Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
Jam menunjukkan pukul 12 siang. Sebuah warung sederhana yang berlokasi di tengah bangunan perkantoran megah tampak ramai. Bangunan berukuran 3x3 meter tersebut dipenuhi oleh berbagai tipe orang, dari karyawan kantoran, sopir ojek online, hingga tukang bangunan.
ADVERTISEMENT
Dalam etalase meja berbentuk seperti huruf ‘L’, berjajar piring-piring berisikan aneka macam hidangan, mulai dari orek tempe, cumi asin, telur balado, hingga tumis kacang panjang.
“Pan mangan karo apa, Mas?” tanya si penjual, yang kalau dibahasa Indonesiakan, kurang lebih memiliki arti, “Mau pesan apa, Mas?”
Si pengunjung menunjuk kaca etalase seakan-akan itu adalah teknologi layar sentuh. Lalu, dengan cekatan, penjaga warung makan menyendoki lauk dan menaruhnya di piring yang sudah lebih dulu dipenuhi nasi.
Warteg, atau warung tegal adalah sebuah konsep warung makan sederhana, yang seringkali lokasinya berada di pinggir jalan. Lucunya, walau warung-warung tegal yang banyak jumlahnya ini tak melulu satu kongsi, menu yang disajikan tetap seragam, yakni menu makanan sehari-hari orang Indonesia.
ADVERTISEMENT
Inilah yang mungkin membuat keberadaan warteg sangat lekat dengan kehidupan masyarakat Nusantara. Porsi yang melimpah, dengan harga yang ramah di kantong jadi keuntungan dan alasan mengapa warteg banyak dituju untuk memuaskan rasa lapar.
Menariknya, warteg bisa ditemukan di hampir setiap sudut kota. Bukan kota Jakarta saja, melainkan hampir di seluruh penjuru Indonesia. Apalagi, daerah perantauan jadi sasaran yang berpeluang besar bagi usaha warteg.
Hal ini pun diiyakan oleh Yono Daryono, budayawan asal Tegal. Menurutnya, persebaran dari bisnis warung tegal sudah merata hingga di luar wilayah Tegal, bahkan sampai ke luar Indonesia.
“Oh, sekarang (warteg) sudah merata se-Indonesia. Bukan hanya di Jakarta atau Jabodetabek, di Semarang, Jogja, dan kota-kota besar sudah ada warteg semua. Bahkan Sastoro (Ketua Umum Pusat Koperasi Warung Tegal) menilai bahwa warteg sudah ada sampai ke luar negeri,” jelasnya pada kumparanFOOD.
ADVERTISEMENT
Kepopuleran warteg hingga ke luar Indonesia juga ditegaskan oleh Asmawi. Penasihat Asosiasi Koperasi Warteg tersebut mengungkapkan bahwa warteg juga sudah dapat ditemukan hingga di Arab Saudi.
“Kebanyakan mereka (warteg) ada di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Palembang, bahkan sekarang sudah ada warteg di luar negeri, terutama di Arab Saudi. Di daerah-daerah yang ada perantauan orang Tegal, biasanya mereka juga menggunakan kesempatan itu untuk buka warteg,” terangnya.
Di kota Busan, Korea Selatan, ada sebuah rumah makan bernama Warteg Gembul yang jadi pelipur orang-orang Indonesia yang merindukan cita rasa khas Nusantara. Pemiliknya, Mustafa Yani adalah WNI yang sudah tinggal selama 12 tahun di Korea Selatan.
Di warung makannya itu, beragam menu rumahan Indonesia seperti ketoprak, tumis buncis, tahu isi, ayam bakar, hingga pepes tahu teri dapat dipesan oleh para pengunjung.
ADVERTISEMENT
Ketenaran warteg tak cuma sebatas di benua Asia saja. Gaungnya terdengar hingga di belahan dunia Eropa, tepatnya di Belanda dan Jerman. Para diaspora seakan melihat betapa peluang bisnis kuliner Indonesia--khususnya yang berkonsep warung terbuka lebar di sana.
Waroeng Adji, misalnya. Memilih lokasi di ibu kota Belanda, yakni Amsterdam, Budi Santoso (pemilik warung) mencoba menghadirkan menu-menu khas warteg seperti tempe orek, telur balado, cah tauge, urap, hingga nasi goreng.
Rasanya yang disebut-sebut autentik membuat pelanggannya rela jauh-jauh datang dari luar kota hanya demi melepas rindu akan cita rasa Indonesia. Bahkan, bukan hanya orang Indonesia saja yang mencari kenikmatan hidangan Nusantara, namun orang-orang asing pun terbius dengan kelezatannya.
Maria Utomo, pemilik dari Warung Isaku-iki yang berlokasi di Den Haag, Belanda, dalam wawancaranya dengan BBC mengungkapkan, banyak orang asing yang mengunjungi restorannya tersebut untuk mencicipi kuliner Indonesia.
ADVERTISEMENT
Seakan tak ingin melewatkan kesempatan, ia pun memanfaatkan momen tersebut untuk ‘berdiplomasi rasa’, mengenalkan Indonesia lewat hidangannya.
“Kalau orang Belanda biasanya kenalnya cuma bakmi, sate, gado-gado. Atau nasi rames, dan sayur lodeh. Nah suatu waktu ada tamu yang makan gado2 terus. Saya bilang, ini coba karedok. Eh minggu depan dia cari karedok lagi. Saya bilang, sekarang makan yang lain, ketoprak. Saya jelaskan lagi,” kisah Maria seperti dikutip dari BBC.
Sama seperti Budi dan Maria, mantan atlet bulu tangkis nasional kawakan, Bram Ferdinand dan istrinya, Diah Nurhadiati juga mencoba peruntungannya berdagang menu-menu rumahan tersebut di negeri orang. Kota Berlin di Jerman jadi pilihannya untuk mendirikan restoran.
Embel-embel warung tegal semakin pantas untuk disematkan, mengingat Bram sejatinya berasal dari Kota Bahari. Rumah makan yang telah mereka rintis sejak 12 tahun lalu itu berusaha memboyong beragam rasa Nusantara. Tak kurang sebanyak 20 pilihan menu khas Jawa, lengkap dengan sajian sambal mereka sajikan setiap harinya.
ADVERTISEMENT
“Saya mengunjungi restoran ini setelah cukup lama tidak makan masakan Indonesia, karena sedang liburan keliling Eropa. Bersyukur banget ada restoran ini di Berlin. Terpuaskan lidah saya yang ndeso ini,” ujar sebuah akun bernama IkengJ dalam ulasannya terhadap Restoran Nusantara di Trip Advisor.
Agaknya, menu warteg yang sebagian besar memang merupakan masakan rumahan orang Indonesia, mampu menjadi pengobat rindu bagi mereka yang jauh dari Tanah Air. Betapapun ia terlihat sederhana, warteg adalah potret dari rumah makan khas Nusantara yang tiada duanya, menghadirkan kehangatan selayaknya tengah berada di rumah.
Simak ulasan lengkap konten spesial kumparan dengan follow topik Seribu Rasa Warteg .