Sejarah sebagai Alat Politik: Penulisan Narasi Masa Lalu untuk Agenda Hari ini

Christ Cahyaningtyas Putri
Mahasiswa Akuntansi Universitas Airlangga
Konten dari Pengguna
9 Juni 2023 13:05 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Christ Cahyaningtyas Putri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Sejarah. Foto: ShutterStock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Sejarah. Foto: ShutterStock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
George Orwell pernah berkata dalam novel dystopian-nya, "1984": "Siapa yang mengendalikan masa lalu, mengendalikan masa depan; siapa yang mengendalikan sekarang, mengendalikan masa lalu." Dalam kutipan singkat ini, Orwell merangkum gagasan bahwa sejarah tidak hanya merupakan catatan dari apa yang terjadi, tetapi juga alat yang kuat yang dapat digunakan untuk mengendalikan narasi, dan dengan demikian, pengaruh.
ADVERTISEMENT
Hal ini relevan dengan konteks Indonesia. Catatan sejarah kita kerap menjadi korban politisasi, diceritakan ulang atau disensor untuk melayani kepentingan politik yang berkuasa. Misalnya, peran PKI dalam sejarah Indonesia telah mengalami penulisan ulang dan penyensoran berulang kali, tergantung pada pemerintah yang berkuasa dan agenda politik mereka.
Peristiwa G30S/PKI adalah contoh utama dari bagaimana sejarah dapat digunakan sebagai alat politik. Selama Orde Baru, narasi pemerintah tentang peristiwa ini menggambarkan PKI sebagai organisasi keji yang berencana untuk menggulingkan pemerintah. Sejarah ini dijadikan landasan untuk mengekang oposisi politik dan mempertahankan status quo. Namun, penelitian belakangan ini telah menantang narasi ini dan menunjukkan bahwa realitasnya jauh lebih kompleks.
Mark Twain, penulis Amerika, pernah berkata: "Sejarah tidak berulang, tetapi sering kali berima." Artinya, sejarah mungkin tidak mengulang secara harfiah, tetapi pola dan tema umum cenderung muncul lagi dan lagi. Dalam hal ini, kita dapat melihat pola yang sama terjadi dengan bagaimana sejarah digunakan dalam politik Indonesia.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya G30S/PKI, peristiwa lain seperti Reformasi '98 juga mengalami penulisan ulang sejarah. Tujuan penulisan ulang ini, bukanlah untuk mencari kebenaran, tetapi untuk membentuk opini publik dan meredam kritik.
Sejarah adalah alat yang ampuh. Tetapi, seperti segala sesuatu yang ampuh, juga dapat disalahgunakan. Sebagai masyarakat, kita harus waspada terhadap penyalahgunaan ini dan berjuang untuk sejarah yang objektif, akurat, dan lengkap.
Salah satu cara untuk melakukannya adalah dengan mempromosikan pendidikan sejarah yang kritis dan objektif, yang mengajarkan siswa untuk mempertanyakan sumber mereka dan mencari kebenaran sendiri. Sebagai penulis Britania Raya, Aldous Huxley, pernah berkata: "Fakta tidak berhenti ada hanya karena mereka diabaikan."
Kita harus mempertimbangkan dengan serius bagaimana sejarah diajarkan di sekolah. Buku teks sejarah harus mencakup berbagai perspektif dan tidak hanya satu narasi dominan. Seharusnya, bukan hanya menyampaikan apa yang telah terjadi, tetapi juga mengapa dan bagaimana hal itu terjadi, serta dampaknya terhadap berbagai kelompok dalam masyarakat. Pendidikan sejarah yang kuat akan membantu menciptakan masyarakat yang lebih informasi dan kritis.
ADVERTISEMENT
Namun, perubahan ini tidak hanya harus terjadi di sekolah. Media, juga, memiliki peran penting dalam membentuk pemahaman kita tentang sejarah. Jurnalisme yang bertanggung jawab dan akurat adalah vital dalam mencerahkan publik dan mencegah penyebaran "sejarah palsu" yang bias atau menyesatkan.
Demokratisasi akses ke sumber sejarah juga penting. Arsip, perpustakaan, dan museum harus terbuka untuk semua, dan sumber-sumber online harus dijamin keakuratannya dan keterjangkauannya. Memiliki akses ke informasi yang beragam dan beragam akan memberdayakan masyarakat untuk memahami dan mengevaluasi sejarah mereka sendiri.
Sebagai masyarakat, kita harus waspada terhadap upaya untuk mengubah atau memanipulasi sejarah demi kepentingan politik. Kita harus selalu mengajukan pertanyaan, mengejar kebenaran, dan mencari pemahaman yang lebih dalam tentang masa lalu kita.
ADVERTISEMENT
Seperti yang dikatakan oleh penulis dan filsuf Prancis Voltaire, "Sejarah tidak lebih dari lukisan kejahatan dan keberuntungan." Namun, jika kita ingin lukisan tersebut menjadi refleksi yang akurat dan adil tentang masa lalu kita, kita semua harus berperan dalam menjaganya dari distorsi dan manipulasi. Sejarah harus dilihat sebagai suatu cerita yang selalu berkembang, bukan monolit yang tidak berubah atau alat yang digunakan untuk mempengaruhi politik masa kini.
Secara keseluruhan, sejarah adalah warisan kita, cermin masa lalu yang harus kita jaga dan bela. Kita harus menjaganya dengan integritas, dengan hati-hati, dan dengan rasa tanggung jawab yang mendalam. Melalui pemahaman yang lebih baik tentang sejarah kita, kita dapat membangun masa depan yang lebih baik dan lebih adil.
ADVERTISEMENT