Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Berbincang dengan Charles Toto, Chef di Pedalaman Hutan Papua
13 Juli 2022 14:35 WIB
·
waktu baca 8 menitADVERTISEMENT
Berbicara tentang Papua , enggak melulu soal wisata alamnya. Ya, keindahan alam Papua memang sudah tersohor. Tapi, menilik lebih dalam, Papua juga punya budaya hingga tradisi kuliner yang menarik. Tak banyak orang yang tahu soal ini.
ADVERTISEMENT
Maka itu, seorang Papua Jungle Chef , Charles Toto memiliki misi untuk mengangkat popularitas kuliner Papua dengan melakukan gastrodiplomasi. Laki-laki yang akrab disapa chef Chato ini sudah sejak tahun 1997 bekerja sebagai koki hutan atau jungle chef. Dia telah keluar-masuk hutan Papua untuk mempelajari bagaimana saudara-saudaranya di hutan bertahan hidup dengan membuat masakan dari bahan alam.
Berawal sebagai koki hotel, laki-laki yang lahir di Jayapura ini kemudian memutuskan untuk bekerja di travel agent. Tugasnya memasak dan menyajikan makanan-makanan untuk wisatawan. Bukan sekadar menyajikan makanan, chef Chato memasak langsung dari lokasi wisata yang dikunjungi para turis. Dia memasak di hutan hingga wilayah bahari, pesisir pantai.
Membawa peralatan seadanya, tak jarang chef Chato juga membuat sendiri alat masak hingga oven manual dari bahan di hutan. Semua metode masak ini ia pelajari dari suku-suku di pedalaman Papua. Salah satunya metode bakar batu yang menjadi cara memasak tradisional andalan masyarakat di Bumi Cendrawasih ini.
Chef Chato terkenal akan kelihaiannya mengelola apa yang telah disediakan alam Papua. Laki-laki lulusan SMK tata boga ini membuat cetakan roti dari kaleng bekas, memanfaatkan kulit pohon kayu putih sebagai aromatik alami makanan, hingga menggunakan pelepah pinang untuk membungkus masakan.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, bukan berarti perjalanannya mendiplomasikan kuliner Papua selalu mulus. Banyak suka maupun duka yang sudah ia rasakan selama menjadi Papua Jungle Chef. Terlebih ia juga kesulitan mendapatkan dukungan pemerintah untuk mendiplomasikan kuliner Papua, yang tak hanya papeda dengan ikan kuah kuning saja.
Dari pengalamannya, chef Chato mengungkapkan bahwa Papua memiliki cita rasa masakan yang berbeda dari belahan “dunia lain”. Mulai dari resep hingga bumbu masak yang autentik, yang berbeda dari wilayah lainnya.
Dalam menelusuri peta kuliner Papua, chef Chato mengaku hingga kini masih belajar, meskipun dia telah mengulik kuliner Papua sejak 25 tahun lalu. Hal ini menggambarkan betapa kayanya kuliner Papua untuk dieksplorasi.
Selama perjalanannya mendiplomasikan warisan gastronomi Papua, chef Chato mengaku semakin jatuh cinta dengan pekerjaannya. Maka itu, untuk mengetahui kisah selengkapnya dari Charles Toto sang Papua Jungle Chef, yuk simak perbincangan selengkapnya kumparanFOOD (22/5) dengan chef Chato dalam sesi tanya jawab di bawah ini:
ADVERTISEMENT
Apa sebenarnya yang dimaksud Jungle Chef, dan bagaimana perkembangannya di Papua?
Komunitas Papua Jungle Chef terbentuk pada tahun 2008. Sebenarnya yang menjadi misi utama kami adalah bagaimana mendorong anak-anak muda Papua untuk belajar apa yang ada di lingkungan kita. Tidak seperti teman-teman kebanyakan yang mungkin usai mengambil pendidikan di bidang kuliner atau tata boga, lalu kemudian dia mereka mengambil jurusan atau mulai mempelajari makanan seperti Chinese Food, American Food atau mungkin Asia seperti yang lain. Tapi, ternyata pekerjaan ini sedikit berbeda dengan teman-teman di hotel karena kita juga butuh fisik yang kuat.
Apa saja tantangan memasak di hutan dan bedanya dengan koki restoran?
Ya, kalau memasak di hutan dengan restoran jelas beda. Satu, dari peralatannya, ya mungkin di hotel mereka pakai kompor yang menggunakan gas. Tapi kita di hutan, (menggunakan) apa yang ada di alam. Seperti kayu bakar atau memanggang menggunakan pasir sebagai medianya. Kita juga memanfaatkan kaleng Khong Guan itu untuk cetakan roti sagu.
ADVERTISEMENT
Jika kita di pantai, maka kita menyesuaikan dengan apa yang ada di pantai. Mungkin tempurung kelapa juga bisa jadi media untuk bikin roti, atau kita menyesuaikan dengan apa yang ada. Mungkin di hutan ada bambu, kita bikin roti tapi bentuknya kayak seperti bakpau lalu dipanggang pakai bambu. Di dalamnya roti diberi isian. Begitulah kita melihat apa yang ada di lingkungan.
Apa pengalaman lain yang mengesankan selama memasak di hutan?
Kalau dari sukanya dengan melakukan kegiatan sebagai Jungle Chef, saya bisa keliling ke mana-mana. Itu beda dengan teman-teman yang ada di hotel/resort, yang kerjanya mereka monoton di situ.
Sementara dukanya, memang beberapa kali kami melakukan trip. Contoh kita di wilayah pantai pesisir itu bisa sampai tidak pulang dua hingga tiga minggu karena tersesat di laut. Terkadang ombaknya setinggi rumah. Ombaknya 7 sampai 8 meter dan itu kita tidak bisa keluar selama cuaca buruk dan kita harus berpikir bagaimana mengolah apa yang ada di situ karena stok bahan makanan mulai berkurang.
ADVERTISEMENT
Selain itu, saya juga pernah tidak bisa keluar dari hutan hingga 3 bulan karena cuaca buruk. Saat itu saya sedang membawa kru film, mereka sudah bisa keluar, tapi saya masih di dalam dengan peralatan-peralatan masak. Saya masih tertinggal di wilayah pedalaman Papua dan harus tunggu cuaca baik dulu baru bisa keluar. Di balik duka itu saya banyak bisa belajar.
Bagaimana cara chef Chato menyesuaikan diri dengan lingkungan dan budaya sekitar ketika memasak ke pedalaman hutan?
Saya terkadang harus seperti bunglon, beradaptasi dengan budaya setempat, mempelajari bahasa mereka sehingga bisa paham apa yang mereka punya. Sebenarnya metode seperti ini biasa dipakai oleh teman-teman di antropologi untuk mendata kembali budaya dan yang lainnya. Tapi, saya masuk sebagai tukang masak untuk mempelajari itu.
ADVERTISEMENT
Adakah resep andalan chef Chato saat memasak di pedalaman hutan Papua?
Kami ada suatu sup yang kita namakan sup makucula, yaitu terbuat dari pohon sagu. Itu bagian ujungnya, tuh manis dan itu yang biasa kita potong. Jadi itu dipucuknya sagu itu yang kita ambil buat sup. Itu dicampur dengan ulat sagu dan beberapa bumbu-bumbu yang lain untuk kita buat sup.
Hampir itu menjadi daya tarik untuk semua. Jadi ketika tamu yang pernah tour dengan kita dari 1997, mereka ketika datang lagi untuk trip, mereka sudah tahu bahwa akan ada sup ini muncul di akhir trip.
Selain di pedalaman Papua, chef Chato pernahkah memasak di wilayah lain?
Pernah masak di Wae Rebo (NTT) pada tahun 2016 diundang ke sana peresmian salah satu rumah di sana. Saya diundang masak di sana untuk rombongan teman-teman di Jakarta yang melakukan trip ke sana.
ADVERTISEMENT
Beberapa kali juga waktu masih jadi volunteer di Greenpeace, juga pernah pernah masak di kapal Rainbow Warrior keliling-keliling dunia. Setelah itu, ya paling banyak memasak di Papua. Pernah juga memasak untuk beberapa selebriti, seperti Mick Jagger dan Melinda Gates saat mereka tour ke Wamena.
Nanti tanggal 6 sampai 26 September saya memasak untuk acara di Utrecht, Belanda. Lalu, pulang baru langsung ke pedalaman lagi. Jadi, dengan makanan Papua saya bisa keliling dunia. Pernah masak di Turin, Napoli, Milan, Australia, dan Belanda. Jadi, biar saya tinggal di kampung tapi urusannya keluar-keluar sana hehehe.
Selain Papua Jungle Chef, kini chef Chato juga memiliki sekolah pekarangan, boleh dijelaskan?
Pada tahun 2020, kami baru buka sekolah pekarangan bertujuan untuk mengelola apa yang ada di pekarangan rumah menjadi produk-produk UMKM. Contoh bunga bugenvil, selama ini kan tumbuh liar di sana. Kita bikin untuk bahan tea blend ditambah dengan bumbu-bumbu Papua. Jadi, kami sudah lebih ke situ untuk bisa bertahan sekalian juga bisa mendorong anak-anak agar lebih mandiri.
ADVERTISEMENT
Kami sekarang memiliki rumah pengering, saya bilang. Dari rumah pengering itu yang kita coba menggarap apa yang ada di lingkungan mengajar anak-anak kecil untuk bisa bermain tapi punya produk menghasilkan uang lewat sekolah pekarangan tadi.
Di rumah pengering ini kami mengolah berbagai bahan menjadi produk-produk yang instan atau cepat saji. Fast food yang bisa disajikan kepada anak-anak. Dengan begitu, bila kita mendorong makanan lokal menjadi bagian dari makanan nasional, itu menjadi bagian dari kedaulatan pangan.
Dari pengalaman lebih dari 25 tahun, bagaimana chef Chato kini melihat masa depan kuliner Papua dan apa harapannya?
Saya selalu memberikan pesan-pesan kepada generasi milenial, anak-anak muda sekarang. Marilah kita mulai menggalakkan apa yang menjadi punya kita. Saya selalu mencontohkan diri saya. Saya tidak sekolah seperti teman-teman yang punya kesempatan sampai harus kuliah di luar negeri atau di mana. Tapi saya dari lulusan SMK atau dulu disebut SMKK, bisa punya pengalaman yang lebih dan yang saya tidak pernah harapkan. Saya mengajarkan mereka bahwa ternyata dengan saya mengelola apa yang selama ini kalian lupakan, saya bisa ke mana-mana.
ADVERTISEMENT
Bahwa ternyata dengan mulai menggalakkan makanan lokal, menggalakkan resep tradisional atau mengumpulkan bahan-bahan yang autentik, itu menjadi bagian dari apa yang dipikirkan pemerintah selama ini. Apa yang dipikirkan Pak Jokowi dengan mengembangkan kembali, mengembalikan kedaulatan pangan, atau mengumpulkan kembali bahan-bahan lokal. Sehingga Indonesia juga semakin kaya, dengan kita berbicara banyak resep yang ada di Indonesia.
Salah satu contoh Kemarin saya baru titip ikan kuah hitam dipresentasikan untuk acara Chef Expo di JIExpo Jakarta. Saya menitip mereka resep-resep ikan kuah hitam untuk dipresentasikan di acara itu. Berharap itu menjadi bagian dari kekayaan makanan Indonesia .