Wawancara Valentino Simanjuntak: Menjawab Tudingan Hiperbola & Tak Edukatif

12 April 2021 16:26 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Valentino Simanjuntak. Foto: Instagram/@radotvalent
zoom-in-whitePerbesar
Valentino Simanjuntak. Foto: Instagram/@radotvalent
ADVERTISEMENT
Valentino Simanjuntak seketika 'menggebrak' dunia komentator sepak bola Indonesia ketika pertama kali hadir pada 2013 silam. Ketika itu, slogan 'Jebret'-nya begitu terngiang manakala memandu pertandingan Timnas Indonesia U-19 di Piala AFF.
ADVERTISEMENT
Sejak saat itu, Valentino semakin menancapkan namanya di layar kaca dengan tampil secara reguler sebagai komentator. Ia dikenal memiliki gaya memandu yang unik dengan istilah-istilah menarik nan nyeleneh.
Teranyar, Valentino dipercaya memandu laga-laga Piala Menpora 2021. Akan tetapi, gaya dan istilah nyeleneh yang menjadi ciri khas Valentino membuatnya dihinggapi nada-nada sumbang.
Belakangan, mantan pengurus Asosiasi Pemain Profesional Indonesia (APPI) ini dituding hiperbola. Itu berawal dari twit ofisial Bali United (@BaliUtd).
Pada Minggu (11/4) malam WIB, sekitar pukul 22:09, admin menulis twit yang seolah menyindir Valentino, tanpa me-mention-nya, dengan sebutan 'Hiperbola'. Akun itu juga me-mention akun ofisial Indosiar (@Indosiar).
Twit tersebut rupanya mendapat perhatian dari Valentino Simanjuntak yang kemudian membalasnya. Sontak, isu ini ramai menjadi perbincangan netizen.
ADVERTISEMENT
Ragam opini, bentuk dukungan, hingga cacian mengarah pada Valentino. Tak hanya tudingan hiperbola, netizen bahkan juga menilai Valentino sebagai komentator yang tak edukatif.
Valentino Simanjuntak. Foto: Instagram/@radotvalent
Terkait dengan hal itu, kumparan kemudian mencoba menelisik lebih jauh mengenai berbagai macam tudingan yang mengarah tajam kepada Valentino.
Ketika dihubungi pada Senin (12/4), ia mengklarifikasi tentang gayanya sebagai komentator, alasan penggunaan kata-kata nyeleneh, hingga polemik dengan akun Bali United. Silakan simak wawancara lengkapnya berikut ini.

Netizen kembali mengkritik Anda soal gaya 'hiperbola' dan kata-kata nyeleneh, bahkan akun Bali United juga ikutan, apa tanggapan Anda?

Saya, sih, sudah dari 2013, ya, digituin (diledek terlalu berlebihan dan semacamnya), jadi bukan sesuatu yang baru buat saya.
Nothing's personal buat saya sebenarnya, tetapi ketika akun resmi dari sebuah klub kemudian mengatakan hal itu (saya hiperbola), ya, saya kemudian kan mempertanyakan balik apakah selama ini yang saya bilang tentang Bali United itu hiperbola apa, enggak?
ADVERTISEMENT
Karena kan saya sering menginformasikan tentang fakta-fakta, tentang fasilitas stadionnya, tentang profesionalisme klubnya, saya menceritakan tentang apa saja di sekitar stadionnya, apakah itu hiperbola? Kalau itu hiperbola, berarti mungkin adminnya enggak koordinasi kali dengan pihak-pihak terkait.

Apakah sudah ada respons dari ofisial Bali United terkait polemik ini?

Yang jelas saya yang pertama sangat mengapresiasi Pak Pieter Tanuri (CEO Bali United), karena Pak Pieter sendiri sudah menghubungi saya menyangkut hal ini.
Ya, sebuah kebanggaan buat saya karena di level admin Twitter yang bikin salah atau yang bikin gaduh, tetapi yang langsung men-take care problem ini adalah yang punya, jadi saya sangat salut sama beliau. Justru saya tidak mau me-mention beliau malah, walaupun saya kenal secara pribadi.
Petinggi Bali United, Pieter Tanuri. Foto: Alan Kusuma/kumparan

Lantas, bagaimana dengan penilaian netizen kepada Anda sebagai komentator yang suka cari sensasi?

Bagi saya, akun Bali United kan suka menjelma menjadi akun-akun kayak netizen, nih. Kan Coach Justin sudah pernah diajak ribut juga, jadi yang saya lihat kan arah medsosnya ke arah mencari sensasi.
ADVERTISEMENT
Nah, saya kan juga memang host yang harus mencari sensasi supaya penonton semakin banyak. Penonton yang dimaksud oleh TV itu kan bukan hanya penonton bola, tetapi penonton di luar bola juga yang sekarang larinya ke 'Ikatan Cinta'.
Tayangan bola ini (Piala Menpora) masih tiga kali lipat di bawah 'Ikatan Cinta'. Jadi, kita harus melakukan berbagai macam kreativitas kan.
Pemain Persib Bandung Febri Hariyadi (kiri) berebut bola dengan pemain Persebaya Surabaya Alwi Slamat pada laga perempatfinal Piala Menpora 2021 di Stadion Maguwoharjo, Sleman, D.I Yogyakarta, Minggu (11/4). Foto: Andreas Fitri Atmoko/ANTARA FOTO

Lalu, bagaimana pula dengan tudingan Anda tidak mengedukasi penonton?

Katanya, saya tidak mengedukasi, itu sudah isu lama dari dulu tentang edukasi. Saya coba cara yang berbeda selama Piala Menpora ini.
Saya mencatat statistik tentang bagaimana Xavi-Iniesta, Cesc Fabregas, sampai Steven Gerrard, dalam satu pertandingan, mereka melihat ke atas saat bermain bola itu berapa kali dalam 90 menit.
ADVERTISEMENT
Tercatat 800 kali Iniesta melihat rekannya selama 90 menit, begitu juga saya sampaikan soal Steven Gerrard. Saya sudah utarakan itu, tapi enggak ada tuh yang ngomongin.
Kemudian, soal edukasi, saya sudah lakukan, misalnya dalam 90 menit pesepak bola itu rata-rata berlari 8-11 km. Tapi, enggak ada yang merespons apa-apa dari netizen.
Xaviesta, duo maut Barcelona pada masanya. Foto: Paul Gilham/Getty Images

Jadi, sebelum siaran Anda juga sudah melakukan riset secara maksimal?

ADVERTISEMENT
Saya punya catatan yang sudah tebal banget, saya keluarin semua, tapi enggak ada yang diomongin orang. Akhirnya, saya beralih ke statistik, contekan saya dari Lapangbola.com dan Statoskop.
Saya keluarin data-data dari mereka, bukan cuma ball posession tapi juga conversion rate, succesfull area, sampai berapa kali foul, tackle, enggak ada yang membicarakan itu bahwa "Valent sudah mengedukasi ya", enggak ada.
ADVERTISEMENT
Saya mulai selalu berbicara tentang "Siapa dia?". Saya ungkap latar belakang dia, lahir tahun berapa, dia itu siapa, saya ungkap, karena bagi saya itu menandakan juga knowledge, tetapi tidak ada juga yang merespons.
Sampai akhirnya, saya melakukan edukasi tentang istilah idiom Bahasa Inggris yang sering dipakai komentator asing, saya bikin konteksnya malah, saya bikin sampai berapa puluh kata, meminta juga kepada para netizen kalau di-Bahasa Indonesia-in. Ternyata dalam sepak bola pemilihan katanya banyak, lho. Tapi ya biasa-biasa saja.

Setelah Anda membalas twit akun Bali United, tudingan juga mengarah kepada Anda sebagai komentator anti-kritik, bagaimana menilainya?

Kan saya jadi victim, nih. Kan gua sekarang komentator anti-kritikan kalau kata netizen. Sebagian ya, karena ada yang lebih besar yang mendukung saya. Karena kalau enggak, ngapain saya terpilih dua kali presenter terfavorit dua tahun pilihan pemirsa.
ADVERTISEMENT
"I'm not born with this, but I made by dan created" ini semua hingga menjadi sebuah tampilan.
Kalau diperhatikan betul, gaya saya berbeda dari penyisihan dan babak perempat final (Piala Menpora 2021). Saya pikir bukan karena kebutuhan pihak TV, itu hanya salah satu, tetapi lebih kepada pemirsa bola kok lagi adem-adem aja, ya? Gitu, lho.
Reaksinya adem dan kok bola ini enggak jadi sesuatu yang jadi bahan pembicaraan asyik masyarakat, kok pembicaraannya sekarang banyakan bukan di bola, begitu maksud saya.
Misalnya nanti saya dibilangin, "Lent, lu bawakan kayak zaman tahun 90-an, bisa enggak, Lent?" Bisa. Saya akan bawakan juga dengan gaya begitu, why not?
Karena saya muncul tahun 2013 dengan gaya begini pun itu kan transformasi dari gaya saya sebelumnya yang tidak begini.
ADVERTISEMENT
***