news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Buat Sertifikasi Halal, Ini 8 Hal yang Perlu Dilakukan Pebisnis Ghost Kitchen

26 November 2021 12:03 WIB
ยท
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi bisnis ghost kitchen Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi bisnis ghost kitchen Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Sertifikasi halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah sejak lama menjadi salah satu syarat wajib untuk usaha kuliner di Tanah Air. Bukan sekadar menilai kehalalan suatu makanan, melainkan pula memastikan mulai dari bahan, proses, hingga penyajian menggunakan sistem yang bersih dan sehat.
ADVERTISEMENT
Hal ini tentu juga perlu diperhatikan oleh para pengusaha ghost kitchen. Tren bisnis kuliner seperti ini berkembang pesat semenjak pandemi COVID-19. Situasi pandemi membuat sistem delivery makanan menjadi pilihan yang dinilai paling aman.
Hal ini turut semakin mengembangkan popularitas ghost kitchen, yang mana merupakan bentuk usaha berupa dapur dari suatu merek restoran. Dengan menjalankan konsep bisnis ini, para pelaku usaha tidak perlu mengeluarkan biaya untuk membuka tempat makan maupun restoran.
Kehadiran dan eksistensi ghost kitchen atau yang juga disebut cloud kitchen, perlu didukung legalitas, salah satunya sertifikasi halal. Mengingat peraturan pemerintah mengenai kewajiban sertifikasi halal sudah tertuang dalam UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH).
Ilustrasi produk halal. Foto: Shutterstock
Lantas bagaimana cara untuk mendapatkannya? Mengutip laman resmi LPPOM MUI, Ir. Hendra Utama, MM, Penasihat Komunikasi LPPOM MUI menjelaskan mengenai beberapa hal yang perlu dilakukan bagi pelaku usaha dengan model bisnis ghost kitchen untuk mendapatkan sertifikasi halal sebagai berikut:
ADVERTISEMENT

1. Peran pengelola ghost kitchen

Untuk bisa menjaga Sistem Jaminan Halal (SJH) yang diterapkan perusahaan, maka pengelola ghost kitchen dapat berperan dalam beberapa aktivitas. Misalnya, dalam pengadaan atau pembelian bahan, urusan logistik, hingga proses produksi. Artinya, dengan kriteria tersebut, maka siapa pun yang bekerja sama dengannya sudah mempunyai kesadaran untuk menerapkan SJH secara baik. Dari peran yang akan dimainkannya dalam mendukung penerapan sistem yang sudah dikembangkan.

2. Peran pemilik jasa ghost kitchen

Hal yang perlu diperhatikan selanjutnya untuk mengembangkan, menerapkan, dan mengevaluasi penerapan SJH, adalah diperlukannya sebuah tim. Tim yang berasal dari semua bagian penanggung jawab aktivitas kritis penerapan SJH; yang mempunyai kompetensi cukup mengenai persyaratan sertifikasi halal dan menerapkan seluruh kriteria SJH.
ADVERTISEMENT
Untuk senantiasa menjaga kompetensi, pemilik harus mengikuti pelatihan secara internal dan eksternal dalam periode tertentu untuk memantapkan pengetahuan yang berkaitan dengan penerapan SJH.

3. Menjaga substansi halal

Ilustrasi dapur ghost kitchen Foto: Shutter Stock
Diketahui, terdapat tiga faktor yang menjadi substansi halal. Di antaranya ada bahan, produk atau menu, dan fasilitas produk. Semua bahan yang digunakan di semua fasilitas dapur termasuk gudang beku, gudang dingin, dan gudang kering harus memenuhi persyaratan halal. Begitu juga, semua produk yang didaftarkan harus memenuhi persyaratan halal. Serta, fasilitas yang akan mendukung keduanya juga senantiasa terjaga dari bahan haram dan najis.

4. Mengelola risiko

Seluruh aktivitas kritis yang menjadi tanggung jawab penyedia jasa ghost kitchen harus dikontrol atau dikendalikan. Adapun beberapa aktivitas kritis yang menjadi tanggung jawab penyedia jasa ghost kitchen; yakni pemeriksaan bahan datang, penyimpanan bahan, pengolahan/proses produksi, penanganan bahan dan produk/menu, pencucian, dan pengangkutan produk/menu.
ADVERTISEMENT

5. Sistem mampu telusur

Guna memastikan semua bahan, proses produksi, hingga fasilitas produksi memenuhi persyaratan halal, maka harus dibangun sebuah sistem mampu telusur (traceability system).

6. Penanganan produk/menu yang tidak memenuhi kriteria halal

Ilustrasi halal dan haram. Foto: Shutterstock
Jika ditemukan produk atau menu yang tidak memenuhi halal karena kegagalan pengendalian dalam penerapan SJH, maka harus ada sebuah mekanisme yang memastikan bahwa produk atau menu tersebut harus ditangani secara baik.
Produk atau menu yang tidak memenuhi kriteria halal tersebut harus dipisahkan dan kemudian ditetapkan sebagai produk non halal. Untuk selanjutnya, bisa dimusnahkan atau dijual pada konsumen yang tidak memerlukan produk halal.

7. Evaluasi Penerapan SJH

Dalam rangka memastikan bahwa SJH sudah dilaksanakan secara efektif, maka diperlukan adanya proses evaluasi; yang dilakukan melalui audit internal dan kaji ulang manajemen. Audit internal halal dilakukan oleh auditor yang kompeten dan independen atas area yang diauditnya.
ADVERTISEMENT
Kemudian, hasil audit internal atau mungkin juga pada audit eksternal dapat dijadikan sebagai input untuk didiskusikan pada forum kaji ulang manajemen. Sehingga isu halal yang solusinya memerlukan keputusan manajemen puncak bisa diketahui dan ditetapkan.

8. Pemilik produk

Peran pemilik produk dalam penerapan SJH tentu harus berangkat dari komitmen bahwa hanya akan memproduksi produk atau menu yang halal saja. Termasuk dari saat ide pembuatan produk baru digulirkan, dan memastikan pemilihan bahan berasal dari produsen yang memenuhi persyaratan halal.
Adapun aktivitas kritis yang mungkin dilakukan oleh pemilik produk, antara lain seperti pemilihan bahan, pembelian bahan, pengangkutan bahan/produk/menu dan penyimpanan produk/menu.
Nantinya, semua detail yang berkaitan dengan pemilik dapur dan pemilik produk dalam rangka memenuhi persyaratan halal, harus dijelaskan dalam Manual SJH dan dokumen turunannya (prosedur, instruksi kerja, dan daftar periksa/isian).
ADVERTISEMENT
Reporter: Destihara Suci Milenia