Bangga! Dua Mahasiswa Indonesia Ciptakan Aplikasi untuk Perangi Sampah Makanan

26 September 2022 16:20 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ethelind B. Santoso (paling tengah) dan pembicara lain tampil dalam FWTF mempresentasikan inovasi tentang solusi problem food waste. Foto: Dok. Universitas Prasetiya Mulya
zoom-in-whitePerbesar
Ethelind B. Santoso (paling tengah) dan pembicara lain tampil dalam FWTF mempresentasikan inovasi tentang solusi problem food waste. Foto: Dok. Universitas Prasetiya Mulya
ADVERTISEMENT
Tahukah kamu bahwa kebiasaan tidak menghabiskan dan membuang makanan, ternyata akan menyumbang 10 persen emisi gas rumah kaca yang akan membahayakan bumi. Ya, sampah makanan di era sekarang ini telah menjadi permasalahan yang begitu rumit dan serius.
ADVERTISEMENT
Menurut Dr. Stevanus Wisnu Wijaya, selaku Direktur Riset dan Inovasi, Universitas Prasetiya Mulya, mengatakan bahwa sampah makanan yang membusuk akan menghasilkan bau dan gas metana yang dapat merusak lapisan ozon.
Bahkan, mengutip rilis yang kumparan terima (16/9), Bappenas memperkirakan emisi dari sampah makanan dapat mencapai 1.702,9 metrik ton ekuivalen karbon dioksida. Itu berarti, jumlah yang setara dengan 7,29 persen emisi gas rumah kaca Indonesia.
Oleh karena itu, Universitas Prasetiya Mulya (Prasmul) membentuk sebuah konsorsium proyek bernama In2Food dengan tujuan mengatasi permasalahan sampah makanan tersebut. Adapun konsorsium ini berkolaborasi dengan sejumlah kampus di dalam dan luar negeri; seperti Universitas Katolik Parahyangan, Binus University, Universitas Pembangunan Jaya, Universitas Ma Chung, Ghent University, Tampere University, dan Hotelschool The Hague.
ADVERTISEMENT
“Konsorsium ini menjadi wadah untuk mengembangkan kolaborasi, inisiatif, dan ide dari berbagai disiplin ilmu untuk menciptakan aneka solusi bagi masalah sampah makanan,” ujar Wisnu.
Adapun, pada tahun ini In2Food banyak melibatkan mahasiswa dalam setiap kegiatannya, seperti International Student Conference dan International Summer School.
Hasilnya, pada kegiatan Food Waste to Finish (FWTF) Summer School Program yang diselenggarakan di Bali, 14 hingga 27 Agustus lalu, telah menampung dan menghasilkan berbagai ide serta terobosan baru untuk mengatasi permasalahan sampah makanan. Namun, dari sekian banyak ide yang dicetuskan; terdapat dua ide dari dua mahasiswa Prasmul, dengan salah satunya menjadi ide yang terbaik.

“Ibu Foodies” senjata berbasis AI

Mahasiswi Universitas Prasetiya Mulya, Ni Putu Mas Swandewi (paling kiri) bersama tim dari berbagai negara, meraih Best Food Waste Solution dalam FWTF di Bali melalui aplikasi Ibu Foodies. Foto: Dok. Universitas Prasetiya Mulya
Ni Putu Mas Swandewi, seorang mahasiswa Program Studi Software Engineering bersama dengan rekan-rekannya dari kampus lain berhasil terpilih sebagai usulan ide terbaik. Adapun ide dan konsep yang diusulkan, adalah sebuah aplikasi berbasis AI yang membantu pencegahan munculnya sampah makanan di lingkup rumah tangga.
ADVERTISEMENT
“Aplikasi ini bisa membantu para ibu untuk mencatat dan merencanakan belanja mereka. Di dalamnya terdapat teknologi artificial intelligence (AI) yang berguna untuk memindai aneka jenis sayur yang dibeli pengguna. Nantinya, aplikasi mobile ini dapat menentukan usia sayur tersebut, sehingga pengguna tidak akan membiarkan bahan makanannya membusuk dan menjadi sampah,” ujar Swandewi.
Usulan aplikasi ini kemudian menjadi lebih berkembang dengan adanya program edukasi “Turn That Veggie Waste Into Delicious Taste”. Para peserta, dengan sasaran utamanya adalah ibu rumah tangga diajak untuk memanfaatkan sisa sayuran yang biasanya mereka buang. Sisa makanan dapat diolah menjadi makanan lain yang tak kalah lezat dan bernutrisi; atau menanam kembali bahan makanan yang sudah tidak terpakai.
“Kami spesifik memilih segmen ibu-ibu karena kami menganggap mereka punya kekuatan untuk jadi agen perubahan khususnya jika menyasar food waste dalam skala rumah tangga. Kami berharap, jika semakin banyak ibu-ibu yang mendapat edukasi soal manajemen sampah makanan ini, maka perubahan besar yang kita harapkan bisa tercapai,” ujar Swandewi.
ADVERTISEMENT

“No Action Too Small” bagi para pedagang kaki lima

Ilustrasi sampah makanan. Foto: Shutter Stock
Sementara itu, mahasiswa Prasmul lainnya dari Program Studi Ekonomi Bisnis, Ethelind B. Santoso mengusung konsep yang juga memiliki kemiripan dengan Swandewi, hanya saja berbeda sasaran edukasinya. Jika Swandewi menyasar ibu rumah tangga, maka Ethelind menjadikan pedagang kaki lima sebagai targetnya.
“Selain rumah tangga, penjual makanan juga menjadi kontributor sampah sisa makanan terbesar di Indonesia. Melalui program ini kami berharap dapat memberikan informasi dan mengajak mereka untuk mengubah perilaku dalam menangani sampah makanan,” ujar Ethelind.
Tim Ethelind juga mempunyai konsep lainnya, yaitu bazar hortikultura, “Saya ingin membuat gerakan hari obral buah atau sayur secara rutin di toko-toko. Di mana konsumen dapat mencampur jenis-jenis sayur dan buah yang penampilannya dianggap jelek tapi padahal masih layak konsumsi dengan harga murah meriah,” pungkas Ethelind.
ADVERTISEMENT
Penulis: Riad Nur Hikmah