Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Menjelajah Warisan Kuliner Khas China di Pasar Lama Tangerang
5 Februari 2019 13:14 WIB
Diperbarui 21 Maret 2019 0:05 WIB
ADVERTISEMENT
Warisan kuliner di Indonesia tak ubahnya hasil dari perpaduan beragam budaya, sebut saja salah satunya China. Sudah sejak lama masyarakat Tionghoa ikut berperan dalam perkembangan kuliner Nusantara, misalnya lewat kecap, bakmi, atau bubur. Ketiga makanan tersebut bahkan saat ini sudah menjadi makanan sehari-hari masyarakat di Indonesia, meski punya gaya penyajian yang berbeda-beda.
Kuliner khas China ini dapat dengan mudah kita jumpai mulai dari pusat kota hingga pelosok perkampungan. Seperti di kawasan Pasar Lama, Tangerang. Dalam rangka menyambut Tahun Baru Imlek , kumparanFOOD menyempatkan waktu untuk menjelajah warisan kuliner di sekitaran pasar yang tak jauh dari Stasiun Tangerang itu.
Klenteng Boen Tek Bio, sajikan makanan gratis untuk Imlek
Kami tiba sekitar pukul 15.00 WIB. Saat itu pun kondisi pasar cukup terbilang ramai, namun jajaran pedagang kaki lima yang menjadi tujuan utama untuk datang ke tempat ini belum sepenuhnya buka. Alhasil, penelusuran kami awali dengan mengunjungi salah satu tempat ibadah bersejarah yakni Klenteng Boen Tek Bio, yang sudah berdiri sejak tahun 1684. Suara tabuhan tambur, gong dan simbal seolah menyambut kedatangan kami dan para umat yang hendak beribadah sore itu.
Menurut salah seorang karyawan Klenteng Boen Tek Bio bernama Kiat Eng, suasana seperti ini biasa dirasakan ketika menjelang Imlek . "Biasanya umat banyak berdatangan ketika pergantian malam tahun baru Imlek yakni di malam tanggal 1 dan tanggal 15. Jumlah umat yang datang ke sini sekitar 3.000 sampai 5.000 orang," ucapnya saat berbincang dengan kumparanFOOD pada Minggu (3/2).
Di klenteng dengan luas 1.000 meter persegi tersebut, dijelaskan Eng, terdapat delapan ruang ibadah yang bisa dikunjungi oleh umat kapan pun. Klenteng yang namanya memiliki arti 'Klenteng Kebijakan Tangerang' ini diakui Eng, tidak memiliki penyambutan khusus saat Imlek. Hanya saja, pihak klenteng memiliki tradisi yakni memberikan makanan gratis untuk para umat yang usai beribadah.
"Di sini kami menyediakan makanan gratis untuk dimakan bersama. Makanannya vegetarian, yang disajikan sekitar 300-400 porsi setiap malam tanggal 1 Imlek dan tanggal 15 itu. Biasanya makanan yang dihidangkan adalah bubur vegetarian seperti bubur nasi atau bubur kacang hijau atau nasi dengan lauk-lauk sayuran. Ini karena kami menghormati Dewi Welas Asih yang merupakan dewi vegetarian," tuturnya.
Berlanjut ke laksa hingga bubur kepiting pembawa hoki
Usai berkunjung ke Klenteng Boen Tek Bio, kami pun melanjutkan penjelajahan dengan mulai mencari tahu kuliner apa saja yang menjadi warisan makanan khas China di sekitaran pasar ini. Saat itu hari juga sudah semakin sore, tandanya pula kami harus mulai perjalanan kuliner kali ini. Makanan pertama yang mengundang rasa penasaran kami adalah laksa.
Menurut sejarahnya, laksa adalah sajian berkuah yang dibumbui dengan kebudayaan Peranakan, lalu digabung dengan elemen Tionghoa dan Melayu. Di Indonesia laksa terbagi menjadi dua jenis yakni laksa bogor dan laksa betawi. Namun, tetap keduanya mengandung bumbu budaya peranakan khas Tionghoa yang maka tak heran, jika makanan ini mudah dijumpai di tempat-tempat yang disebut sebagai 'kampung China' seperti Pasar Lama.
Salah satu restoran laksa yang terkenal di kawasan ini adalah Laksa Sari. Rumah makan yang berlokasi di Jalan Kiai Haji Soleh Ali No.50, Tangerang misalnya adalah pusat dari ketiga cabang Laksa Sari lainnya. Tempat makan sederhana dengan kapasitas sekitar 25 orang tersebut sudah buka sejak tahun 2013.
Laksa yang Sari (nama pemiliknya) jual adalah laksa betawi dengan gaya Singapura. Dalam seporsi laksa yang dihargai Rp 25 ribu per porsinya itu ada taoge, wortel, kemangi, tahu, bihun, telur rebus, lontong dan siraman kuah kental kuning kemerahan.
Ya, kuah laksanya terbuat dari santan dan beberapa rempah, konon ada 10 jenis rempah dengan campuran cabai rawit oranye pilihan. Laksa bihun ini semakin nikmat karena ada tambahan cita rasa gurih dari taburan ebi goreng nan renyah.
Selain laksa, di sini juga menjual makanan khas Betawi lainnya seperti gado-gado dan asinan. Kami pun juga sempat mencicipi asinannya (Rp 22 ribu) yang tampak segar. Benar saja, ketika terhidang di atas meja, tumpukan sayuran yang terdiri dari taoge, sawi asin, wortel, timun, dan kol, tampak menggoda dengan siraman bumbu asinan terbuat dari gilingan kacang. Tak ketinggalan kerupuk kuning atau kerupuk mi menjadi penambah tekstur renyah ketika disantap bersama sayuran segaranya. Sedap!
Tidak hanya sampai di situ, penelusuran pun berlanjut untuk mencari bakmi yang merupakan salah satu warisan kuliner khas China yang juga sudah menjadi makanan pokok masyarakat Nusantara. Agak masuk ke dalam gang pasar, kami menemukan Mie Ayam Kemuning. Di situ kami disambut hangat oleh pemiliknya yaitu Murjito dan istri.
Dengan senyum merekah keduanya mempersilahkan kami memilih tempat duduk, sambil sang istri mempersiapkan pesanan kami yakni mie ayam dan siomay--oiya, siomaynya terbuat dari babi ya, jadi tidak halal. Sambil menunggu, kumparanFOOD juga berbincang santai dengan pria yang akrab disapa Koh Jito itu. Diceritakannya, berdagang sudah menjadi mata pencahariannya sejak kecil dan sudah turun menurun.
ADVERTISEMENT
"Saya berdagang sejak kecil bantu orang tua. Saya dagang apa saja; mulai dari sabun, kasur hingga sekarang mi ayam yang sudah saya jalani sejak tahun 1988," katanya.
Laki-laki berusia 69 tahun itu menjelaskan alasannya berjualan mi pertama kali merupakan sebuah penemuan yang tidak sengaja. "Saat itu saya hanya mencoba-coba saja membuat mi untuk keluarga dan ternyata mereka bilang enak. Resepnya hasil coba-coba sendiri, mi hingga masakan lainnya yang ada di sini semua kami buat sendiri," tambahnya.
Di sela perbincangan, semangkuk mi ayam pun hadir menyita perhatian saya. Baunya gurih dengan tampilan mi kecil dan tipis yang lengkap bersama potongan ayam, sawi rebus dan kuah di mangkuk kecil terpisah. Mi yang dihargai Rp 25 ribu per porsinya itu memiliki cita rasa yang kenyal, lembut, asin, gurih, dan rasa lada yang kuat. Potongan ayamnya benar-benar hanya terbuat dari daging ayam utuh.
Cita rasa mi ini rupanya juga menjadi daya tarik bagi beberapa pelanggan setianya yang berdatangan bukan hanya dari warga sekitar Tangerang saja melainkan juga dari luar kota. Kedai mi yang sudah ada sejak lima tahun tersebut juga kerap kebanjiran pesanan saat Imlek tiba. Pasalnya, letak dari kedai ini memang berada di dalam pasar--yang juga dekat dengan Klenteng Boen Tek Bio, di mana banyak orang yang lalu lalang. Saat Imlek, pasar ini pun jadi lebih ramai.
Berkah Imlek rupanya juga dirasakan oleh Jito, yang meski ketika perayaannya, ia mengaku hanya merayakannya secara sederhana saja. "Saya anggap Imlek sama saja dengan tahun baru lainnya, kesibukkan hanya terasa satu hari saja. Biasa-biasa saja, tidak ada ritual khusus, hanya kumpul-kumpul sama keluarga," jelasnya.
Lain halnya dengan Ria, pedagang kue-kue khas Imlek di Pasar Lama--yang tokonya tepat berada di depan kedai Mie Ayam Kemuning. Ria dan keluarganya sudah berdagang sejak 15 tahun yang lalu. Beberapa kue yang didagangkannya ada yang hasil titipan orang dan ada yang bikin sendiri seperti kue mangkok merah.
"Imlek buat saya dan keluarga tidak ada makna tersendiri, ya biasa saja berkumpul bersama keluarga. Hanya saja memang ada ritual seperti sembahyang terlebih dahulu paginya bawa sesembahan seperti bunga atau kue, tapi tergantung kitanya juga sih. Baru setelah itu kita berkumpul dan makan-makan," jelasnya.
Sambil berdagang pun Ria juga menjelaskan, bahwa kue-kue yang dijualnya memiliki filosofi mendalam. "Di sini ada kue lapis biar rezeki kita berlapis-lapis, kalau kue mangkok supaya rezeki kita mekar seperti bentuknya. Kalau kue keranjang memang sudah menjadi adat sejak lama, yang merupakan sajian sederhana karena hanya terbuat dari gula merah dan tepung beras," jelas perempuan berambut panjang itu.
Memang perayaan Imlek bagi sebagian masyarakat Tionghoa menjadi waktu yang tepat untuk memupuk harapan baru di tahun yang baru. Maka tak heran jika masyarakat Tionghoa menempatkan harapannya bukan hanya saat beribadah saja, melainkan juga melalui makanan-makanan yang disajikannya.
Usia berbincang dengan keduanya, kami pun melanjutkan penelusuran dengan berkunjung ke Kepiting Hokie. Buka sejak enam tahun yang lalu, warung makan yang menggunakan tenda ini tampak sederhana namun ramai pengunjung. Menurut penelusuran, tempat makan ini juga dibangun oleh masyarakat keturunan Tionghoa lainnya yang berdagang di Pasar Lama sudah cukup lama.
Dikatakan pemiliknya, Rahmat, selalu menggunakan kepiting fresh (yang masih hidup) sehingga ketika dimasak rasa dagingnya segar dan manis yang membuat ketagihan para pelanggannya.
"Kami menjual kepiting fresh dan makanan kami juga tidak mengandung MSG, untuk menambah rasa gurihnya saya pakai penyedap dari bahan sayur-sayuran jadi alami," jelasnya.
Karena penasaran, kami pun langsung memesan seporsi bubur kepiting (large) dan kepiting saus hokie--nama hokie diambil dari kata hoki yang dalam Bahasa China berarti beruntung. Tak perlu menunggu lama hanya sekitar 10 menit, pesanan kami langsung mendarat ke atas meja.
Pertama kali, kami mencicipi buburnya, yang terdiri dari bubur lembut (bertekstur tidak terlalu halus) dengan gaya khas bubur China yang wangi. Bubur ini juga dilengkapi juga dengan suwiran daging kepiting, bakso ikan, daun selada, irisan daun bawang, taburan bawang goreng, dan satu buah capit kepiting. Cita rasa makanan seharga Rp 37 ribu per porsinya itu didominasi rasa gurih dan lembut dengan daging kepiting manis nan halus.
Melihat beberapa pembeli yang selain memesan bubur atau bakmi juga kebanyakan menikmati kepiting saus hokie, kami pun ‘latah’ ikut memesannya. Rupanya bukan hanya sekadar memesan, kami dipersilakan sang pemilik untuk memilih kepitingnya terlebih dahulu. Setelahnya, kepiting yang kami pilih ditimbang untuk mengetahui harganya, dan kepiting kami dihargai Rp 27 ribu.
Dijelaskan Rahmat, dalam mengolah kepitingnya ia hanya menggunakan bumbu sederhana saja yakni bawang putih dan minyak. Meskipun sederhana namun rasanya benar-benar maksimal.
Ketika dicicip, rasa daging kepitingnya lembut, cukup tebal, gurih dan manis, yang disajikan bersama saus hokie yakni saus pedas spesial khas tempat makan ini. Perlahan namun pasti kepiting saus hokie yang kami pesan pun habis tak tersisa, rasanya benar-benar, juara!
Kepiting Hokie ini sekaligus menjadi penutup penjelajahan kuliner kami malam itu. Kami pulang dengan perut kenyang, dan hati yang senang. Menjelajah warisan kuliner khas masyarakat Tionghoa di Pasar Lama Tangerang terasa menyenangkan, sehingga patut untuk diperhitungkan dan bahkan disarankan sebagai agenda wajib bagi kamu yang mengaku sebagai food hunter.
Selamat merayakan Tahun Baru Imlek !
ADVERTISEMENT