Pemaksimalan Program KB: Solusi Demografi atau Perampasan Hak Reproduksi?

Jasmine Fitria Maharani Pelawi
Mahasiswa S1 Hukum Universitas Airlangga
Konten dari Pengguna
28 Mei 2023 16:28 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Jasmine Fitria Maharani Pelawi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Keluarga Berencana. Foto: Ground Picture/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Keluarga Berencana. Foto: Ground Picture/Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Siapa yang berhak memutuskan jumlah anak dalam sebuah keluarga? Negara atau individu? Tepat di tengah perdebatan ini, berdirilah program Keluarga Berencana (KB) di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Dengan pertumbuhan penduduk yang pesat, pertanyaan ini menjadi semakin relevan. Apakah pemaksimalan program KB ini merupakan solusi jitu untuk menangani isu demografis, atau sebaliknya, perampasan hak reproduksi?
Sebagai bangsa yang penduduknya lebih dari 270 juta pada 2021, kita merasa bertanggung jawab untuk mencegah ledakan demografis. Program KB telah diterapkan di Indonesia sejak 1970-an dengan tujuan utama mengendalikan pertumbuhan penduduk.
Hasilnya cukup mengesankan. Seiring berjalannya waktu, angka kelahiran menurun dari 5,6 anak per wanita pada tahun 1967 menjadi sekitar 2,3 anak per wanita pada tahun 2020. Tak dapat dimungkiri, program ini telah memberikan kontribusi signifikan dalam meredam pertumbuhan populasi.
Namun, di balik keberhasilan tersebut, ada juga pertanyaan-pertanyaan yang muncul. Untuk apa dan siapa sebenarnya program KB ini?
Ilustrasi ibu yang ingin melakukan KB Foto: Shutterstock
Akan tetapi, statistik bukanlah satu-satunya ukuran keberhasilan. Seorang filosof terkenal, Immanuel Kant, pernah mengatakan bahwa manusia bukanlah hanya sarana untuk kepentingan orang lain. Apakah kami, dalam upaya kita untuk mencapai tujuan kolektif, telah mengorbankan hak-hak individu?
ADVERTISEMENT
Pada dasarnya, program KB dirancang untuk memberikan edukasi dan akses kontrasepsi kepada masyarakat. Tujuannya mulia: untuk memberdayakan individu dan pasangan dalam menentukan berapa banyak anak yang mereka inginkan dan kapan mereka menginginkannya.
Namun, dalam pelaksanaannya, ada kalanya program ini tampak memaksakan tujuan negara pada individu. Dalam kasus ini, kita harus bertanya, apakah negara memang memiliki hak untuk mewajibkan pengendalian kelahiran?
Sebuah konsepsi bahwa "keluarga kecil adalah bahagia" sering menjadi tagline dalam kampanye KB. Tapi, seberapa jauh kita bisa mengatakan bahwa kebahagiaan keluarga diukur oleh jumlah anggota keluarganya? Seperti kata Albert Einstein, bahwa tidak semua yang bisa dihitung, berarti penting.
Ilustrasi pil KB. Foto: Image Point Fr/Shutterstock
Program KB tentu penting dan telah memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat Indonesia. Namun, kita harus selalu memastikan bahwa program ini tidak merampas hak reproduksi atau memaksakan nilai-nilai tertentu pada masyarakat.
ADVERTISEMENT
Kita perlu ingat bahwa peran negara adalah sebagai penjaga dan penyedia fasilitas bagi warganya. Itulah mengapa pemerintah mempunyai tanggung jawab untuk menyediakan akses kepada pendidikan seksual dan layanan KB. Tapi pada saat yang sama, harus ada batas bagi campur tangan negara dalam hal-hal yang sangat pribadi dan intim, seperti memutuskan berapa banyak anak yang seorang pasangan ingin miliki.
Pemahaman ini menjadi sangat penting ketika kita mempertimbangkan betapa beragamnya budaya, tradisi, dan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat kita. Pendekatan yang bersifat monolitis atau seragam mungkin tidak cocok dalam konteks Indonesia yang beragam.
Dan dalam hal ini, akan lebih bijaksana jika pendekatan yang digunakan lebih menghargai keragaman dan menempatkan kebebasan individu sebagai prioritas utama.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana dikatakan oleh Mahatma Gandhi, bahwa kebebasan bukanlah bernilai jika tidak mencakup kebebasan untuk membuat kesalahan. Oleh karena itu, kita harus memberikan ruang kepada individu dan pasangan untuk memutuskan sendiri bagaimana mereka akan merencanakan kehidupan keluarga mereka.
Ilustrasi penyuluhan Keluarga Berencana (KB). Foto: Shutter Stock
Pemaksimalan Program KB harus tetap menjadi prioritas, namun tidak dengan mengorbankan hak asasi manusia. Untuk itu, pendekatan yang lebih holistik, inklusif, dan berpusat pada manusia diperlukan dalam pelaksanaan program KB.
Program ini harus diarahkan untuk memberdayakan individu dan pasangan dalam membuat keputusan yang terbaik bagi diri mereka dan keluarga mereka, bukan sekadar menjadi alat untuk mencapai target demografis negara.
Mari kita maksimalkan Program KB, tapi juga mari kita jaga agar tidak menjadi alat perampasan hak reproduksi. Kesetaraan, keadilan, dan kebebasan harus menjadi pilar utama dalam pemaksimalan program ini. Karena pada akhirnya, tidak ada kebijakan publik yang berhasil jika tidak menghargai dan melindungi hak asasi manusia.
ADVERTISEMENT