Kenapa Restoran Indonesia Belum Ada yang Dapat Gelar Michelin Star?

16 Mei 2024 10:00 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Michelin Red Guide book Foto: dok.michelin
zoom-in-whitePerbesar
Michelin Red Guide book Foto: dok.michelin
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sudah banyak restoran di berbagai negara yang mendapat gelar Michelin Star. Bahkan negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand pun memiliki restoran hingga tempat makan kategori 'street food' yang telah mendapat gelar bintang Michelin.
ADVERTISEMENT
Lantas, kenapa, sampai sekarang, restoran Indonesia belum ada yang mendapat gelar Michelin Star?
kumparanFOOD berbincang dengan praktisi dan penulis kuliner, Kevindra Soemantri beberapa waktu lalu (29/4). Kevindra menjelaskan kenapa sampai saat ini belum ada satu pun restoran Indonesia yang mendapat Michelin Star.
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, kumparan diajak Kevindra untuk memahami dan sedikit kilas balik mengenai sejarah Michelin Star. Kevindra menjelaskan awal mula Michelin Star pertama kali meluncurkan buku panduannya adalah pada tahun 1900-an.
Perusahaan ban itu meluncurkan Michelin Guide, sebuah buku berisi daftar fasilitas umum seperti restoran, penginapan, dan bengkel yang dibuat khusus untuk para sopir di Prancis. Mereka juga secara khusus dan cuma-cuma membuat ulasan serta penilaian kepada banyak restoran di Eropa.
ADVERTISEMENT
Seiring berjalannya waktu, daftar fasilitas umum, terutama restoran pun semakin bertambah. Pada tahun 1926, diperkenalkan sistem rating yang menunjukkan kualitas suatu restoran yang ada dalam daftar Michelin Guide.
Ilustrasi Michelin Guide. Foto: Alexandros Michailidis/Shutterstock
Michelin Star membagi gelarnya menjadi empat kategori. "Pertama, (dari yang terkecil) 'sustainability award', ini adalah penghargaan bagi restoran yang punya program sustainabilty yang bagus sekali. Dia bintang Michelin tapi warnanya hijau," jelas laki-laki yang juga disapa Kevin itu.
Kemudian, lanjut Kevin, gelar kedua adalah 'Michelin Plate'; ini adalah restoran-restoran yang dipilih oleh Michelin karena dia menarik atau punya potensi yang besar.
Selanjutnya, Michelin juga memiliki kategori gelar 'Bib Gourmand' yakni penghargaan bagi restoran yang enggak dapat bintang tapi kualitasnya mirip dengan satu bintang, dan harganya biasanya lebih terjangkau. Restoran dengan kategori ini juga dinilai memiliki potensi besar untuk mendapat satu bintang.
ADVERTISEMENT
"Nah, yang keempat adalah kategori tertinggi mereka 'Bintang Michelin', ini pun terbagi menjadi bintang satu, dua, dan tiga," tambah laki-laki berusia 31 tahun tersebut.
Kevin mengatakan, untuk bintang satu, biasanya diberikan kepada restoran berkonsep fine dining, punya pilihan menu tasting menu, a la carte, dan punya wine yang bagus. Sedangkan bintang dua, restorannya telah memiliki kriteria dari semua elemen di bintang satu; namun Michelin akan lebih teliti lagi dalam menilai kualitas pelayanan, koleksi wine, dan seberapa advance makanan itu dibuat.
"Bintang tiga adalah an exelent gastronomy worth tour, ngomongin mulai elemen koleksi wine, teknik masakan, service, sampai detail penempatan karpet, bunganya, corak di kayunya, pencahayaan, musiknya, segitu detail-nya, harga makanannya bisa semahal, dengan bahan baku terbaik yang diterbangkan langsung dari berbagai negara, mereka show off bahan baku juga," tutur Kevin.
ADVERTISEMENT
"Ini gambaran penjelasan kasarnya, ya, saya tidak pernah tahu, karena sebenarnya Michelin tidak pernah membuka metodologinya mereka."
Ilustrasi restoran fine dining. Foto: Alexsuh/Shutterstock
Selanjutnya, Kevin kembali menjelaskan, untuk sebuah restoran tersebut bisa mendapat gelar Bintang Michelin, ternyata sebuah negara harus melakukan kerja sama dengan mereka terlebih dahulu. Peraturan ini baru mulai muncul sekitar tahun 2007-2008.
"Setelah tahun 2007-2008, saat Michelin pertama kali mengeluarkan edisi Jepang, Michelin itu mengubah bisnis modelnya. Dulu buku panduan Michelin itu full dana dikeluarkan oleh Michelin, ketika mereka mau nerbitin edisi buku negara-negara, mereka turun tangan sendiri," ujar Kevin.
"Nah, rupanya seiring berjalan waktu, Michelin melihat bahwa ketika suatu kota atau negara muncul panduan Michelin, pariwisata, terutama culinary tourism mereka meningkat dan itu cukup drastis."
ADVERTISEMENT
Dari situ Michelin melihat satu model bisnis baru. Mereka lantas mengubah bisnis model mereka dalam bentuk 'partnership'. Mereka akan menerima tawaran partnership dengan Kementerian Pariwisata di sebuah negara.
"Jadi, kalau sekarang kita melihat kayak Singapura, Thailand, Malaysia, Vietnam, dan lain sebagainya, mereka semua kerja sama dengan Kementerian Pariwisata negara masing-masing untuk mengundang Michelin," kata Kevin.
Bukan hanya mengundang, negara tersebut juga harus membayar license fee setiap tahun dan itu resmi. Biaya tersebut sekitar 750 ribu sampai 1,5 juta dolar AS tergantung perjanjian.
"Nah, kenapa Indonesia belum ada yang mendapat gelar Michelin? Jawabannya adalah, ya karena itu pemerintah kita belum ber-partnership dengan Michelin dan kita belum ada inisiatif membayar untuk mengundang Michelin ke sini," ucap Kevin.
ADVERTISEMENT
Kevin turut menyayangkan hal ini, padahal menurutnya, masyarakat Indonesia sudah sangat banyak yang mengenal dan memahami Michelin Guide. Terutama untuk masyarakat kelas menengah ke atas.

Jadi, seberapa penting gelar Michelin buat sebuah restoran bahkan sebuah negara?

Ilustrasi dapur restoran Foto: Shutter Stock
Kevin pun menjawab, "kalau pemerintah Indonesia mau meningkatkan fokus pada quality tourism, menurut saya, pemerintah harus, sih investasi ke sini."
Ini karena, Kevin mengatakan, ada banyak keuntungan bagi sebuah negara saat memiliki restoran bergelar Michelin Star. Kevin mencontohkan Thailand, negara ini membuat laporan dan mengakui bahwa culinary tourism mereka meningkat begitu Michelin Guide masuk.
Tak hanya itu, peningkatan booking restoran di Thailand mencapai 10-35 persen. Peningkatan ini juga berdampak pada sektor lain seperti pendapatan, pajak, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
"Mereka yang biasanya foodtourist atau gastronomy tourist, mereka itu adalah wisatawan intelektual. Nah ini yang penting, wisata intelektual dan quality tourism. Kita selama ini di Indonesia mulai menggaungkan quality tourist," ujar Kevin.
"Makanya Michelin itu sebenarnya salah satu senjata kalau kita mau attrack quality tourist, karena Michelin sudah punya reputasi dalam hal kuratorial restoran."
Kevin juga menyebut bahwa menurutnya banyak restoran Indonesia yang memiliki potensi untuk mendapat gelar Bintang Michelin.
HawkerChan, Restoran Michelin Star di Singapura. Foto: Anggita Aprilyani/kumparan
"Saya menjawab dengan cukup percaya diri, at least, bintang dua ada banyak yang bisa dapat di Indonesia, dan terpecah kebanyakan di Bali dan Jakarta karena dua kota ini mejadi destinasi bisnis, dan entertainment dan tourism," katanya.
Kevin menyebutkan pula beberapa restoran Indonesia yang berpotensi itu, seperti Kaum, Plataran, Tesate, Tugu Koenstring, Semaja by Ismaya, dan Daun Muda.
ADVERTISEMENT
Dia juga menyoroti, jika Michelin Guide bisa masuk ke Indonesia, maka masyarakat bisa lebih teredukasi dengan mengenai kuliner yang menjadi identitas suatu bangsa. Hal ini juga dia harapkan bisa mengurangi peluang tren kuliner yang menurutnya kian "ngawur" atau berantakan.
"Dengan adanya Michelin Guide ini harapannya adalah, mengurangi chance untuk semakin ngawurnya dunia F&B Indonesia. Jadi opini-opini reviewer yang selama ini menjadi pegangan publik, dengan adanya Michelin Guide ini bisa mengembalikan kredibilitas lembaga-lembaga yang selayaknya mengeluarkan itu," pungkasnya.