Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Kisah Haru dalam Sepotong Kue Mooncake, Makanan Khas Musim Gugur di China
30 September 2020 15:37 WIB
ADVERTISEMENT
Mooncake atau kue bulan merupakan sajian wajib khas Festival Musim Gugur di China. Sebagai salah satu perayaan terbesar di Negeri Tirai Bambu, biasanya jatuh pada setiap hari ke-15 bulan 8 penanggalan Tionghoa, yang tahun ini jatuh pada 1 Oktober 2020.
ADVERTISEMENT
Festival Pertengahan Musim Gugur ini mirip seperti perayaan Thanksgiving di Amerika Serikat. Hanya saja, jika Thanksgiving orang memanjatkan syukur karena hasil panen yang melimpah, maka pada Festival Musim Gugur rakyat justru mensyukuri awal panen sebelum memasuki musim dingin.
Festival ini menjadi unik lantaran para pelakunya wajib menyajikan mooncake. Sebelum menjadi sajian dalam sebuah festival kuliner, kue tradisional ini dibalut oleh legenda mengharukan dari kisah cinta sang Dewi Bulan.
Sajian kue berbalut legenda cinta sang dewi bulan
Hampir setiap makanan khas China memiliki filosofi dan kisah menarik di belakangnya, tak terkecuali mooncake. Kue ini memiliki legenda yang cukup mengharukan membalut dalam setiap sajiannya.
Kumparan pun penasaran akan legenda di balik kenikmatan makanan tradisional ini. Kami mencoba menanyakan kepada pakar kuliner William Wongso yang juga merupakan keturunan Tionghoa.
ADVERTISEMENT
Om Will begitu sapaan akrabnya mengisahkan, konon, dahulu ada legenda tentang sepasang suami-istri Hou Yi dan Cheng Er. Dahulu, Hou Yi adalah seorang pemanah yang berhasil memanah 9 dari 10 matahari. Dia 'menghancurkan' dan menyisakan satu matahari agar tidak menyebabkan kekeringan.
Keberhasilannya membuat Hou Yi dihadiahi sebotol ramuan yang bila diminum akan membuatnya hidup abadi. Namun, ramuan itu harus dibagi dengan istrinya, Chang Er, supaya mereka bisa hidup berdampingan selamanya.
Singkat cerita, Chang Er lalu membuka ramuan tersebut dan menenggaknya hingga habis. Karena overdosis, Chang Er lalu pingsan dan terjatuh ke lantai dan pada saat yang sama tubuhnya melayang ke langit dan membawa satu benda yang dijadikan sebagai pegangan. Benda itu ialah kandang kelinci.
ADVERTISEMENT
Chang Er pun lalu terdampar di bulan (bersama kelincinya) dan berubah menjadi Dewi Bulan. Sampai sekarang pun terdapat kepercayaan bahwa kelinci itu bisa terlihat jika bulan sedang bulan purnama.
Untuk mengobati kerinduan akan istrinya, maka setiap tanggal 15 bulan 8, Hou Yi menyisihkan waktu untuk menanti Chang Er. Ia duduk minum teh dan menyantap kue bulan sembari menunggu Chang Er dalam balutan bulan purnama.
"Jadi setiap pertengahan musim gugur, di mana bulannya paling terang masyarakat itu menyajikan makanan untuk supaya menarik agar Chang Er mau pulang ke bumi. Itu prinsip legendanya kurang lebih. Tapi sekarang kan sudah menjadi suatu komoditi festival yang hanya ada saat festival saja, hari-hari biasa enggak ada," tuturnya saat kami hubungi melalui sambungan telepon, Selasa (29/9).
ADVERTISEMENT
Beda negara, beda tradisi penyajian mooncake
Selain legenda yang menarik, mooncake juga unik karena memiliki tradisi penyajian yang berbeda di setiap negara. Misalnya saja, Om Will membeberkan bahwa jenis mooncake di Tiongkok merupakan kue kecokelatan dengan aneka ukiran di atasnya.
Umumnya berisi pasta kacang merah yang dimasak hingga menghitam, dan kuning telur asin. Jadi memiliki perpaduan rasa manis dan asin dalam satu gigitan. Namun ada juga yang menggunakan isian pasta biji teratai.
Sementara di Indonesia, kue seperti ini memang dapat juga kita jumpai. Namun, kue bulan bulat berwarna putih --tanpa ukiran-- dan dicetak dengan tulisan merah, menurut laki-laki berusia 73 tahun itu hanya ada di Indonesia.
"Kalau di Indonesia itu khasnya kue bulan yang putih, bulat ada isi cokelat, durian, kenari, yang gepeng-gepeng. Itu gak ada di tiongkok setahu aku. Kalau versi Tiongkok itu bulat, dicetak, dan warna cokelat," tambahnya.
ADVERTISEMENT
Namun, cara menikmatinya hampir sama. Biasanya mooncake akan dipotong menjadi beberapa bagian kecil, lalu semakin nikmat bila sembari meminum secangkir teh khas China atau kopi. Begitu juga dengan Om Will, ia mengaku sangat suka menikmatinya bersama chinese tea.
Meskipun kue ini merupakan salah satu makanan unik, namun kehadirannya kini mulai tergerus zaman. Tak banyak orang yang mau membuat sajian chinese pastry ini.
Sehingga Om Will pun melihat bahwa di zaman sekarang ini orang sudah tak harus mengonsumsi mooncake. Hanya orang-orang tertentu saja yang masih makan mooncake kala perayaan Festival Musim Gugur.
"Aku enggak yakin orang-orang benar-benar bisa menikmati mooncake, kalau ada ya makan. Kalau dulu kan bikinnya semua minyaknya harus minyak babi, tapi itu dulu. Makanya, kalau orang pernah makan mooncake jadul sama sekarang pasti ada perbedaan," ucapnya.
ADVERTISEMENT
Faktor kesulitan dalam membuat hingga harga yang cukup menguras kantong, menjadi beberapa alasan mooncake tak sepopuler dulu.
Untuk menikmati mooncake setidaknya kamu perlu menyiapkan uang Rp 200 ribuan per kotak berisi empat kue. Dengan ukuran diameter berkisar 10 sentimeter, dan ketebalan 4-5 sentimeter. Sedangkan, isian berupa pasta padat atau telur yang dilapisi kulit tipis sekitar 2-3 milimeter.
Meskipun begitu, bagi sebagian orang yang masih menganut tradisi ini kala merayakan Musim Gugur, menganggap makanan ini adalah sebuah simbol doa sekaligus rasa syukur yang sepatutnya tak dihentikan. Bahkan, beberapa negara mencoba kembali menghidupkan tradisi ini dengan membuat festival mooncake.
Wajar, kalau sekarang kamu bisa menemukan varian mooncake dengan isian yang unik. Bukan hanya sekadar inovasi, melainkan kehadiran mooncake aneka rasa menjadi bentuk usaha agar kuliner tradisional ini tak termakan zaman.
ADVERTISEMENT