Apakah Titik Kritis antara Industri Makanan, Kosmetik, dan Farmasi Berbeda?

24 April 2025 14:47 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi logo Halal. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi logo Halal. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Semua produk yang beredar di Indonesia diwajibkan memiliki label halal. Ketentuan ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.
ADVERTISEMENT
Bagi negara dengan mayoritas penduduk muslim seperti Indonesia, aturan ini dianggap menjadi langkah penting untuk memberikan kepastian kepada konsumen tentang kehalalan produk yang mereka konsumsi.
Namun, meskipun sebuah produk sudah bersertifikat halal, bukan berarti produk tersebut sepenuhnya aman dari risiko ketidaksesuaian dengan prinsip halal. Banyak konsumen yang beranggapan bahwa selama produk tersebut terbuat dari bahan alami, maka otomatis halal. Sayangnya, anggapan ini tidak sepenuhnya benar.
Menurut Raafqi Ranasasmita, Corporate Secretary Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI), ada yang namanya titik kritis halal. Ini adalah tahapan atau komponen dalam proses produksi suatu produk yang memiliki potensi menyebabkan kehalalan produk menjadi diragukan atau bahkan tidak halal.
ADVERTISEMENT
"Identifikasi titik kritis ini merupakan fondasi penting dalam proses sertifikasi halal, karena menentukan area mana saja yang perlu diawasi secara ketat agar kehalalan produk tetap terjaga," kata Raafqi kepada kumparan, Kamis (24/4).
Menurut Raafqi Ranasasmita, pemahaman tentang titik kritis halal sangat penting. Edukasi tentang titik kritis halal mendorong produsen untuk lebih bertanggung jawab dan transparan, sekaligus membentuk ekosistem halal yang kuat, mulai dari penyedia bahan baku hingga ke tangan konsumen akhir.
Ilustrasi halal. Foto: Bankrx/Shutterstock
Untuk bisa mendapatkan sertifikat halal, pelaku usaha di Indonesia diwajibkan menerapkan Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH). Sistem ini mencakup serangkaian prosedur dan pengawasan yang memastikan semua proses produksi berjalan sesuai dengan prinsip syariah.
"Edukasi terkait titik kritis halal juga berperan dalam membangun ekosistem halal yang kuat, karena menciptakan kesadaran dari hulu ke hilir, mulai dari penyedia bahan baku hingga konsumen akhir," jelas dia.
ADVERTISEMENT
Titik kritis halal pun tidak hanya berlaku untuk makanan. Produk lain seperti kosmetik dan obat-obatan juga perlu diperiksa. Namun, apakah titik kritisnya berbeda di tiap jenis produk?
"Titik kritis halal pada umumnya sama, yang berbeda adalah proses produksi yang dilakukan dan kekritisan bahan yang digunakan. Misalnya, penggunaan bahan hewani yang bisa diturunkan ke berbagai produk, seperti daging potong, produk olahan, hingga zat lainnya seperti gelatin, enzim, dan lainnya," jelas Raafqi.
Ilustrasi halal. Foto: Vrlibs studio/Shutterstock
Raafqi mengatakan, mendapatkan sertifikat halal bukanlah akhir dari perjalanan. Perusahaan harus terus melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap sistem halal yang mereka jalankan. Caranya adalah dengan melakukan audit internal setidaknya sekali dalam setahun.
Audit ini bertujuan untuk memastikan apakah sistem halal masih berjalan dengan baik. Jika ada kekurangan, perusahaan harus segera memperbaikinya dan mencegah hal yang sama terjadi lagi. Selain itu, perusahaan juga perlu melakukan kaji ulang manajemen.
ADVERTISEMENT
"Ini adalah pertemuan berkala yang dipimpin oleh manajemen puncak untuk meninjau kembali kebijakan dan pelaksanaan sistem halal. Evaluasi ini penting untuk menjaga konsistensi dan meningkatkan kualitas dari waktu ke waktu," bebernya.