Tanggapan Dirut LPPOM MUI soal Pengunduran Wajib Sertifikasi Halal bagi UMK

20 Mei 2024 11:46 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi produk halal. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi produk halal. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Direktur Utama LPPOM MUI, Muti Arintawati menanggapi keputusan pengunduran masa tenggang Wajib Halal Oktober 2024 menjadi 2026, bagi pelaku Usaha Mikro dan Kecil (UMK) sektor makanan dan minuman. Pengunduran ini disampaikan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, usai Rapat Internal Percepatan Kewajiban Sertifikasi Halal dan Perkembangan RPP Jaminan Produk Halal di Jakarta, pada Rabu (15/5).
ADVERTISEMENT
Mengutip website resmi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, penerbitan sertifikat halal oleh BPJPH sejak 2019 untuk semua jenis produk, baru mencapai 4.418.343 produk (per 15 Mei 2024), dari target BPJPH 10 juta produk, sehingga total baru tercapai 44,18 persen. Sedangkan total jumlah UMK yang ada sekitar 28 juta unit usaha. Oleh karena itu, Presiden Jokowi memutuskan pengunduran wajib halal untuk UMK makanan dan minuman dari 2024 menjadi 2026.
Menanggapi hal ini, Muti menyampaikan bahwa keputusan pemerintah ini pasti akan melegakan banyak pihak yang peduli dengan nasib UMK. Terlebih selama ini, masih banyak UMK yang mengeluh kesulitan saat hendak mengajukan sertifikasi halal.
Meski adanya pengunduran, LPPOM menyarankan agak UMK tidak menunda-nunda pengurusan sertifikat halal. LPPOM juga menekankan bahwa prioritas target kategori wajib halal hendaknya tidak hanya menimbang skala usahanya semata, melainkan juga fokus ke tingkat kekritisan produknya.
ADVERTISEMENT
Direktur LPPOM MUI, Muti Arintawati, saat ditemui di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, pada Rabu (8/5/2024). Foto: Rachmadi Rasyad/kumparan
“Kita perlu melihat secara jeli akar masalah yang ada. Yang disoroti hendaknya tidak sekadar skala usaha di sektor UMK, melainkan perlunya fokus ke pelaku usaha yang memasok bahan yang tergolong kritis dan dipakai di industri lain; terlepas dari skala bisnis pelaku usahanya. Hal ini karena pasokan bahan dan jasa terkait makanan minuman tidak hanya dari pelaku usaha besar, namun juga dapat berasal dari pelaku usaha yang masuk dalam kategori kecil dan mikro,” terang Muti, seperti dikutip dari siaran resmi yang kumparanFOOD terima, Senin (20/5).
Terkait daging, misalnya. Ketersediaan produk sembelihan yang dihasilkan oleh Rumah Potong Hewan/Unggas (RPH/U) menjadi salah satu hal yang perlu diperhatikan. Pasalnya, daging dan turunannya digunakan dalam pembuatan berbagai jenis produk usaha kuliner.
ADVERTISEMENT
Selain itu, produk kemas ulang ukuran kecil untuk bumbu dan bahan kue (termasuk untuk bahan impor) banyak juga dilakukan oleh UMK.
“Ketersediaan bahan dan jasa yang halal, akan memudahkan pelaku UMKM dalam membuat produk akhir makanan dan minuman yang halal. Ini seperti efek domino. Jika persoalan di hulu selesai, maka sebagian besar persoalan kehalalan produk di Indonesia juga akan rampung. Proses sertifikasi halal produk juga akan lebih mudah dan jaminan kehalalannya dapat dipertanggungjawabkan,” jelas Muti.
Oleh karena itu, pihaknya mendorong pemerintah untuk fokus pada penyelesaian permasalahan halal di sektor hulu terlebih dahulu baik yang diproduksi oleh perusahaan besar, menengah maupun UMK.