, ternyata kami juga gagal di leg pertama di Malaysia dan menang di Indonesia dengan poin yang di bawah. Kemasukan kami terlalu banyak di Malaysia (leg pertama).
(Indonesia kalah 0-3 di final leg pertama Piala AFF 2010 dari Malaysia. Di leg kedua, Indonesia menang 2-1. Skor agregat akhir 4-2 untuk kemenangan Malaysia-RED)
ADVERTISEMENT

Euforia suporter begitu besar saat Piala AFF 2010, bagaimana Anda menilainya?

Menurut saya di 2010 mungkin animo masyarakat lebih fanatik, fanatiknya dalam arti positif, mereka juga ingin Indonesia bisa tampil dengan baik dan bisa menjuarai karena penantian panjang memang.
Keinginan Indonesia untuk meraih juara di ajang itu sering tidak kesampaian, hanya sampai di partai final terus, ada beberapa kali. Jadi itu yang membuat masyarakat antusias, mereka ingin pemain-pemain di 2010, dan bahkan sekarang bisa membawa Piala AFF ke Indonesia.

Hal itu menjadi motivasi atau malah beban tim?

ADVERTISEMENT
Menurut saya enggak jadi beban, malah jadi motivasi tinggi dengan banyaknya animo masyarakat yang sangat peduli dengan sepak bola Indonesia, dan ingin tim nasionalnya bermain baik, sempurna, saya rasa wajar-wajar saja dari masyarakat Indonesia menanti permainan terbaik Indonesia.
Firman Utina. Foto: Adek Berry/AFP

Banyak yang tak tahu bahwa Anda sebenarnya adalah wakil kapten di Piala AFF, sementara kapten pertama adalah Bambang Pamungkas. Apa peran Anda dan Bepe kepada tim ketika itu?

Betul, kapten pertama itu Bambang Pamungkas setelah coach Alfred Riedl memanggil Bambang Pamungkas, lalu Bambang memanggil saya. Saya pikir ada apa, ternyata hanya masalah coach Riedl mengatakan ke Bambang yang bermain di posisi dia, posisi striker, coach Riedl lebih mempercayai Gonzales ketimbang Bambang.
ADVERTISEMENT
"Jadi, menurut kamu siapa yang nantinya akan menggantikan posisi kapten yang ada di lapangan?" tanya coach Riedl waktu itu ke Bambang.
Saya sebenarnya tidak tahu menahu masalah obrolan Bambang dan coach Riedl, tapi coach Riedl dan Bambang memutuskan saya yang jadi kapten di seluruh ajang Piala AFF 2010 itu. Saya enggak bisa menolak karena saya pikir ini yang diminta coach Rield, dan Bambang memberikan masukan untuk saya jadi kapten kedua.
Kalau untuk peran, saya rasa sama ketika ada di lapangan, tapi lebih kepada kami ingin memahami karakter pelatih dan ingin menjembatani apa yang diinginkan pelatih terhadap pemain-pemain Indonesia. Itu yang terkadang masih sering miss dengan hal itu, karena kita tahu sendiri coach Riedl salah satu pelatih yang sangat disiplin, yang ingin pemainnya disiplin mulai dari luar lapangan sehingga itu terbiasa sampai ke dalam lapangan.
ADVERTISEMENT

Hanya kalah sekali sepanjang Piala AFF 2010, bagaimana kondisi tim kala itu?

Saya rasa di pertandingan yang final pertama terlalu over confident ya, karena kami melihat setelah di penyisihan kami bisa mengalahkan Malaysia dengan agregat gol lebih banyak. Tapi, kami tidak bisa menyiapkan diri dengan baik saat menghadapi Malaysia di final yang bermain di kandangnya sendiri dan tampil sangat luar biasa.
Nah, itu yang tidak kami duga-duga pada waktu itu Malaysia bisa bermain dengan full team, full under pressing di setiap lini, dan mereka seolah-olah melupakan pertandingan yang mereka hadapi dengan tim Indonesia pada penyisihan.
Dan, mereka tampil berbeda, bahkan saya dengar mereka sudah menyiapkan beberapa tim analisa untuk menganalisa kami di setiap pertandingan penyisihan, yang akhirnya kami tidak bisa belajar dari kekuatan mereka, tetapi mereka bisa belajar kekuatan tim Indonesia melawan tim-tim sebelumnya.
Firman Utina. Foto: Adek Berry/AFP
Dari segi itu yang kami rasa kurang dapat informasi dari beberapa tim pada saat itu, yang hanya kami mengandalkan 'Oke Malaysia, ini timnya dan saya akan bermain seperti ini’, sedangkan Malaysia sudah memantau kami dari penyisihan dan lawan semifinal.
ADVERTISEMENT
Waktu lawan Filipina (di semifinal), ada berapa pemain Indonesia yang cedera, catatan menit bermain timnya, ada berapa pemain yang usianya sudah senior dan berapa menit bermainnya.
Nah, tim Malaysia sampai segitunya menganalisa kami, sampai akhirnya kami di pertandingan pertama di Malaysia di-pressing ketat yang akhirnya kami merasa bahwa kami ditekan dengan kondisi under pressing ini.
(Indonesia bertemu Malaysia tiga kali di Piala AFF 2010. Pertemuan pertama terjadi di babak grup, di mana Indonesia menang telak 5-1. Pertemuan kedua dan ketiga di helat di partai final: Indonesia kalah agregat 2-4 dan gagal juara-RED).

Apa sudah siap tempur di leg pertama?

Ya, betul semua sudah siap tempur, cuma ya itu mereka lebih siap segalanya.
ADVERTISEMENT

Bambang Pamungkas pernah bercerita kejadian lucu soal laga melawan Thailand, di mana para pemain tak berani mengeksekusi pemain. Apakah tahu ceritanya?

Saya enggak tahu ceritanya itu karena saya tidak ada di bench, saya diistirahatkan di tribun bersama pemain-pemain yang tidak pakai pakaian (jersi).
Dan memang setiap penalti, itu sudah ditentukan oleh coach Riedl bahwa yang akan tendang Bambang pamungkas, kalau misal dia ada di lapangan. Kalau enggak, siapa yang siap (yang mengambil penalti).
Akhirnya, ada beberapa pemain seperti Irfan Bachdim, Gonzales, mereka orang-orang yang menjadi second plan coach Riedl untuk mengambil penalti. Kalau Bambang main, Bambang yang sering mengambil, karena dia orang pertama yang dipercaya untuk mengambil penalti oleh pelatih.
ADVERTISEMENT
(Indonesia bertemu Thailand di babak grup. Indonesia mendapat dua kali kesempatan penalti di waktu normal. Bambang Pamungkas maju sebagai eksekutor dan berhasil menunaikan tugasnya dengan baik. Skor akhir 2-1 untuk kemenangan Indonesia-RED).

Bagaimana kondisi tim saat kalah 0-3 di final leg pertama, apakah masih optimistis di leg kedua?

Di leg kedua itu pemain semua optimistis untuk mengejar agregat gol. Jadi, kami pun di dalam lapangan sangat tertekan karena harus membuat gol lebih banyak pada waktu itu. Nah, dari teman-teman semua siap dan fokus untuk memenangi pertandingan dengan agregat gol yang banyak. Tapi, tidak kesampaian karena kita terlalu kalah banyak di leg pertama di Malaysia.

Bagaimana rasanya melihat Malaysia angkat piala di Stadion Gelora Bung Karno?

Hampir enggak bisa dipercaya. Satu, kesal terhadap diri sendiri karena gagal, bertanya pada diri sendiri juga, mungkin karena tendangan penalti saya yang gagal, yang akhirnya tidak bisa membuat gol-gol berikutnya.
ADVERTISEMENT
Tapi, saya lebih optimistis lagi mungkin di hari lain kami bisa membawa pialanya ke Indonesia pada saat itu. Mungkin malam itu, kami belum mendapatkan gol yang bisa membuat piala itu berada di Indonesia.

Bagaimana Melihat Timnas Indonesia saat ini, adakah kans untuk juara Piala AFF 2020?

ADVERTISEMENT
Saya masih tetap optimistis dengan melihat timnas bermain dan cara bermain seperti melawan Australia kemarin. Saya optimistis bahwa Indonesia mungkin di zaman sekarang, zaman Evan Dimas dan Bagus (Kahfi), mereka bisa membawa piala itu ke tanah air ini dan bisa membahagiakan keluarga.
(Dalam konteks ini, Firman Utina berbicara soal laga Timnas U-23 vs Australia di Kualifikasi Piala Asia 2022 Oktober lalu. Timnas U-23 kalah, namun ia menilai permainan Timnas U-23 sudah cukup baik-RED).
ADVERTISEMENT

Apa harapan dan saran untuk Timnas Indonesia asuhan Shin Tae-yong?

Saya rasa Shin Tae-yong juga sekarang butuh waktu, butuh waktu untuk dia memahami karakter pemain-pemain Indonesia, dia juga harus mengubah filosofi yang ada di pemain-pemain Indonesia, dan coach Shin Tae-yong punya cara sendiri. Kita lihat katanya pelatihan Shin sangat keras, kita sebetulnya tidak harus takut dengan hal itu, kita harus coba.
Kita sebagai pemain yang saat ini dipercaya, harus siap dengan cara apa pun karena yang kita tahu bahwa sebelum coach Shin, Indonesia sudah sukses dengan cara pelatihan yang keras. Waktu itu kalau enggak salah, Ivan Toplak dan akhirnya Indonesia bisa meraih medali emas (SEA Games) di tahun 1991 di Filipina dan itu saya dengar dari mantan-mantan, senior-senior saya memang pelatihannya sangat keras.
Bagus Kahfi dan Shin Tae-yong saat laga Timnas U-23 vs Tajikistan, Selasa (19/10). Foto: PSSI
Jadi, saya rasa yang dibuat coach Shin ini bukan hal baru buat Timnas Indonesia, sebelum-sebelumnya sudah ada dan pemain-pemainnya harus siap mengikuti karena kita tetap serdadu yang selalu mengikuti program yang diinginkan oleh pelatih, dan jangan pernah menolak bila dipanggil negara.
ADVERTISEMENT
Karena di saat apa pun kita kesulitan, kita harus siap dipanggil negara, karena kita tahu bahwa titel pesepakbola yang tertinggi adalah dia bisa bermain di tim nasional dan kita harus bangga itu. Kita harus siap segala apa pun yang kita punya untuk Indonesia.
(Timnas Indonesia dilatih Anatoli Polosin saat juara SEA Games 1991. Anatoli Polosin memang dikenal menerapkan pola latihan maha berat kepada para pemain. Prestasi itu sekaligus menjadi prestasi terakhir Timnas Indonesia hingga saat ini. Sementara, Ivan Toplak yang disebut Firman, merupakan pelatih penerus Anatoli Polosin di tahun 1992-RED).