Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Fanatisme Fans K-Pop: Candu dan Bumbu Remaja
6 Januari 2017 14:47 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:19 WIB
ADVERTISEMENT
Siapa di antara kamu yang punya idola artis K-pop? Oke, oke, hampir semua, bukan? Tapi apakah kamu termasuk di antara mereka yang disebut fans fanatik? Atau bahkan masuk kategori sasaeng yang suka menyakiti diri sendiri demi mendapat perhatian idola kamu, atau menganggu kehidupan pribadi idolamu demi merasa dekat dengan mereka?
ADVERTISEMENT
Jika ya, hati-hati. Taraf fanatismemu berarti setingkat dengan pecandu narkotika atau game online. Setidaknya, itu menurut para ahli.
“Sasaeng bisa dikatakan mengalami gangguan jiwa karena sudah melakukan tindakan di luar batas wajar. Menyakiti diri sendiri, tidak pulang ke rumah selama berhari-hari, itu sudah tidak rasional. Disebut gangguan jiwa jika tertekan dan mengalami disfungsi sosial,” kata dokter Asmarahadi SpKj, psikiater Rumah Sakit Jiwa Dr. Soeharto Heerdjan, Jelambar, Jakarta Barat, kepada kumparan, Minggu (8/12).
Prinsipnya, kata dokter yang akrab disapa Hadi itu, “Kecanduan atau fanatisme (terhadap idola) punya kesamaan dengan kecanduan narkoba atau game online. Hanya, transisional objeknya berbeda. Pecandu game online objeknya ya game yang ia mainkan, sementara fans fanatik objeknya idola yang ia puja.”
ADVERTISEMENT
Soal kecanduan ini sebetulnya bisa dijelaskan secara ilmiah. Dilihat dari sisi usia, fans K-pop rata-rata berada dalam rentang remaja hingga dewasa muda. Pada fase ini, salah satu bagian otak manusia, prefrontal cortex (PFC), sedang tumbuh. PFC punya fungsi penting: membuat manusia bisa membedakan baik dan buruk.
kumparan melakukan survei kepada 100 orang fans K-pop. Hasilnya, sekitar 57 persen dari mereka berada di usia remaja dan dewasa awal, 12-20 tahun. Sementara 42 persen fans berusia 21-30 tahun, dengan satu persen di antaranya berusia di atas 30 tahun.
Mayoritas fans K-pop ialah remaja karena pada usia itu, identitas mereka belum sepenuhnya terbentuk, jati diri mereka belum komplet.
“Istilahnya, ‘minjem’ identitas orang lain,” kata Bona Sardo Hasoloan Hutahaean, S.Psi., M.Psim, staf pengajar Psikologis Klinis UI.
ADVERTISEMENT
“Kalau usianya sudah tidak remaja tapi masih ngefans sama artis K-pop, itu artinya karakter di dalam dirinya masih seperti remaja, atau ada proses psikologis yang tidak selesai di masa lalunya,” ujar Bona saat ditemui di sekolah komunikasi TALKinc, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Selasa (10/12).
Mantan finalis Indonesian Idol itu mengatakan, fase fanatisme bisa berakhir jika seseorang sudah menemukan kesibukan atau tujuan lain dalam hidupnya.
“Saat dia sudah mulai kuliah, terjun ke dunia pekerjaan, berpacaran, atau bahkan terpikir untuk membina hubungan rumah tangga, itu menandakan terjadinya pergeseran,” kata Bona.
Ia juga mencontohkan, “Remaja yang masuk usia 20-an, sudah memasuki dunia kerja, atmosfernya akan berbeda lagi. Walaupun masih ada keinginan menjadi fans, bisa jadi lama-lama akan berubah sendiri, hilang seiring waktu.”
ADVERTISEMENT
Lantas bagaimana kita tahu seseorang itu kecanduan sang idola atau tidak?
Ini tak terlalu sulit. Seseorang yang kecanduan terlihat dari hal-hal sederhana, termasuk aktivitas dia sehari-hari. Misalnya, akun sosial media para pemuja itu digunakan untuk mengakses berbagai informasi tentang idola mereka.
Dari survei kumparan, 56 persen fans K-pop menghabiskan waktu 1-5 jam “memelototi” media sosial untuk mencari tahu segala informasi tentang idola mereka. Sebanyak 28 persen fans bahkan menghabiskan 6 jam lebih di jagat maya untuk melihat berbagai aktivitas sang idola.
Untuk menunjang hobi mereka itu, para fans memiliki akun media sosial lebih dari satu, dengan satu akun khusus berfungsi untuk memata-matai sang idola.
Putri, seorang mahasiswa asal Depok, menjadi fans grup SHINee sejak ia duduk di bangku SMP.
ADVERTISEMENT
“Jadi fangirl itu pilihan, dan fangirling itu hobi. Tentunya enggak akan sayang untuk berkorban waktu dan uang karena ada kepuasan tersendiri ketika melakukannya,” kata dia.
Para fans itu biasanya tergabung dalam kelompok tertentu dengan anggota yang memiliki minat sama (fandom). Fandom, selain digunakan para fans sebagai wadah untuk mencari informasi tentang idola mereka, juga secara tak langsung jadi bagian dari sistem perekonomian dengan berseliwerannya aktivitas pembelian merchandise, tiket konser, atau album K-pop di sana.
“Fandom memiliki fungsi ekonomi, yaitu membina hubungan dengan pasar (bintang pop sebagai komoditas). Oleh karena itu kecenderungannya adalah fanatisme,” ujar sosiolog Universitas Indonesia, Daisy Indira Yasmine, S.Sos., M.Soc.Sci.
Salah satu fans K-pop, Fatimah, berkata, “Mengeluarkan uang itu pilihan untuk mendukung mereka (idola). Tujuannya mengapresiasi musik yang sudah mereka buat dengan susah payah.”
ADVERTISEMENT
Berdasarkan survei kumparan, para fans bersedia mengeluarkan setidaknya Rp 500 ribu per bulan untuk membeli hal-hal berbau K-pop atau idola mereka, mulai dari album, tiket konser, fan meeting, kosmetik, dan lain-lain.
Merujuk pada intensitas kedatangan selebritas Korea ke Indonesia sepanjang 2016, fenomena K-pop terlihat cukup kencang. Ini membuktikan permintaan pasar akan kedatangan artis K-pop masih cukup besar.
K-pop sendiri mulai “menyerbu” Indonesia dan digandrungi generasi milenial negeri ini sejak 2011. Praktis sudah lima tahun gelombang K-pop menjadi bagian sehari-hari dari banyak anak muda Indonesia.
Meski menjadi fans ialah bumbu masa remaja yang biasa, gaya hidup mereka perlu dipantau para orang tua. Sebab, ada potensi para fans itu jadi bergaya hidup mewah –mulai penampilan dan cara hidup yang meniru simbol-simbol Korea– di luar kemampuan ekonomi keluarga mereka.
ADVERTISEMENT
“Ada simbol kekinian dalam K-pop. Simbol ini kemudian menjadi bahan acuan tren yang dimiliki kelompok-kelompok remaja. Sayangnya, seringkali gaya hidup yang dibawa ini adalah gaya hidup mewah. Padahal tidak semua orang mampu. Mereka (fans) bisa saja memaksa orang tuanya memenuhi kebutuhan tersebut,” kata psikolog Dr. Endang Widyorini, MS.
Jadi, jangan sampai kamu menjadi fans yang menyulitkan keluarga, oke?!