Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
Hujan telah membasahi tanah Hanoi sejak pagi. Kala itu, hari pertama kami di ibu kota Vietnam diwarnai dengan suasana sendu —langit kelabu dan rintik air hujan. Di saat seperti ini, semangkuk makanan berkuah nan hangat tentu akan jadi pembuka hari yang sangat nikmat.
ADVERTISEMENT
Beruntung, di dekat pasar yang kami lalui, ada sebuah kedai yang menjual pho, hidangan mi beras berkuah khas Vietnam. Harum aroma kuah berempah menyeruak, membuat perut kami makin keroncongan.
Sebagai negara agraris, hasil bumi Vietnam memang didominasi oleh beras. Makanan pokoknya pun terbuat dari beras yang diolah jadi aneka hidangan bihun; salah satunya pho (dibaca: fhe). Pho bahkan telah ditetapkan sebagai hidangan nasional Vietnam, dan telah melanglang buana hingga ke berbagai negara.
Namun, meski sudah sangat populer, asal usul dari hidangan sup mi ini justru tidak jelas. Beberapa sumber mengatakan, mi beras pertama kali masuk ke Vietnam berkat para imigran Kanton yang berasal dari provinsi Guangdong, China.
Sementara, ada juga yang mengklaim kalau pho dipengaruhi oleh budaya Prancis semasa era kolonial. Meski terjadi perdebatan mengenai sejarah pho, namun banyak teori yang menyatakan kalau hidangan ini pertama kali muncul di provinsi Nam Dinh yang berlokasi di sebelah tenggara Hanoi.
Andrea Nguyen, koki keturunan Amerika - Vietnam dan penulis buku kuliner Vietnam mengungkapkan, penemuan pho kemungkinan besar terjadi pada awal abad ke-20 di sekitar Hanoi. Letak Hanoi sangat berdekatan dengan China, maka tak menutup kemungkinan bila hidangan pho dipengaruhi oleh budaya China.
ADVERTISEMENT
Bisa jadi, pho pertama diciptakan oleh seseorang yang berasal dari China dan dijual sebagai street food untuk pekerja di sekitar Red River.
Perubahan cukup besar juga terjadi pada era kolonialisme Prancis. Menurut penuturan chef Peter Cuong Franklin yang dikutip dari Michelin Guide, pho pertama kali dibuat menggunakan kaldu dari daging babi. Setelah pendudukan Prancis, baru bahan dasarnya diganti menjadi daging sapi.
Pada dasarnya, ada tiga elemen utama yang 'membentuk' semangkuk pho. Kuah kaldu sapi yang menjadi pondasi dasar hidangan, mi beras sebagai tubuhnya, dan aneka rempah hijau serta garnish yang menciptakan karakter dan cita rasanya.
Kedai yang kami kunjungi sangat kental akan suasana khas Vietnam, dengan bangku plastik berukuran pendek sebagai alas duduk. Riuh ramai pasar jadi penyemarak suasana sarapan pertama kami di Hanoi.
ADVERTISEMENT
Dengan terbata-bata, si penjaga kedai menyodorkan menu makanan yang telah dilabeli dengan terjemahan bahasa Inggris. Meski memiliki keterbatasan dalam berbahasa Inggris, senyum tetap tersungging di wajah mereka.
Hidangan yang kami pesan adalah pho bo (pho daging sapi) dengan potongan daging mentah yang dimasak langsung dengan kaldunya. Uap hangat mengepul dari mangkuk begitu ia disajikan.
Kuahnya tampak bening, dengan taburan daun seledri, daun ketumbar, daun bawang, dan rempah lainnya. Potongan daging sapi yang diiris tipis memenuhi permukaan pho, memperlihatkan guratan lemak dan tekstur nan lembut.
Suapan pertama, langung tercecap rasa gurih, agak asam, dan menyegarkan. Diiringi kehangatan yang langsung memenuhi tenggorokan. Beberapa bahan pelengkap seperti kecap asin, saus ikan, sriracha, hingga potongan cabai segar tersedia di meja dan bisa dicampurkan ke pho sesuai selera.
ADVERTISEMENT
Dagingnya terasa lembut dan empuk, memberikan sensasi lumer dan meleleh di mulut.
Menariknya, ada perpaduan budaya yang begitu kaya dalam makanan khas Vietnam yang satu ini. Ia bukanlah sekadar kreasi kuliner, tapi juga ekspresi dari berbagai aspek identitas Vietnam.
Pho senantiasa bersahaja dan demokratis, membuka diri bagi semua orang untuk merasakan dan menghargai setiap suapannya. Di sisi lain, hidangan tersebut juga mewakili sejarah Vietnam. Lahir selama periode kolonial, ia mampu bertahan dari masa ke masa, hingga akhirnya makin berkembang dan dikenal di berbagai penjuru dunia.