Hangat dan Ringan, Semangkuk Bubur Bali untuk Memulai Hari

30 April 2019 20:22 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Warung Bubur Bali Ni Wayan Arini. Foto: Toshiko/Kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Warung Bubur Bali Ni Wayan Arini. Foto: Toshiko/Kumparan
ADVERTISEMENT
Agak sulit menemukan tempat makan di daerah Pejeng, dekat bagian timur Ubud. Memang, tempat ini jauh dari hingar bingar. Rata-rata yang datang ke Pejeng untuk menyepi. Menjauhkan diri sejenak dari keramaian kota.
ADVERTISEMENT
Mencari makanan di sana pun agak sulit. “Di sini agak sulit cari makan. Paling yang buka juga warga sekitar. Tapi dekat sini ada bubur bali. Harus coba,” ungkap Etha, pemilik Omah Apik, pada kumparan (28/4). Omah Apik adalah tempat kami menginap.
Mengikuti peta yang dibuat kami menemukan sebuah warung. Lebih mirip warung sembako. Bahkan,tak ada tulisan ‘jual bubur bali’. Namun, ada beberapa orang sedang menikmati bubur di depannya. Ternyata itu yang dimaksud: Warung Bubur Bali Ni Wayan Arini.
“Saya sudah jualan dari sekolah. Tadinya numpang, sekarang nyambi buka warung,” jelas Arini (48), sambil menyediakan semangkuk bubur untuk saya.
Warung Bubur Bali Ni Wayan Arini. Foto: Toshiko/Kumparan
Bubur yang disajikan berwarna kuning. Sempat berpikir kalau itu kaldu ayam laiknya bubur ayam di Jakarta. Ternyata kuah kuningnya berasal dari kunyit, bawang putih, kencur, dan cabai merah.
ADVERTISEMENT
Bubur bali cenderung encer dan nasinya tidak halus betul. Rasanya dominan kencur dan kunyit. Kemudian ada sayur bayam sebagai seratnya. Hangat dan menyehatkan. Menurut Ariani, opsi lain dari sayur bayam adalah daun singkong. Tergantung yang ada di pasar.
Warung Bubur Bali Ni Wayan Arini. Foto: Toshiko/Kumparan
Kepada kumparan, Ariani mengungkap bahwa ia mempersiapkan buburnya dari jam 04.00. Mulai buka sekitar 07.00 sampai 11.00; tergantung sehabisnya. Satu hari, ia bisa menjual satu belanga bubur.
Pemandangan makan warga sekitar yang makan bubur sambil berbincang pun mencuri perhatian. Beberapa sibuk menambahkan sambal, beberapa lainnya memesan mangkuk kedua. Walau suasana jalan sepi, minimal ada satu sampai dua orang yang mampir ke warung milik Ariani.
“Sekarang sudah tidak ada yang mau (jualan). Kok cuma jualan bubur saja? Paling satu mangkuk tiga ribu, lima ribu. Tidak dihargai. Tapi hanya ini yang saya bisa,” tutup perempuan paruh baya tersebut.
ADVERTISEMENT