Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Kopi telah lama melekat dalam masyarakat Indonesia. Bisa dibilang, ia adalah bagian dari budaya Nusantara. Tiap daerah punya kopi khasnya masing-masing, dari Sabang sampai Merauke.
ADVERTISEMENT
Salah satu dari sekian jenis kopi yang ada di Indonesia, kopi luwak adalah yang termasyhur, bahkan jadi salah satu yang termahal di dunia. Proses pengolahannya yang unik dan alami --mengandalkan sistem pencernaan dari hewan luwak-- membuat harganya selangit, bisa mencapai Rp 1 juta per cangkirnya, meski ada pula yang dijual Rp 200 ribu per cangkir, tergantung kualitasnya.
Bila selama ini kita hanya tahu bahwa kopi mahal tersebut dihasilkan dari biji kopi yang ditemukan dalam kotoran luwak. Hewan jenis tupai tersebut memang memiliki insting dalam memilih biji kopi yang sudah matang. Nah, saat dicerna, biji kopi itu akan mengalami reaksi kimiawi dari enzim pencernaan luwak.
Setelahnya, biji kopi yang masih utuh pun diolah, menghasilkan cita rasa kopi nan nikmat dengan aroma yang kuat.
ADVERTISEMENT
Rupanya, kepopuleran kopi luwak --khususnya di pasar mancanegara-- membuat banyak petani justru mengurungnya di dalam kandang untuk diternakkan. Daroe Handojo, Wakil Ketua Asosiasi Kopi Spesialty Indonesia mengungkapkan, cita rasa dari kopi luwak liar dan yang diternakkan jelas berbeda.
Bila dipaksa untuk memproduksi kopi, hasilnya tak akan sebagus kopi yang dihasilkan luwak liar yang mengkonsumsinya secara alami.
"Binatang yang terkurung akan mengeluarkan sesuatu yang tidak bahagia. Walaupun dia tampak bahagia, sehat dan segala macam, tetap saja ada sesuatu yg tak bahagia masuk ke dalam kopi ini yang bisa membuat peminumnya tidak bahagia juga," ujarnya saat ditemui dalam peluncuran buku Indonesian Coffee Craft and Culture di kawasan Menteng, Jakarta Selatan beberapa waktu lalu.
Perbedaan kualitas ini juga telah diketahui oleh para penikmat kopi. Di luar negeri sana, bila kopi yang dijual adalah hasil dari luwak tangkaran, orang-orang akan enggan membelinya. Ujung-ujungnya, praktik melabeli kopi luwak tangkaran sebagai kopi luwak liar merajalela, dan imbasnya akan merusak citra dari kopi Indonesia.
ADVERTISEMENT
Daroe juga mencontohkan, salah satu jenis kopi yang menerima dampak buruk dari penangkaran luwak adalah kopi kintamani dari Bali. Saat itu, karena permintaan kopi luwak sedang tinggi, semua orang di Bali pun memelihara luwak.
Alhasil, alih-alih kopi kintamani, yang ada hanyalah kopi luwak. Namun sayangnya, karena pengolahan yang kurang tepat, cita rasa kopi yang dihasilkan malah jadi kurang nikmat. Citra dari kopi Bali pun tercoreng dan dianggap tak enak, karena yang orang-orang tahu adalah mereka menyesap kopi Bali, bukan kopi luwak.
"Nah, sekarang alangkah indahnya kalau kopi luwak berarti kopi yang dihasilkan luwak pilihan. Itu yang jadi personal goal saya," pungkas Daroe.