Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten Prank Bisa Rugikan Orang Lain, Kenapa Masih Ada yang Menonton?
8 Oktober 2022 11:36 WIB
·
waktu baca 3 menit
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Konten prank di YouTube beberapa kali menjadi buah bibir lantaran kontroversial. Pada tahun 2020 lalu, YouTuber Ferdian Paleka menuai kecaman karena membagi-bagikan sembako yang berisi batu dan sampah kepada waria di Bandung. Ada pula prank ojek online dengan cara memesan makanan hingga jutaan rupiah, namun tidak membayarnya.
Meskipun tidak selalu negatif, nyatanya konten prank juga bisa merugikan korban yang ‘dijahili’. Tapi, mengapa orang tetap menyukai tontonan seperti ini?
Konten prank sejatinya dibuat dengan tujuan bercanda atau menghibur. Dalam penelitian Moulita dkk berjudul Persepsi Remaja terhadap Konten Prank di Media Sosial di dalam Jurnal Simbolika (2021) disebutkan, umumnya prank dianggap berhasil jika dapat mengeluarkan emosi orang yang jadi sasarannya, baik itu sedih, marah, tertawa, dan sebagainya.
Menurut sosiolog Soeprapto, publik sering penasaran dengan tren atau konten viral. Dari penasaran itu, mereka jadi menonton tayangan seperti prank.
ADVERTISEMENT
Masalahnya, orang tak selalu mampu menyaring informasi yang diterima. Soeprapto menjelaskan, kemampuan untuk menyaring tontonan yang baik dan buruk merupakan salah satu ciri masyarakat yang berdaya.
"Ketika mereka menyukai itu (video prank) kan artinya mereka tidak memikirkan bahwa ada korban yang dilecehkan, korban yang diolok-olok karena yang penting 'Oh iya, saya sudah membaca'," katanya.
Konten-konten prank kerap jadi tontonan yang menarik karena memberi hiburan dari reaksi orang tersebut. Hal itu juga sesuai dengan pendapat peneliti di Center of Digital Society UGM, Amelinda Pandu Kusumaningtyas. Menurutnya, konten eksperimen menjadi menarik karena sering menembus kewajaran-kewajaran yang ada di masyarakat.
“Yang kadang menjadi transgresif itu tadi, jadi orang kemudian menonton, tapi ketika kita sudah bikin konten seperti itu dan melewati batas, kemudian batas itu menjadi kenormalan baru. Dan akhirnya kita sampai di era di mana membuat konten prank KDRT adalah suatu hal untuk menghibur kita,” kata Amelinda saat dihubungi kumparan, Kamis (6/10/2022).
ADVERTISEMENT
Konten semacam ini bisa merugikan bahkan membahayakan orang lain. Bukan tak mungkin, aparat atau publik saling kehilangan kepercayaan.
“Mungkin bisa menimbulkan normalisasi dari hal yang sangat mengerikan ini,” imbuhnya.
Amelinda menambahkan, semakin banyak orang yang mengikuti isi tayangan tersebut hingga menjadi tren, maka dapat meminimalisir keseriusan isu sensitif. Untuk mencegahnya, diperlukan kesadaran dari pembuat konten.
Sebaiknya, kata dia, seorang content creator mesti mempertimbangkan dengan bijak siapa yang menjadi target audiensnya. Ia menjelaskan kini masih banyak YouTuber Indonesia yang kurang peduli dengan batas usia konten.
“Creator ini masih membuka akses kontennya untuk siapa pun,” ujar Amelinda.
Sementara itu menurut sosiolog Universitas Sebelas Maret Drajat Tri Kartono, pembuat konten hendaknya memahami batasan prank bagi korban atau targetnya. Sebab, konten prank sebenarnya merupakan hiburan yang menyenangkan.
“Yang biasa saja, bercanda yang guyonan yang tidak sampai menyentuh aspek normatif,” kata Drajat, Kamis (6/10).
ADVERTISEMENT
Terkait konten kontroversial itu, Baim dan Paula telah menjalani pemeriksaan di Polres Jakarta Selatan pada Jumat (7/10). Baim berdalih konten yang sempat naik pada Sabtu (1/10) lalu itu untuk tujuan edukasi.