Konten dari Pengguna

Tren Penggunaan Earphone tanpa Kabel Picu Naiknya Angka Kecelakaan di Jalan

Gracia Stephanie
Mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan
16 Oktober 2024 11:11 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gracia Stephanie tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi menggunakan musik menggunakan TWS. Foto: starmix/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi menggunakan musik menggunakan TWS. Foto: starmix/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Mobilitas gesit dan ketepatan waktu menjadi sangat penting bagi saya sebagai mahasiswa yang aktif di banyak kegiatan dan tinggal di kota besar dengan tingkat kemacetan tinggi.
ADVERTISEMENT
Mengendarai sepeda motor menjadi pilihan praktis agar saya tetap bisa mengikuti kegiatan dengan tepat waktu. Namun setiap hari, saya dan orang tua dihantui kekhawatiran akan keselamatan berkendara karena angka kecelakaan yang kian tinggi.
Menurut Badan Pusat Statistik (2021), ada 139.258 kasus sejak 1992, dengan kasus kecelakaan terbanyak pada kategori kendaraan sepeda motor. Faktor utamanya adalah hilangnya konsentrasi pengemudi saat berkendara. Penggunaan produk teknologi seperti handphone dan earphone dapat mengganggu konsentrasi pengendara kendaraan bermotor.
Belakangan ini saya memperhatikan produk teknologi baru yang menurut survei Jakpat (2023) dimiliki 63 persen penduduk Indonesia. Barang ini dapat dengan mudah lolos pengawasan mata polisi bahkan saat operasi tilang dilakukan. Padahal, produk tersebut sangat berbahaya jika digunakan saat berkendara.
ADVERTISEMENT
Produk teknologi itu adalah true wireless stereo (TWS) atau earphone bluetooth. Sesuai namanya, penggunaan TWS tidak memerlukan kabel dan hampir semua TWS memiliki fitur peredam kebisingan.
Tidak adanya kabel dan letaknya di dalam helm, membuat penggunaannya saat ini tidak dapat dideteksi kepolisian saat ada operasi tilang.
Selain itu, fitur peredam kebisingan pada TWS membuat audio yang didengar penggunanya menjadi lebih jernih meski berada di tempat yang ramai. Hal inilah yang membuat penggunaan TWS menjadi lebih berbahaya dibandingkan earphone biasa.
Riset yang dilakukan oleh profesor psikologi David Schwebel dari Universitas Alabama pada 2010 (diperkuat oleh riset dari Universitas Sussex pada 2016), menunjukkan, penggunaan earphone saat mengemudi dapat berakibat pada penurunan hingga kehilangan konsentrasi yang berujung pada kecelakaan.
ADVERTISEMENT
Risiko bahaya yang diakibatkan oleh penggunaan earphone setara dengan handphone, yang telah ada aturan pelarangannya selama mengemudi. Riset serupa juga dilakukan oleh Richard Lichenstein, M.D. dari Universitas Maryland. Dari riset tersebut, diperoleh fakta bahwa earphone memberikan efek “tuli sementara” dan pengguna mengalami “perampasan sensor”.
Riset yang sama juga menyebutkan bahwa sekitar 55 persen kecelakaan terjadi di Amerika Serikat selama 2006 hingga 2012 diakibatkan penggunaan earphone. Meski demikian, masih banyak pengguna sepeda motor yang menggunakan earphone saat berkendara. Ditambah lagi, adanya kenaikan tren penggunaan TWS di Indonesia.
Banyak pengendara tetap menggunakan TWS dengan alasan menghindari kantuk atau untuk hiburan. Namun, menurut ahli keamanan berkendara Sony Susmana dari Training Director Safety Defensive Consultant Indonesia, metode seperti mendengarkan musik, minum kopi, atau merokok hanya siasat menutupi kondisi tubuh yang tidak prima untuk menyetir.
Ilustrasi menggunakan TWS. Foto: Marykor/Shutterstock
Solusi yang tepat bukanlah menggunakan TWS untuk mendengar lagu, tapi mengembalikan kondisi tubuh misalnya dengan tidur siang singkat sebelum kembali menyetir.
ADVERTISEMENT
Alasan lain pengendara yang masih menggunakan TWS saat berkendara adalah penggunaan global positioning system (GPS) terutama karena tuntutan profesi seperti ojek, atau alasan produktivitas dalam mencapai tempat yang ingin dituju. Sejak penggunaan handphone secara jelas dilarang, pengendara beralih menggunakan TWS untuk mendengarkan audio dari aplikasi GPS.
Namun, menurut Jusri Pulubuhu selaku pendiri dan instruktur senior Jakarta Defensive Driving Consulting, penggunaan TWS untuk keperluan GPS tidak dapat dibenarkan karena tetap mengganggu fokus pengendara. Cara aman untuk menggunakan GPS—terutama saat berkendara sendiri—adalah dengan melakukan rencana perjalanan dengan matang. Sehingga, pengendara dapat memantau GPS sebelumnya dan mengingat patokan-patokan yang ada.
Jika pengendara tidak bisa menghafal patokan, audio dari handphone dapat diperbesar dan diletakkan dalam tas punggung sehingga audionya masih bisa terdengar.
ADVERTISEMENT
Atau, menepi jika ingin memeriksa visual peta. Jadi, sebenarnya tidak alasan untuk tetap menggunakan TWS selama berkendara dan perlu segera dilakukan langkah nyata agar ancaman tren penggunaan TWS tidak mengakibatkan angka kecelakaan terus naik.
Saya menilai, permasalahan saat ini ada pada dasar hukum serta implementasi pelarangan penggunaan medium pemecah konsentrasi pengendara. Sebenarnya, larangan penggunaan TWS saat berkendara telah secara implisit diatur dalam aturan berlalu lintas yang berlaku saat ini, yaitu UU Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Pasal 106 ayat 1 berbunyi, “Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib mengemudikan kendaraannya dengan wajar dan penuh konsentrasi.”
Pasal ini memiliki tambahan penjelasan untuk kondisi “konsentrasi” yang dimaksud, yaitu penuh perhatian, tidak terganggu karena sakit, lelah, mengantuk, menggunakan handphone, menonton televisi atau video, minum minuman alkohol, atau obat-obatan.
ADVERTISEMENT
Peraturan ini belum menyertakan secara eksplisit larangan penggunaan earphone atau TWS. Padahal bahaya yang diakibatkan earphone atau TWS setara, bahkan lebih berbahaya dibandingkan penggunaan handphone yang sudah diatur larangannya. Media pun sudah memberitakan banyak kecelakaan terjadi.
Implementasi aturan berupa operasi tilang yang saat ini diberlakukan juga tidak dapat mendeteksi penggunaan TWS dalam berkendara karena letaknya yang berada di dalam helm. Hal ini memicu banyaknya pengendara menggunakan TWS saat berkendara karena merasa tidak ketahuan meski potensi bahaya mengintai.
Tidak hanya itu, operasi keselamatan dari kepolisian saat ini belum pernah ada yang memiliki poin fokus pada penggunaan earphone. Maka, perlu diatur larangan penggunaan earphone dan produk turunannya, seperti TWS, secara eksplisit beserta implementasinya.
ADVERTISEMENT
Usulan aturan larangan penggunaan TWS dapat dilakukan mulai dari aturan di bawah undang-undang seperti Perka Polri. Penambahan aturan berkendara ini telah dilakukan sebelumnya oleh pemerintah Prancis pada 2015 dengan alasan serupa, tingginya angka kecelakaan akibat penggunaan earphone.
Jika diterjemahkan, dasar hukum Prancis R412-6-1 tentang kode berlalu lintas berbunyi, “Dilarang menggunakan telepon yang dipegang oleh pengemudi kendaraan yang bergerak. Dilarang juga bagi pengemudi kendaraan yang sedang bergerak untuk memakai alat apa pun di telinga yang dapat mengeluarkan suara kecuali alat koreksi tuli elektronik.”
Saat itu Prancis mengalami kenaikan angka kecelakaan hingga 7 persen. Sedangkan angka kecelakaan kita saat ini dibandingkan pada tahun 2019 sebelum situasi pandemi mengalami kenaikan hingga 17 persen.
ADVERTISEMENT
Artinya, penambahan aturan penjelas lalu-lintas memang perlu dilakukan mengingat tingginya angka kecelakaan yang terjadi saat ini. Tidak hanya berhenti di peraturan, implementasinya juga perlu diperbarui.
Pembaruan operasi tilang perlu dilakukan agar mampu mendeteksi penggunaan earphone bahkan TWS. Pemindaian sinyal bluetooth perlu dilakukan saat operasi tilang mengingat TWS tersembunyi di dalam helm dan terkoneksi dengan gawai melalui sinyal bluetooth. Harga alat pemindai sinyal bluetooth di pasaran dapat mencapai Rp 4 juta.
Namun, sebenarnya pemindai sinyal bluetooth telah terpasang di hampir seluruh smartphone saat ini. Pemindaian sinyal bluetooth melalui gawai aparat kepolisian saat operasi razia dapat menjadi investigasi awal atas indikasi pemakaian TWS di sekitar area razia.
Ilustrasi kecelakaan kendaraan bermotor. Foto: Viach Abein/Shutterstock
Selanjutnya, diperlukan prosedur tambahan yaitu meminta pengendara melepas helm dan melakukan pemeriksaan penggunaan TWS sekaligus memberi edukasi bahayanya. Langkah ini mengadaptasi pemeriksaan kelengkapan surat berkendara yang juga tidak dapat diperiksa secara kasat mata.
ADVERTISEMENT
Angka kecelakaan yang telah mencapai puncaknya, membuat dua solusi tersebut menjadi langkah paling cepat, aplikatif, dan solutif. Namun untuk jangka panjang, pemerintah dalam hal ini Kementerian Perhubungan dan Kepolisian Republik Indonesia dapat bekerja sama untuk proses pelacakan sinyal bluetooth yang lebih otomatis.
Ingat bagaimana saat ini kita perlu mendaftarkan nomor telepon ke Kementerian Komunikasi dan Informatika sebelum bisa digunakan?
Mengadaptasi hal tersebut, untuk langkah jangka panjang pengguna TWS di Indonesia dapat diwajibkan untuk mendaftarkan alamat sinyal bluetooth mereka, karena setiap sinyal bluetooth memiliki kode unik 48-bit.
Alat-alat pendeteksi sinyal bluetooth dapat diintegrasikan pada titik-titik perhentian di jalan raya. Hasilnya, jika alat kedapatan merekam adanya sinyal bluetooth dari TWS yang terdaftar, pengguna dapat diinvestigasi lebih lanjut bahkan dikenakan sanksi jika terbukti benar menggunakan TWS sambil berkendara.
ADVERTISEMENT
Kemudian, pada akhirnya implementasi juga memerlukan kesadaran kita semua sebagai pengguna jalan khususnya pengendara sepeda motor untuk tidak menggunakan TWS saat berkendara.
Perkembangan teknologi memang penting, tapi ketika produk-produk baru seperti TWS digunakan tanpa aturan yang jelas saat berkendara, ini menjadi ancaman serius. Perlu pembaruan peraturan dan implementasi yang lebih baik untuk mencegah kecelakaan dan memastikan keselamatan pengguna jalan.
Pada akhirnya, diperlukan juga kesadaran bersama untuk implementasi yang konsisten. Sehingga, puncak angka kecelakaan di Indonesia dapat ditekan.