Sarapan dengan Menu Pangan Lokal ala Masyarakat Jawa Kuno

5 November 2020 9:08 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sajian rebusan dengan cocolan saus petis, kuliner tradisional Jawa kuno Foto: Azalia Amadea/Kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Sajian rebusan dengan cocolan saus petis, kuliner tradisional Jawa kuno Foto: Azalia Amadea/Kumparan
ADVERTISEMENT
Apa menu sarapan favoritmu?
Kalau saya sedang hobi sekali makan sepiring rebusan umbi-umbian yang dicocolkan ke saus petis. Menurut pemilik katering langganan saya, ia menyebut sajian tersebut dengan nama polo pendem. Unik, ya nama makanannya?
ADVERTISEMENT
Dalam sepiring menu sarapan tersebut ada delapan jenis pangan lokal; seperti ubi ungu, kuning, oranye, talas, singkong, pisang, jagung, dan kacang. Sementara sebagai pelengkap ada saus petis yang juga dicampur rempah-rempah. Rasa saus cocolannya manis nan gurih, dengan aroma petis yang khas.
Awalnya, rasa makanan ini agak asing di lidah. Tapi lama kelamaan, paduan manis ubi dengan tekstur yang pulen menyatu apik saat dicocol saus petis manis nan gurih. Membuat saya cukup ketagihan untuk mencocolnya lagi dan lagi. Terlebih, pada saus petisnya juga terasa sedikit pedas. Unik!

Kuliner tradisional yang sudah ada sejak peradaban Jawa kuno

Sajian rebusan dengan cocolan saus petis, kuliner tradisional Jawa kuno Foto: Azalia Amadea/Kumparan
Terbawa penasaran mengenai kuliner tradisional ini, saya coba berbincang dengan pakar kuliner Prof. Dr. Ir. Murdijati-Gardjito, melalui sambungan telepon, Rabu (4/11).
ADVERTISEMENT
Guru Besar Ilmu dan Teknologi Pangan Universitas Gadjah Mada itu menjelaskan, sejatinya makanan tersebut hanya sajian rebusan yang merupakan makanan asli masyarakat Indonesia.
"Nama betulnya itu polo kependem, artinya hasil bumi yang terletak (tumbuhnya) dalam tanah 'kependem'; seperti ubi jalar, singkong, talas, garut, dan ganyong. Polo sendiri artinya jumlahnya banyak, menunjukkan 'mereka yang' kependem," terangnya.
Polo kependem, lanjut perempuan berusia 81 tahun itu, merupakan salah satu kategori dari pengetahuan masyarakat Jawa, mengenai pembagian jenis hasil bumi menurut cara penyimpanan dan penanganannya.
Prof. Dr. Ir. Murdijati-Gardjito. Foto: Kumparan/Toshiko
Selain polo kependem, adapula empat kategori hasil bumi lain. Ada 'pari' atau padi, kemudian polowija atau palawija yang termasuk di dalamnya hasil bumi seperti jagung, kacang, kedelai, dan biji-bijian lain. Selanjutnya, polo atau pala gemantung, yang merupakan tanaman berbuah menggantung; jambu, mangga, jeruk, dan lainnya. Terakhir, polo atau pala kesimpar adalah hasil bumi yang terletak di atas tanah; labu kuning, parang, semangka, atau melon.
ADVERTISEMENT
Dari hasil bumi tersebut kemudian masyarakat sekitar mengolahnya sesuai dengan seni dapur masing-masing. Seperti yang saya makan, merupakan hasil seni memasak hasil bumi, yang termasuk dalam kategori polo kependem, namun mengkombinasikan dengan saus petis khas Jawa Timur.
Sajian rebusan dengan cocolan saus petis, kuliner tradisional Jawa kuno Foto: Azalia Amadea/Kumparan
Prof Mur pun mencontohkan, sajian tersebut bisa saja berbeda bila disajikan oleh masyarakat Jawa Barat. Begitu pula, akan berbeda lagi bila yang menyajikan adalah masyarakat Kalimantan, misalnya.
"Selanjutnya, pengetahuan mengenai hasil bumi tadi berkembang menjadi makanan untuk kesehatan. Ada pengetahuan bagaimana mengonsumsi makanan itu terbagi menjadi mutih, ngrowot, dan ngalong. Jadi, orang Jawa itu sudah punya teknologi alami sejak zaman kuno," pungkasnya.
Siapa sangka? Makanan rebusan yang saya makan, dari hasil bumi yang tampak sederhana, ternyata dibalut oleh pengetahuan mendalam yang menjadi bagian dari sejarah masyarakat Jawa. Dari makanan tradisional menjadi warisan kuliner penuh makna.
ADVERTISEMENT