Everyday Life: Saat Coldplay Mulai Kritisi Problematika Sosial Dunia

23 November 2019 10:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Coldplay. Foto: AFP/GETTY IMAGES NORTH AMERICA/CHRISTOPHER POLK
zoom-in-whitePerbesar
Coldplay. Foto: AFP/GETTY IMAGES NORTH AMERICA/CHRISTOPHER POLK
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Band legendaris asal Inggris Raya, Coldplay, menelurkan album baru bertajuk 'Everyday Life'. Album kedelapannya ini, dirilis secara langsung di kota Amman, Yordania pada Jumat (22/11) waktu setempat.
ADVERTISEMENT
Berisikan total delapan lagu, bagan di album Coldplay kali ini terbagi menjadi dua, yakni 'Sunrise' dan 'Sunset'.
'Sunrise' menjadi intro pembuka dari album yang seolah-olah mencoba membawa para pendengar masuk dalam sebuah ruang pertunjukan orkestra. Tanpa lirik, lagu 'Sunrise' bisa membangkitkan semangat, berkat harmoni string section yang amat dinamis.
Kemudian, ada pula lagu 'Church' yang memperdengarkan suara asli dari Amjad Sabri, musisi sekaligus aktivis penganut ajaran Sufi dari Pakistan yang mati dibunuh secara sadis pada 2016.
Cover album Coldplay 'Everyday Life'. Foto: Instagram: @coldplay.
Melalui single ini, Coldplay coba untuk membuka mata para fans bahwa ada peristiwa politis berdarah di Timur Tengah.
Layaknya lagu 'Church', track 'Trouble in Town' juga menjadi cara Coldplay menggambarkan problematika sosial di dunia. Kali ini, topik yang ia angkat adalah perilaku rasis penegak hukum Amerika Serikat pada orang kulit hitam.
ADVERTISEMENT
Untuk urusan aransemen, single ini terdengar amat manis, namun penuh eksperimen. Dari cara Chris Martin bernyanyi, terdengar ada sedikit referensi dari Peter Gabriel, vokalis dan founder dari band progressive rock 70-an, Genesis.
Di lagu itu, Coldplay juga bekerja sama dengan anak-anak di Children's Feeding Scheme (ACFS) yang berbasis di Soweto, Johannesburg, Afrika Selatan. Ada kesan lara dan ironi yang terasa saat anak-anak itu mulai bernyanyi.
Kritik pada perlakuan orang-orang kulit putih pada minoritas di negera-negara barat juga terpancar melalui dua lagu bernuansa gospel, yakni 'brokEn' dan 'WOTP/POTP'.
Keduanya terasa natural, tanpa editing berlebih, namun membawa spektrum baru yang tak pernah terjadi sebelumnya.
Lagu 'Guns' juga menjadi salah satu upaya Coldplay mengkritisi peraturan kepemilikan senjata api di beberapa negara di dunia. Dari sini saja terlihat bahwa Chris Martin dan kawan-kawan berusaha amat keras untuk mengkritisi banyak fenomena sosial di dunia.
ADVERTISEMENT
Mereka bahkan tidak takut untuk kehilangan identitas sebagai band britpop. Ada banyak perpaduan musik di setiap track album 'Everyday Life', mulai dari progressive rock, pop rock era 40-an, hingga gospel.
Coldplay saat rilis album 'Everyday Life' secara langsung di Yordania. Foto: Instagram: @coldplay.
Memang ada beberapa lagu yang nuansanya mirip karya populer Coldplay di album 'X&Y', seperti 'Daddy' dan 'Old Friends'.
Namun, tetap saja ada nuansa unik di dua lagu itu, bahkan lagu 'Daddy' kemungkinan besar bisa membuat kalian yang sudah tidak memiliki ayah menangis sejadi-jadinya.
Ada pula lagu 'Orphans' yang nuansanya mirip seperti karya-karya Coldplay di album 'A Head Full Of Dreams'. Meski terdengar tidak biasa bagi penikmat musik pop generik, lagu 'Arabesque' juga tidak boleh terlewatkan.
Coldplay. Foto: AFP/Ronny HARTMANN
Track keenam dari album 'Everyday Life' ditulis menggunakan huruf Arab yakni بنی آدم, atau yang memiliki arti 'Bani Adam'. Ini adalah kali pertama Coldplay merilis lagu dengan judul tulisan arab.
ADVERTISEMENT
Album pada akhirnya ditutup dengan lagu 'Everyday Life'. Melalui lirik di lagu ini, Coldplay seperti ingin coba untuk menyimpulkan semua tragedi sosial yang sudah diangkat dalam album.
Dari segi lirik, memang beberapa lagu terkesan klise. Namun, apresiasi lebih patut diberikan saat ada musisi pop yang berani untuk membuat lagu dengan topik-topik sensitif.