Murdijati Gardjito, yang Tak Terhenti Menelusuri Kuliner Indonesia

8 Mei 2019 19:12 WIB
clock
Diperbarui 26 Agustus 2019 15:44 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Prof. Dr. Ir. Murdijati-Gardjito, penerima Lifetime Achievement Award Ubud Food Festival 2019 Presented by ABC. Foto: Dok. Ubud Food Fest/Vifickbolang
zoom-in-whitePerbesar
Prof. Dr. Ir. Murdijati-Gardjito, penerima Lifetime Achievement Award Ubud Food Festival 2019 Presented by ABC. Foto: Dok. Ubud Food Fest/Vifickbolang
ADVERTISEMENT
"I can only express my thanks to God. At the time, I can not see the world, but the world can see what I do for my country, Indonesia,"
ADVERTISEMENT
Dibantu seorang asistennya, perempuan berusia 77 tahun itu memberikan kata sambutan. Beliau adalah Prof. Dr. Ir. Murdijati-Gardjito, Guru Besar Ilmu dan Teknologi Pangan Universitas Gadjah Mada.
Prof. Dr. Ir. Murdijati-Gardjito, penerima Lifetime Achievement Award Ubud Food Festival 2019 Presented by ABC. Foto: Dok. Ubud Food Fest/Vifickbolang
Penerima Lifetime Achievement Award Ubud Food Festival 2019 Presented by ABC ini punya minat kuat terhadap makanan tradisional Indonesia. Beliau menelusuri, mengkaji, dan meneliti makanan Indonesia sejak tahun 2003.
Selama penelitiannya, Prof Dr. Ir Murdijati-Gardjito menemukan bahwa makanan tradisional adalah pengetahuan ampuh untuk menumbuhkan jati diri bangsa. Menyadari tentang martabat nenek moyang yang seharusnya kita kagumi. Dengan demikian, semakin banyak orang yang ikut melestarikannya.
kumparan menghampiri perempuan kelahiran 21 Maret 1942 ini dua kali dalam UFF 2019. Pada kesempatan itu, kami diberikan beberapa materi tentang kuliner Indonesia. “Ini hanya sedikit, kalau saya ceritakan, bisa berhari-hari,” kelakarnya kepada kami.
ADVERTISEMENT
Meski sudah tidak bisa melihat, ingatannya tentang penelitian yang ia lakukan sangat tajam. Kepada kami ia bahkan menyebut hasil risetnya.
Dari sosok ini, kita akan belajar banyak hal. Bagaimana kecintaannya terhadap kuliner Indonesia berhasil melawan segala keterbatasannya. Berikut adalah rangkuman percakapan dengan Prof. Dr. Ir. Murdijati-Gardjito:
Prof. Dr. Ir. Murdijati-Gardjito. Foto: Kumparan/Toshiko
Bagaimana Anda memulai penelitian ini?
Saya selalu bertanya apa itu makanan Indonesia, tapi saya tidak pernah menemukan jawabannya. Itu mendorong saya untuk cari tahu soal apa dan bagaimana makanan Indonesia.
Ketika masih muda, saya adalah scientist muda, ibu muda, sekaligus seorang istri dari seorang Angkatan Udara. Saya datang dari keluarga yang sangat tradisional. Ibu saya adalah cucu dari Sultan Hamengkubuwono XII. Setiap hari, saya datang ke upacara dan yang dihidangkan makanan lokal. Saya mencoba untuk belajar bagaimana peran pangan lokal.
ADVERTISEMENT
Saya melihat di pasar tradisional, makanan tradisional selalu digandrungi. Sayangnya, ini justru tidak mendapat perhatian dan fasilitas. Padahal, bisa membantu ekonomi Indonesia.
Dari situ saya ingin mempelajari lebih lanjut. Saya sangat bangga, pada tahun 2000-an menjadi Chairperson untuk study center tentang makanan Indonesia di Universita Gajah Mada.
Saya sadar, tidak ada yang mau ikut saya untuk bekerja di situ. Kecuali anak murid saya yang bekerja hingga sekarang.
Apa pengalaman yang Anda temukan di study center tersebut?
Saya percaya bahwa suatu hari nanti makanan tradisional akan memainkan peran penting untuk negara saya.
Indonesia itu ada di posisi kedua dalam biodiversity —di bawah Brazil. Kita bisa menemukan lebih dari 200 sayuran, dan 400 jenis buah, 1400 jenis ikan, dan lebih dari 100 jenis rempah. Bila saya menceritakan tidak akan habis tujuh hari, tujuh malam.
Murdijati Gardjito, Food For Thought: Empowering Indonesian Produce. Joglo. Festival Hub @Taman Kuliner. Foto: Dok. Ubud Food Fest/Sherly Utami
Banyak yang bilang makanan Indonesia itu kaya cerita. Cerita apa yang paling menarik?
ADVERTISEMENT
Banyak sekali. Misalnya, Rendang di Minangkabau punya arti sebagai status sosial masyarakatnya. Makin besar rendangnya, maka makin tinggi status sosialnya
Rendang adalah cara menyajikan daging. Ada 31 spices di dalamnya. itu juga jadi makanan orang Minangkabau yang suka melakukan perjalan ke luar daerahnya. Bisa satu bulan dan membawa rendang untuk perjalanannya.
Sejauh yang saya teliti, ada sembilan jenis rendang di Indonesia. Sebenarnya ada banyak yang bisa jadi bahan utama rendang. Tapi yang paling kita kenal adalah daging sapi.
Di Jawa ada jajanan pasar. Itu adalah snack yang sering kita temui di pasar. Namun, belum ada yang mendefinisikannya, apa saja jenis-jenisnya. Jajanan pasar melibatkan 35 jenis kudapan. Kenapa?
Karena orang Jawa punya 35 hari yang berbeda namanya. Legi, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon. Lima dikali tujuh hari jadi 35. Jadi untuk memenuhi makanan sehari-harinya, minimal ada 35 jenis kudapan.
ADVERTISEMENT
Jajan pasar juga jadi simbol dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dari banyaknya temuan tersebut, bagaimana cara Ibu membagi hasil penelitiannya?
Social Culture Research dari alm. Prof. Koentjaraningrat mengungkap banyak etnis yang tinggal bersama di Indonesia. Itu juga yang membuat mereka memproses pangan lokal jadi makanan sehari-hari mereka.
Tidak ada literasi atau textbook saat saya mulai. Saya hanya dapat nama makanannya, tidak tahu cara memasaknya, cerita di balik makanan itu.
Kemudian, saya membaginya menjadi culinary region, dan ini berbeda dengan provinsi. Misalnya di Sumatera, saya membaginya jadi sembilan culinary region. Jawa jadi 11 region. Bali, NTB, NTT, Papua, dan Maluku, masing-masing satu.
Sulawesi ada enam, mungkin lebih dari enam. Namun, agak sulit memberikan informasi, karena sangat sedikit. Maka saya membaginya jadi enam saja.
ADVERTISEMENT
Kalimantan hanya ada tiga region: Dayak, Chinese Malay, dan Banjar. Jadi, semua Indonesia saya membaginya jadi 34 bagian.
Sementara itu soal rempah-rempah, ada lima rempah penting dalam kuliner Indonesia: bawang merah, jahe, lada, dan cabai. Namun, bila saya bagi menjadi culinary region, agak berbeda. Dan di buku saya, saya menulis soal rempah-rempah Indonesia. Bisa ditulis semua bisa jadi 300 halaman dalam bentuk laporan.
Murdijati Gardjito, Food For Thought: Empowering Indonesian Produce. Joglo. Festival Hub @Taman Kuliner. Foto: Dok. Ubud Food Fest/Sherly Utami
Sungguh luar biasa. Bagaimana tantangan yang Ibu rasakan?
Saya mengerjakan sendiri riset ini, mendanainya sendiri. Terima kasih untuk semua murid saya. Mereka juga adalah pahlawan untuk negara saya
Saya bawa riset ini ke beberapa publisher, tidak ada yang mau menerbitkannya. Karena bentuknya hanya memberikan informasi yang saya temukan. Saya berharap banyak generasi yang lebih muda untuk menajamkan riset ini. Karena saat saya mengerjakannya, saya sudah kehilangan pengelihatan saya.
ADVERTISEMENT
Coba ceritakan sedikit soal seri kuliner yang sedang Ibu garap.
Saya sangat beruntung karena Tuhan memberikan jalan. Dari funding yang saya dapatkan, akhirnya semua publish. Semua penelitian yang saya lakukan dituangkan menjadi 12 seri; total 4667 halaman tentang 5321 makanan Indonesia. Saya berikan judul Pusaka Cita Rasa Indonesia.
Satu jilid tentang minuman Indonesia, tiga tentang kudapan, tujuh tentang makanan Indonesia, dan satu lagi tentang penyerta hidangan Indonesia; seperti sambal, lalap, kerupuk, kecap, dan tempe.
Murdijati Gardjito, Food For Thought: Empowering Indonesian Produce. Joglo. Festival Hub @Taman Kuliner. Foto: Dok. Ubud Food Fest/Sherly Utami
Ibu sudah melakukan banyak hal. Apa yang masih ingin Ibu lakukan?
ADVERTISEMENT
Pertama, saya ingin menyelesaikan studi soal makanan Aceh dan menulis buku tentang food science di sana.
Sebuah pengalaman yang luar biasa, saya bisa memasukkan lima studi food science dalam satu buku. Tentang topografi, demografi, social and culture, tradisi, dan sejarah dari semua etnik. Melihat bagaimana kitchen art-nya. Dari situ saya bisa menemukan makanan mereka, bagaimana cara mereka memproses dan menikmati makanannya.
Mungkin hanya 200 lembar. Kini saya sudah ada di Jakarta dan Surakarta. Sangat luar biasa karena saya harus menulis 600 halaman tentang Yogyakarta.
Saya sedang menulis ini satu per satu. Dalam satu tahun saya hanya bisa menulis dua buku, dibantu para mantan murid saya. Mereka bukan lagi murid saya karena saya sudah tidak mengajar. Saya mencari volunteer untuk mengumpulkan sejarah dari berbagai research center. Saya mendanainya dengan uang pensiun saya. dari pemerintah.
ADVERTISEMENT
Semua anak saya sangat mendukung saya. Ini adalah cara terbaik memberikan saya aktivitas setelah saya tidak bisa melihat.
Saya juga masih punya mimpi; ingin menulis tentang jamu. Jamu adalah satu-satunya di dunia yang punya konsep healthy, tasty, and beauty of Indonesian people
Semoga Tuhan masih memberikan waktu kepada saya untuk menulisnya. Saya sudah mulai menulisnya, buku kecil tentang jamu. Namun, ini cuma sebagian kecil.
Untuk semuanya, terutama pemerintah. Saya mohon, perhatikan jamu. Saya berharap orang-orang muda membaca buku ini setelah mendengar cerita saya
Prof. Dr. Ir. Murdijati-Gardjito. Foto: Kumparan/Toshiko
Apa pesan ibu kepada food enthusiast yang kini sedang marak?
Yang penting ada selera dulu. Kalau dibikin macam-macam, pasti suatu saat akan bosan. Pasti akan kembali mempertanyakan, karena orang mulai sadar asal usul makanan ini bagaimana.
ADVERTISEMENT
Kalau dia sudah sadar betul, ketika dia makan, dia akan selalu bertanya; makanan yang masuk ke dalam tubuh itu jadi manfaat apa tidak? Kalau orang sudah ingat, maka sudah tahu asal usul
Saya percaya, makin arif orang itu, pasti akan ada di dalam status hidup berkebajikan; istilahnya wellness. Wellness ini yang hilang, mereka belum tentu menyaring informasi, tapi sudah tenggelam dalam informasi. Maka, orang jadi salah.
Misalnya, dulu saya makan harus bersila. Tidak boleh memikirkan hal lain. Itu sekarang hilang, padahal itu juga menghilangkan manfaat yang besar tentang makanan yang masuk ke dalam tubuh kita, Padahal makanan itu butuh waktu untuk dicerna. Sikap mental tertentu akan menghasilkan emosi tertentu. Kalau ke arah positif oke, kalo ke negatif?
ADVERTISEMENT
Intinya kita harus menghormati saat kita makan. Sama seperti kesan orang barat ke orang timur. Sekarang mereka pun sudah berpikir kita sama; kecuali tradisi makanan. Atau makanan yang dibuat karena tradisi. Misalnya, kalau lebaran ada lontong komplit. Itu di barat kan tidak ada.
Kalau untuk penulis kuliner, seperti saya, bu?
Semua harus ditarik dari kultur kita. Harus riset. Sekarang saya memaksa orang lain harus riset itu susah. Yang bisa saya paksa diri saya sendiri.
Sudah banyak riset soal makanan, apa sih makanan favorit ibu?
Secara makan untuk berpikir, saya suka gado-gado. Mudah dan cepat membuatnya. Semua zat makanan ada di situ.
Kedua adala gudeg. Makannan ini merupakan cipataan prajurit yang membuka hutan mendirikan keraton Mataram. Gudeg mengandung serat, kalsium, dan fosfor. Bagus untuk pencernaan dan kesehatan tulang kita. Makan gudeg secara komprehensif punya banyak manfaat.
ADVERTISEMENT
Cuma setelah tua, gigi saya sudah berguguran. Sehingga sudah agak berat makan gado-gado. Namun, makan gudeg masih tetap oke.