Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.92.0
Ngobrol Kuliner hingga Propaganda 4 Sehat 5 Sempurna Bareng Kevindra Soemantri
17 Agustus 2022 10:06 WIB
·
waktu baca 6 menitADVERTISEMENT
Perkembangan yang terjadi dalam dunia kuliner erat kaitannya dengan evolusi pangan suatu negara. Dari bahan pangan hasil bumi berkembanglah menjadi kuliner-kuliner lezat yang dengan mudahnya kini kita bisa nikmati.
ADVERTISEMENT
Kalau ngobrol soal perkembangan pangan di Indonesia, rasanya bukan urusan yang sepele. Bahan pangan hasil bumi ini meliputi nasib jutaan perut masyarakat Indonesia. Kebutuhan pangan yang tinggi di negara ini, menjadikan kuliner sebagai salah satu topik yang selalu menarik dan berkaitan dengan segala bidang ―ekonomi, sosial, politik dan budaya.
Sebagai Bapak Gizi Indonesia, nama Prof. Poorwo Soedarmo rasanya tak boleh dihilangkan dari sejarah evolusi pangan Tanah Air. Dia adalah sosok di balik terciptanya prinsip atau pedoman gizi pertama di Indonesia, yang kita kenal dengan rumus “4 Sehat 5 Sempurna.”
Bunyi kampanye dari pedoman ini begitu melekat di pikiran kita semasa sekolah. Tepatnya sekitar tahun 1950-an, Prof. Poorwo menggaungkan pedoman ini setelah dirinya diangkat oleh Presiden Soekarno sebagai Kepala Lembaga Makanan Rakjat (LMR) di bawah naungan Kementerian Kesehatan waktu itu.
ADVERTISEMENT
Dalam buku "Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia " (1981) yang ditulis oleh Fadly Rahman, konsep pedoman ini sejatinya lahir dari rekomendasi Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) yang saat itu dikenal dengan istilah basic four atau basic five.
Propaganda 4 Sehat 5 Sempurna
Kevindra Prianto Soemantri, story teller dan penulis kuliner Indonesia menjelaskan kepada kumparanFOOD (6/8) bahwa, “Bung karno meminta Prof. Poorwo Soedarmo untuk membantu mengeluarkan sebuah metode atau prinsip yang relevan pada zaman itu, karena dia adalah ahli gizi, dan Bung Karno mau tahu bagaimana caranya semua orang Indonesia bisa mendapatkan gizi yang cukup. Dengan mengeluarkan prinsip 4 sehat 5 sempurna ini.”
Lebih lanjut, Kevindra juga mengungkapkan kisah menarik dari perumusan pedoman “4 Sehat 5 Sempurna” ini. Laki-laki yang juga populer sebagai host dalam serial Netflix “Street Food” 2019 tersebut mengungkapkan bahwa ada propaganda yang terjadi dalam perubahan perumusan metode ini. Khususnya menjelang Orde Baru , di masa kepemimpinan Soeharto.
ADVERTISEMENT
Jika dilihat dalam buku yang Prof. Poorwo tulis, berjudul “Pedoman Untuk Membuat Menu” (1952), maka terlihat ada gambar daftar makanan yang masuk dalam rumusan “4 Sehat 5 Sempurna”.
Pada daftar makanan “4 Sehat” meliputi karbohidrat dengan pilihan nasi, umbi, jagung, dan talas. Kemudian, ada pilihan lauk pauk berupa protein, seperti daging sapi, ayam, ikan, telur, tahu, dan tempe. Selanjutnya, juga ada aneka sayuran dan buah-buahan; dengan pilihan mengonsumsi sayur asem, lodeh, sayur bening, dan sebagainya.
Sedangkan, pada pilihan makanan untuk “5 Sempurna” berisi susu, telur, tempe, ikan, sayuran, bahkan nasi. Tertulis pula dalam buku tersebut dengan ejaan lama:
Kemudian, laki-laki yang akrab disapa Kevin menjelaskan lebih lanjut mengenai rumusan tersebut, “Jadi yang effort beli susu, ya belilah susu, yang enggak effort beli susu di situ ada (pilihan 5 Sempurna) tempe, ada sayuran, jadi enggak ada paksaan. Tapi ini kan tahun 1950 awal.”
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, bila diperhatikan, memang ada perbedaan kecil dengan rumusan “4 Sehat 5 Sempurna” yang kita kenal semasa tahun 1966 ke atas. Dalam rumusan “4 Sehat 5 Sempurna” zaman Orde Baru, begitu melekat di otak kita bahwa “5 Sempurna” adalah susu. Susu yang banyak digambarkan berupa minuman susu sapi. Tak hanya itu, pada bagian pilihan menu karbohidrat, setelah nasi, umbi, dan jagung, ada tambahan yakni gambar roti.
Penambahan bahan pangan berupa roti (gandum) dan susu sapi ini bukan tanpa alasan. Pada buku “Jejak Langkah Pak Harto 28 Maret 1968-23 Maret 1973” tertulis kisah, pada 9 Oktober 1968, Presiden Soeharto baru saja memutuskan dalam sidang kabinetnya untuk mengimpor 390 ribu ton terigu dari Amerika Serikat, guna mempersiapkan stok bahan pangan jelang Idul Fitri. Kemudian, keputusan dalam sidang kabinet tersebut menjadi cikal-bakal Indonesia mengimpor terigu sebagai hasil produk turunan gandum.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, awal yang mungkin indah ini, menjadi derita pada akhirnya. Seperti yang juga tertulis dalam buku “Sebulir Gandum, Segudang Derita” karya Aditya Syahbanu dan Arimbi Heroepoetri (2012). Dalam buku tersebut dikisahkan masuknya gandum ke Indonesia terjadi lantaran program kerja sama ekonomi Indonesia-Amerika yang dinamakan PL480 tahun 1969.
Seperti dilansir Antara, pada tahun 1969 skema impor bahan pangan ini memiliki tujuan mendukung pembangunan ekonomi jangka panjang. Singkat cerita, upaya tersebut pada 1974 menjadi blunder besar bagi era Orde Baru. Gandum impor menjadi bahan populer kedua setelah beras, yang telah menjadi bahan pangan utama Indonesia.
Dalam buku tersebut juga mengungkapkan, menurut data USDA pada tahun 1998, Amerika selama kurang lebih 30 tahun menguasai ekspor gandum ke Indonesia. Gandum ini hadir dalam berbagai bentuk; seperti mi, roti, kue, bakso, donat, pasta, dan makanan olahan lainnya.
Kepopuleran gandum tanpa disadari telah ikut menggerus pangan lokal , seperti umbi-umbian, jagung, sagu, garut, hingga sorgum ―bahan lokal asal NTT yang akhir-akhir ini mulai dicanangkan untuk ditingkatkan produksinya.
ADVERTISEMENT
Kepopuleran gandum membuat ketergantungan bagi masyarakat Indonesia. Bahkan situs US Wheat memproyeksikan pada tahun 2050, Indonesia akan mengimpor 7,1 juta ton gandum. Hal ini tentu mengerikan, bukan? Terutama bagi petani kita yang memproduksi pangan lokal, melestarikan hasil pangan Indonesia selama ini.
Padahal, kalau melihat kembali ke belakang, pada perumusan “4 Sehat 5 Sempurna” Prof. Poorwo telah menggambarkan bahwa dengan pangan lokal saja, gizi masyarakat Indonesia bisa terpenuhi dengan baik. Tanpa adanya kewajiban untuk memasukkan roti atau susu sapi sebagai bagian pola konsumsi sehari-hari. Kecuali bagi mereka yang mampu.
“Tapi lihat (4 sehat 5 sempurna original) enggak perlu susu ternyata. Kenapa dipaksa harus minum susu dan susu sapi. Nah, ini adalah politic of foods, ini menjadi menarik bahwa makanan itu menjadi politic wheel. Bayangin berapa triliun rupiah yang didapat hanya dengan mendoktrin dari kecil “makan roti, ya nak” dan itu jahatnya propaganda pangan,” ujar Kevin dengan lugas.
ADVERTISEMENT
Kemerdekaan kuliner dan pangan lokal Indonesia harus terus digaungkan
Maka itu, pada momen perayaan Kemerdekaan Indonesia ini, rasanya menjadi waktu yang tepat untuk kembali menggaungkan pangan lokal sebagai sumber kuliner Indonesia. Dengan begitu pula, kemerdekaan kuliner dan pangan lokal bisa kembali terwujud seperti sedia kala.
“Indonesia belum mencapai dari segi kemerdekaan kuliner, karena belum mencapai kemerdekaan pangan. Bahan baku masih sulit diakses di mana-mana bagi sebagian orang. Kedua, masih banyak ‘pintu-pintu’ yang menutupi akses bahan baku baru yang menyulitkan karena semua by control bigger industry,” jelas Kevin.
Meski memang belum terlihat tanda untuk mencapai kemerdekaan pangan, setidaknya perlahan, menurut Kevindra sebagai pemerhati kuliner, Indonesia tetap melakukan evolusi dari segi eksplorasi rasa.
ADVERTISEMENT
Era baru masakan Indonesia tersebut dicontohkan beberapa oleh Kevin, seperti muncul ayam geprek, sate taichan, hingga seblak yang awalnya hanya tren, kini menjadi bagian dari comfort food masyarakat Indonesia. Layaknya sate, soto, sambal, yang sudah menjadi makanan sehari-hari, makanan tersebut yang dulunya hanya tren, kini menjadi bagian dari keluarga besar kuliner Indonesia .