Penulis Kuliner, Kevindra Soemantri: Kritikus Makanan adalah Wasit

7 Oktober 2023 11:10 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi wanita review makanan. Foto: BaLL LunLa/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi wanita review makanan. Foto: BaLL LunLa/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Viral kasus reviewer kuliner di media sosial Codeblu, Farida Nurhan, dan AA Juju yang berseteru soal cara mereview jujur. Meski tampaknya masalah tersebut perlahan mulai mereda, tapi di TikTok dan Instagram masih saja menjadi perbincangan hangat.
ADVERTISEMENT
Masalah soal cara mengulas makanan atau tempat makan di media sosial seperti ini memang bukan yang pertama kali viral. Masih ingat kasus Magdalena Fridawati atau akrab dikenal dengan Mgdalenaf?
Food vlogger satu itu ramai diperbincangkan di media sosial usai podcast-nya viral, lantaran dia dinilai mencoba meminta makanan gratis dengan menunjukkan jumlah followers-nya ke pemilik tempat makan.
Magdalena pun beberapa hari kemudian membuat video klarifikasi soal alasan di balik sikapnya saat hendak mengulas satu tempat makan tersebut. Namun hal tersebut sudah memunculkan banyak pendapat, baik dari pakar, dosen, hingga warganet.
Food vlogger Mgdalenaf. Foto: Instagram/@mgdalenaf
Salah satu dosen di Universitas Ciputra Surabaya Charyl Hongdiyanto mengatakan kepada kumparan, "Seorang influencer harus punya tata krama dan aturan."
Rupanya, dalam konteks masalah Codeblu dan Farida Nurhan, seorang kritikus dan penulis kuliner Kevindra Soemantri juga menilai sama; bahwa food vlogger atau reviewer perlu memiliki etika dalam mengulas.
ADVERTISEMENT
Food Vlogger Farida Nurhan dan Bang Madun Nyak Kopsah. Foto: Instagram/@farida.nurhan
Kevin, panggilan akrabnya, juga sudah beberapa kali melihat kasus antar reviewer dengan pemilik restoran seperti ini. Menurutnya isunya selalu sama, yakni tentang komentar jelek.
Menurut Kevin permasalahan seperti ini bisa terjadi karena para food vlogger atau reviewer tidak mengerti etika atau tata krama seperti yang juga disebutkan Charyl.
Lebih lanjut, Kevin menegaskan bahwa mengkritik tidak bisa sembarangan. "Di ranah jurnalistik, mengkritik itu ada etikanya, ada metodologinya," katanya.
Kevin juga mengatakan bahwa ketika ingin melakukan kritik terhadap sesuatu, termasuk tempat makan, kita harus sadar kapasitas kita.
"Metodologinya sebetulnya adalah satu, kita mesti sadar diri dulu. Ini penting, ini menurutku hal yang sederhana tapi penting. Kayak kita harus sadar kita punya kapasitas untuk melakukan kritik atau tidak? Dalam arti, apakah kita punya background kuliner? Apakah kita mengerti etika kritik? Dan lain sebagainya," tambah penulis buku "Jakarta: A Dining History" tersebut.
ADVERTISEMENT
Kevin juga mengingatkan bahwa "food" atau makanan adalah sesuatu hal yang sangat subjektif dan tidak mudah untuk dikritisi.
Dia juga mengingatkan agar para food vlogger atau reviewer sadar akan kekuatan mereka sebagai content creator. Bahwa mereka bisa saja memberikan efek dari sesuatu secara instan terhadap pengikut mereka.
Kevindra Prianto Soemantri, penulis kuliner. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Kevin mencontohkan almarhum Bondan Winarno, Bapak Reviewer Kuliner di Indonesia. Menurut Kevin, Bondan selalu mengulas tempat makan secara baik. Ini karena, Bondan memiliki kapasitas sebagai reviewer yang bertugas merekomendasikan tempat makan. Sehingga tidak perlu dia merekomendasikan tempat makan yang menurutnya tidak layak.
"Contoh almarhum Pak Bondan, ketika dia di Wisata Kuliner, orang pada bilang, 'ah dia enggak pernah komen yang jelek-jelek, yang bagus-bagus'. Ya iyalah orang dia rekomendasiin tempat makan, ngapain saya rekomendasiin tempat makan yang saya enggak suka atau yang enggak cocok, yang jelek ke teman-teman. Nah, mengerti dulu konteksnya tuh awalnya gimana, itu menurutku," kata Kevin.
ADVERTISEMENT
Kevin juga menganalogikan, banyak dari kita yang mungkin sering beli baju, tapi tak lantas kita bisa menjadi seorang designer atau kritikus fashion. Begitu juga dengan makanan. Kita sering membeli makanan di banyak tempat tapi bukan berarti kita 'si paling' mengerti industri kuliner yang kompleks tersebut.

Kritikus Kuliner Profesional adalah Wasit

Ilustrasi membuat konten review makanan. Foto: Shutterstock
Meski di Indonesia kritikus makanan tak sebanyak di negara-negara lain, tapi sejatinya kita juga perlu memahami bahwa ada profesi kritikus makanan yang bekerja secara profesional. Para kritikus ini datang dari background yang jelas, seperti seorang jurnalistik atau pernah bekerja di F&B.
Kevindra menjelaskan, kritikus profesional adalah wasit di dunia bisnis kuliner. "Orang enggak banyak sadar, kritikus itu bagian dari ekosistem, lho. Kritikus itu kayak wasit, dia yang menjaga permainan, dia yang bilang ini 'bola'-nya sudah keluar jalur. Eits ini kamu lagi begini, begitu. Sebetulnya kritikus itu seperti wasit, yang profesional," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Kevin turut mengungkapkan, kalau seseorang bisa mengkritisi, maka kritiknya harus objektif. Para kritikus harus tahu alasan di balik kritiknya.
"Kritikus profesional paham, kok dia enggak mungkin menulis review kaki lima. Karena kalau ngomongin kaki lima, food itu sudah ngomong story telling, itu sudah beda lagi, karena kalau kaki lima kan lebih empati, lebih punya human touch-nya, historical-nya. Kita lebih berbicara tentang kehidupan orang atau daerahnya ketimbang makanannya sendiri," ucapnya.
Sementara kritikus profesional umumnya akan lebih memilih untuk mengkritisi restoran yang objeknya jelas dan kompleks. Seperti bisa membahas mulai dari makanan, service, standardisasi, atmosfer, dan lainnya.