Sejarah Burjo: Makanan Penyelamat di Tengah Kesulitan Ekonomi

24 Desember 2022 8:44 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Bubur kacang ijo khas Kuningan Jawa Barat berjualan di daerah Tambora, Jakarta. Foto: Monika Febriana/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Bubur kacang ijo khas Kuningan Jawa Barat berjualan di daerah Tambora, Jakarta. Foto: Monika Febriana/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Bubur kacang hijau atau yang biasa disebut burjo menjadi menu favorit bagi banyak orang. Bagaimana tidak? Dengan harganya yang murah meriah namun mengenyangkan. Burjo kerap menjadi penyelamat di saat akhir bulan.
ADVERTISEMENT
Burjo dapat dengan mudah kita jumpai di berbagai lokasi. Baik dijajakan langsung menggunakan gerobak atau di tenda kaki lima. Kehadiran burjo sebagai penyelamat di kala kantong sedang “kering” ternyata tidak lepas dari sejarah makanan ini sendiri. Bahkan dalam perjalanannya, burjo menjadi penyelamat seorang dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

Burjo dipelopori oleh mantan lurah dari Kuningan, Jawa Barat

Suasana kedai bubur kacang ijo khas Madura Cak Mus, Sunter Jaya, Jakarta, Kamis (22/12). Foto: Monika Febriana/kumparan
Salah satu jenis burjo populer adalah yang berasal dar Kuningan, Jawa Barat. Hal tersebut karena bisnis kuliner bubur kacang hijau pertama kali dipelopori oleh mantan lurah dari dusun Kaliwon desa Cimindi Balong, Kuningan, Jawa Barat bernama Salim Saca Santana.
Di kala itu, Salim melihat bahwa kondisi perekonomian desanya mengalami kesulitan pasca perang dunia kedua. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, dia bereksperimen membuat bubur dengan kacang hijau karena saat itu beras sangat sulit untuk didapatkan.
ADVERTISEMENT
Dalam mengolah bubur kacang ijo pertama kali, Salim menggunakan alat yang disebut seeng. Alat ini diketahui sebagai dandang atau wadah berukuran besar yang terbuat dari tembaga untuk memasak nasi pada zamannya. Kemudian dia membagikan kepada tetangga sekitar untuk mencicipinya secara gratis.
Menuai respons positif, Salim pun memutuskan untuk menjajakan bubur bikinannya keliling kampung. Pada tahun 1943, awalnya Salim menggunakan gerobak yang dipikul untuk berjualan keliling kampung bersama istrinya.
Alat yang digunakannya juga masih sederhana bernama salang yang terbuat dari tambang ijuk, menggunakan rancatan, hingga pemikul bambu. Sementara itu, wadahnya menggunakan pinggan atau piring ukuran besar.

Berjualan hingga ke pusat kota

Suasana warung burjo khas Kuningan Jawa Barat berjualan di daerah Tambora, Jakarta. Foto: Monika Febriana/kumparan
Melihat jualannya semakin laris-manis, Salim dan istri akhirnya memutuskan untuk berjualan ke pusat kota. Lebih tepatnya di dekat alun-alun dengan membuka kedai sederhana. Tidak disangka banyak orang yang tertarik dengan makanan tradisional ini.
ADVERTISEMENT
Lambat laun, masyarakat sekitar pun banyak yang mengikuti jejaknya. Bahkan banyak dari mereka yang berjualan burjo hingga ke luar kota; seperti Jakarta, Yogyakarta, hingga Semarang. Diketahui rata-rata pedagang burjo di luar kota berasal dari Jalan Siliwangi, Kuningan, Jawa Barat.
Kini, burjo pun bukan hanya menjadi makanan penyelamat di tengah kesulitan ekonomi yang melanda dusun Kaliwon; tetapi berkat Salim bubur manis ini juga menjadi penyelamat di tengah kesulitan banyak orang.
Penulis: Monika Febriana