Susu Begitu Penting Bagi Kultur Barat, Mengapa Tidak di Indonesia?

18 Juli 2019 17:31 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
com-Ilustrasi kebiasaan minum susu di Dunia Barat. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
com-Ilustrasi kebiasaan minum susu di Dunia Barat. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Sejarah manusia modern berusia 300 ribu tahun. Dengan hal tersebut sebagai latar belakang konteksnya, minum susu adalah budaya yang relatif baru. Manusia pertama kali minum susu sekitar 10 ribu tahun lalu — itu pun hanya pada momen tertentu. Sekarang situasinya sudah sama sekali berbeda. Minum susu sudah menjadi bagian dari budaya Dunia Barat. Namun yang lazim di sana tak serta merta menjadi kebiasaan di bagian dunia lain, termasuk Indonesia.
ADVERTISEMENT
Kaum gembala Timur Tengah adalah kelompok masyarakat pertama yang meminum susu. Kaum gembala Eropa bagian barat menyusul kemudian. Kelompok kedua inilah yang membuat kebiasaan minum susu menyebar ke seluruh Eropa dan kemudian Amerika Serikat, yang didirikan oleh orang-orang Eropa bagian utara.
Susu melewati perjalanan panjang hingga akhirnya bisa menjadi minuman wajib di banyak kebudayaan seperti saat ini. Namun masa pentingnya, masa di mana kebiasaan minum susu menyebar dengan pesat, terjadi pada akhir Abad ke-19 hingga awal Abad ke-20 — demikian menurut Deborah Valenze, Profesor Sejarah Barnard College, New York, Amerika Serikat.
Awal penyebaran kebiasaan minum susu, walau demikian, adalah bencana. Teknologi pengolahan susu yang belum tersedia saat itu membuat susu menjadi berbahaya. Angka kematian anak meningkat di kota-kota besar di Amerika Serikat dan Eropa: New York, Boston, Chicago, London, dan Paris mengalami masalah yang sama. Di Manhattan, pada 1840-an saja, nyaris setengah dari semua bayi yang lahir meninggal saat balita.
ADVERTISEMENT
Pada 1884, Dr. Henry Thatcher, seorang apoteker dari Potsdam, New York, Amerika Serikat, melihat boneka kain milik seorang anak terjatuh ke dalam ember susu milik seorang penjual susu. Kejadian itu mengilhami Thatcher untuk menciptakan botol susu, dan sejak saat itu susu tidak lagi dipasarkan dalam keadaan terbuka. Namun temuan ini saja ternyata tidak cukup untuk mengatasi masalah susu yang ada.
com-Ilustrasi pengolahan susu di peternakan. Foto: Shutterstock
Pada akhirnya jawaban dari masalah susu yang selama ini mengintai di Amerika Serikat dan Eropa terjawab oleh Louis Pasteur. Ahli mikrobiologi Perancis ini punya teori: kontaminasi organisme tak kasatmata membuat susu rusak dan menjadi racun. Tidak heran yang banyak menerima dampak dari susu terkontaminasi adalah orang-orang kota, karena semakin jauh susu dibawa dari peternakan, semakin besar kemungkinannya tercemar.
ADVERTISEMENT
Teori tersebut semakin mantap pada 1862, dengan pembuktian via proses pengolahan susu yang kemudian dikenal dengan nama pasteurisasi. Pada 1895, mesin pasteurisasi komersial diperkenalkan. Berkat temuan ini, susu bisa disimpan dan didistribusikan lebih aman ke luar peternakan. Pasteurisasi menjadi proses wajib dalam produksi dan pengolahan di Amerika Serikat per 1917.
Dalam buku berjudul The Newer Knowledge of Nutrition yang terbit pada 1918, Elmer McCollum, ahli biokimia dan gizi Amerika Serikat, menulis bahwa susu “tanpa keraguan adalah bahan makanan paling penting yang kita punya.”
Pada masa itu masyarakat Amerika Serikat sedang giat-giatnya mengambil pendekatan pengobatan lewat makanan. Logika yang berlaku saat itu: kehidupan dan makanan modern rusak dan rumit sementara makanan yang diberikan kepada orang sakit harus murni dan mudah. Karena mengandung lemak, karbohidrat, dan protein — ketiganya komponen yang dibutuhkan tubuh — susu semakin terdorong ke muka.
ADVERTISEMENT
“Boleh dibilang masa itu adalah masa makanan sehat dan gerakan kesehatan,” ujar Valenze, dikutip dari BBC.
Di Eropa, pada saat yang bersamaan, ceritanya kurang lebih sama. Orang-orang Eropa saat itu juga sedang dalam masa pencarian makanan yang mudah dan sehat. Selain itu, di Eropa juga sedang terjadi temperance movement — gerakan menentang minuman keras. Sejarawan Universitas Basel, Barbara Orland, mengisahkan bahwa para pekerja pabrik Jerman mendesak pabrik untuk menyediakan susu di tempat kerja. Di luar itu, para pelaku pergerakan mendirikan kedai-kedai susu di kota.
com-Ilustrasi anak terbiasa minum susu. Foto: Shutterstock
Semuanya bermuara di tahun 1920-an. Petani dan peternak, ilmuwan, serta pemerintah bersama-sama mempromosikan susu sebagai bahan makanan dengan kandungan nutrisi yang sempurna. Dari situ susu terus maju. Popularitas tersebut meningkat dan terus bertahan di tempat tinggi, terutama di Dunia Barat.
ADVERTISEMENT
Situasinya, sementara itu, tidak demikian di Asia. Cina baru punya program minum susu nasional pada 2000 sementara Inggris sudah mewajibkan anak usia sekolah minum susu sejak lama. Thailand mengikuti langkah Cina. India sedang dalam tahap “revolusi putih” dengan berusaha memasukkan susu ke semua sekolah.
Maka tidak mengherankan jika data Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) menunjukkan rata-rata konsumsi susu di Amerika Serikat dan mayoritas negara Eropa berada di atas 150 kg per kapita per tahun (kategori Tinggi). Mayoritas negara Timur Tengah, tempat minum susu bermula, hanya kurang dari 30 kg per kapita per tahun (kategori Menengah). Indonesia, sementara itu, berada di kategori Rendah (30 kg per kapita per tahun) bersama Cina, Yaman, mayoritas negara Afrika Tengah, serta mayoritas negara Asia Timur dan Asia Tenggara. Tingkat konsumsi susu Indonesia, menurut data Badan Pusat Statistik tahun 2017, tepatnya berada di angka 16,62 kg per kapita per tahun.
ADVERTISEMENT
Kebiasaan minum susu di Indonesia sebenarnya sudah dikampanyekan sejak berpuluh-puluh tahun lalu. Lembaga Makanan Rakyat (LMR) pada 1955 mengampanyekan minum susu lewat konsep “Empat Sehat Lima Sempurna” yang digagas ahli gizi Poorwo Soedarmo. Tetap saja kebiasaan minum susu belum kuat di sini. Kampanye ini tidak cukup kuat mendorong masyarakat Indonesia minum susu.
com-Ilustrasi anak enggan minum susu. Foto: Shutterstock
Bahwa masyarakat Indonesia tidak terdorong minum susu, menurut sejarawan kuliner Universitas Padjadjaran Fadly Rahman, dipengaruhi fakta bahwa masyarakat Nusantara memang tidak memiliki kebiasaan minum susu.
Nusantara, kata Fadly, adalah kawasan agraris dan pesisir. Hewan ternak seperti kerbau dan sapi lebih dimanfaatkan tenaganya untuk membajak sawah. Hal tersebut terdokumentasi dalam buku The History of Java (terbit 1817) karya Gubernur Jenderal Inggris Thomas Stamford Raffles. Dalam bukunya, Raffles menyayangkan potensi susu sapi di Jawa yang disia-siakan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Hingga Abad ke-15, tradisi gembala Nusantara belum kuat — kontras dengan tradisi gembala Timur Tengah dan Eropa, yang sudah mantap jauh lebih awal. Di wilayah yang kini menjadi Indonesia, Sumber makanan nabati lebih umum daripada hewani.
Bahkan pada masa kampanye “Empat Sehat Lima Sempurna”, saat peternakan Indonesia sudah makin mantap, konsumsi susu tetap rendah karena mayoritas masyarakat Indonesia masih memandang susu sebagai konsumsi kaum elite.
Dunia Barat menunjukkan bahwa untuk mencapai tingkat konsumsi saat ini, susu melewati proses yang sangat panjang. Ditambah fakta bahwa Indonesia berada di kategori Rendah dalam konsumsi susu, mengejar ketinggalan dari Dunia Barat terasa begitu berat. Namun perlu diingat bahwa konsumsi susu bukan perlombaan. Yang terpenting adalah minum susu itu sendiri.
ADVERTISEMENT