Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Walau tidak pernah keliling dunia, kamu pasti pernah melihat bangunan Stonehenge , setidaknya lewat poster ataupun wallpaper. Tumpukan batu monumen bersejarah di Inggris ini sangat ikonik —berdiri ratusan tahun lamanya dengan fungsi dan estetika yang menarik serta penuh misteri.
ADVERTISEMENT
Uniknya, sebuah studi telah menemukan gambaran menu makanan para pekerja pembangun Stonehenge, hingga perayaan pesta pada zaman itu. Sstt, studi itu mengungkapkan menu makanan mereka tak vegan friendly, lho.
Mengutip History, kamu mungkin akan kaget bila mengetahui bahwa nenek moyang Neolitikum sudah tahu cara mengadakan pesta jauh berabad-abad lamanya. Penemuan ditemukan oleh beberapa arkeolog dalam himpunan universitas di Inggris, bekerja sama dengan pameran English Heritage, berjudul Feeding Stonehenge.
“Lebih dari 4.500 tahun telah berlalu sejak bagian utama Stonehenge dibangun,” kata kurator Susan Greaney kepada The Guardian. “Namun berkat kecanggihan teknik yang sekarang kami miliki untuk menentukan usia dan mengidentifikasi bahan kimia, kami dapat menyimpulkan makanan apa yang dikonsumsi di sana --dari pecahan makanan yang tertinggal di pot dan dari tulang yang tertinggal di tanah.”
ADVERTISEMENT
Mereka menganalisis sisa makanan dan lemak dalam pot dan tulang yang tersebar di sekitar Durrington Walls. Pemukiman ini berada sekitar 2,4 kilometer dari Stonehenge, dan diyakini sebagai tempat istirahat para pekerja bangunan selama kira-kira 50 tahun —dimulai sekitar 2.500 SM.
Daging dan susu, menu makanan nenek moyang Neolitikum
Di sana, mereka menemukan bukti kebiasaan makan yang penuh dengan konsumsi daging dan produk susu. Namun, kehadiran makanan olahan susu menimbulkan teka-teki, karena pola makan ini berbeda dari bukti yang ditemukan di situs Neolitikum lain --yang lebih berbasis tumbuhan.
Selain itu, sebelum penemuan ini, bukti genetik telah menunjukkan bahwa orang-orang dari era itu kemungkinan besar tidak toleran terhadap laktosa dalam susu. Hal itu membuat profesor Universitas York Oliver Craig dan rekannya menyimpulkan bahwa susu sapi tidak akan dikonsumsi secara langsung, tetapi akan diubah menjadi keju atau yoghurt —agar bisa dikonsumsi orang yang intoleran susu.
ADVERTISEMENT
“Kami juga berpikir bahwa bahan makanan berbahan dasar susu ini memiliki makna khusus. Mereka mungkin dikaitkan dengan kemurnian atau kesuburan, misalnya, dan dikonsumsi di area khusus,” katanya.
Mengenai daging yang dikonsumsi, sejauh ini hewan yang paling populer adalah babi. "Ada potongan kerangka babi, yang berasal dari periode ini, di semua tempat," ungkap kurator Greaney.
Namun, para pembuat Stonehenge tidak hanya memakan daging babi, mereka, secara harfiah, mempermanis bahan makanan itu sebelum dikonsumsi. Ditemukannya pembusukan pada gigi babi, menunjukkan kalau mereka diberi makan makanan manis yang mengandung madu, sebelum disembelih dan dipanggang untuk disantap.
Budaya ‘buang-buang makanan’ dari zaman Neolitikum
Semua tanda ini menunjukkan pada satu fakta —Stonehenge dan Durrington Walls sangat lekat dengan perayaan mewah. Di sebagian besar situs arkeologi lain, kamu akan menemukan laporan tentang sedikit sisa daging dari tulang hewan yang dikonsumsi. Namun, hal ini tidak terjadi di Durrington Walls, peneliti menemukan tulang dengan daging yang setengah dimakan tersebar di banyak tempat.
ADVERTISEMENT
"Ini bisa menjadi budaya membuang-buang (makanan) pertama di negara ini," kata Greaney. Dan, menurut Craig, “Orang-orang membunuh hewan, mengikatnya, dan memakannya dalam skala besar. Pasti pertunjukan yang mewah.”
Kehidupan mewah para pembuat Stonehenge bukanlah perayaan setiap hari yang mereka jalani. Tentu saja, buah dan sayuran menjadi menu makanan yang lebih sering mereka konsumsi. Setidaknya, penemuan ini dapat menjadi gambaran tentang kehidupan para pekerja yang berhasil membangun warisan bersejarah itu di masa lalu.
Reporter: Natashia Loi